GenPI.co - Tak terasa bulan Ramadan kembali hadir. Aku dan keluargaku pun bersiap-siap menyambut bulan suci bagi umat Islam ini.
Namaku Fina Fitriyani Karlina. Aku saat ini sedang magang di UNESCO dan sudah tiga tahun di Paris, Prancis.
BACA JUGA: Kisah Mualaf: Aku Masuk Islam Setelah Jenuh Kehidupan Malam
Aku tinggal di Paris bersama keluargaku. Kami pindah ke Paris pada Mei 2018. Saat itu, kami sudah langsung menjalani bulan Ramadan di Paris.
Kali pertama menjalani ibadah puasa di Paris terasa sangat berat untukku. Sebab, saat itu bulan Ramadan bertepatan dengan musim panas di Paris.
Sementara itu, buka puasa baru di pukul 9.30 malam. Padahal, waktu sahurnya sama persis seperti di Indonesia.
Waktu puasa di Paris bahkan makin bertambah tiap harinya. Di akhir Ramadan, azan Maghrib baru berkumandang pukul sepuluh malam.
Di Paris, euforia bulan Ramadan terasa tak semeriah di Indonesia.
BACA JUGA: Alyssa Soebandono Rindu Pulang Kampung Bertemu Papa dan Mama
Ketika aku di Indonesia, selalu ada agenda yang memeriahkan bulan Ramadan, seperti buka puasa bersama hingga beli takjil dan makanan Indonesia lainnya.
Sementara itu, aku dan keluargaku harus buat semuanya sendiri di Paris. Biasanya kami membeli bahan di toko Asia.
Kami biasa membuat menu hidangan berbuka yang cukup mudah, seperti gorengan bakwan, risol, pastel, dan es buah.
Sebelum pandemi covid-19, biasanya KBRI di Paris selalu mengadakan buka bersama setiap hari Sabtu.
Nah, saat itu lah kesempatan yang baik untuk warga Indonesia untuk berkumpul, makan-makan gratis, serta mendengarkan ceramah sebelum berbuka.
Untungnya, badanku tak sampai drop, karena tak sehaus saat berpuasa di Indonesia. Namun, aku memang butuh penyesuaian untuk waktu puasa yang lebih lama.
Selain itu, godaan di Paris lebih banyak, karena muslim di sini minoritas. Namun, untuk urusan ibadah, aku tak merasa berat untuk menjalaninya.
Untuk mengaji, aku dan teman-temanku di PPI mengadakan kajian tiap hari Minggu pagi. Begitu pun dengan urusan salat.
Namun, karena waktu Isya sudah sangat larut, jadi saat salat tarawih aku menjalaninya sambil menahan kantuk.
Beberapa temanku bahkan memilih untuk tidak sahur dan mengucapkan niat setelah makan untuk berbuka.
Pernah suatu waktu, aku ingin salat di masjid. Namun, aku kaget, karena alat salat mereka bentuknya tak seperti mukena. Alat salat yang mereka pakai cenderung berbentuk seperti jubah.
Selama Ramadan hingga Lebaran, aku dan teman-temanku suka berbagi-bagi kue kering. Jadi, kami mengadakan makan-makan di salah satu apartemen milik seorang teman kami, lalu saling membawa makanan.
Akibat agenda tersebut, aku yang semulanya tak bisa masak, kini sudah bisa masak, termasuk untuk lauk-lauk khas Lebaran, seperti rendang dan opor ayam.
Khusus kue kering, aku kini sudah bisa membuat putri salju dan nastar.
Menurutku, berat atau tidaknya menjalani ibadah puasa itu kembali pada diri masing-masing orang.
Umat Islam di Eropa memang minoritas, tapi masih banyak tempat ibadah dan masih ramai didatangi banyak umat.
Selain itu, orang Indonesia di Paris pun terhitung lumayan banyak, termasuk dari kalangan belajar. KBRI juga bisa dijadikan sebagai wadah bagi orang Indonesia untuk berkumpul dan bersilaturahmi. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News