Cerita Horor: Pocong Mengerikan di Hutan Kota Sudut Jakarta

26 September 2019 20:02

GenPI.co - Tahun pertama berkuliah di kampus adalah masa-masa dimana mahasiswa masih bersemangat dan betah berlama-lama di kampus. Aku tercatat sebagai mahasiswa sebuah kampus terpopuler di Depok, Jawa Barat. Nggak perlu aku sebutin, pasti kalian semua sudah tahu.

Di semester pertama, aku dan semua angkatan bahkan mendapatkan mata kuliah antar fakultas, yang artinya kami semua bisa mencoba belajar di ruangan kelas yang ada di fakultas lain. 

Baca juga :

Fakta atau Fiktif? Ini Analisa Cerita Horor KKN di Desa Penari

Cerita Horor : Wanita Penunggu Rumah Nomor 13

Apa Kalian Mau Bertukar Tempat Denganku Memelihara Makhluk Ini?

Tak disangka, salah satu mata kuliah antar fakultas yang kuambil mengantarkanku pada pengalaman yang menyeramkan dan tak bisa kulupakan seumur hidup.

Waktu itu, aku dan 5 temanku sepakat untuk mengambil mata kuliah Gamelan Jawa sebagai mata kuliah wajib antar fakultas. Kelasnya ada di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang lokasinya bersebelahan dengan kampusku, di FISIP. 

Mata kuliah Gamelan Jawa dijadwalkan pada hari Selasa, pukul 18.00 hingga 18.45 WIB. Memang hanya sebentar, karena bobotnya hanya 1 SKS. Satu kelas hanya terdiri 20 orang, 6 orang dari jurusanku, dan sisanya dari jurusan lainnya. 

Kelas pertama Gamelan Jawa pun dimulai. Kelasnya berada di gedung 9 dan letaknya cukup jauh dari depan pintu masuk FIB. Saat memasuki kelas, sang dosen bernama Pak Edi sudah menunggu sambil berdiri di depan alat-alat musik gamelan Jawa. 

Kelas ini ditempatkan di ruang musik dan tidak ada bangku sama sekali. Ternyata, mahasiswa yang terlambat datang bukan cuma kami saja. Wajar saja, kelasnya sangat jauh dan tersembunyi. 

Ilustrasi gamelan jawa (Foto : Dewi Sundari)

Tepat setelah adzan Maghrib, pelajaran dimulai. Setiap mahasiswa dipersilahkan untuk memilih alat musik yang ada untuk dimainkan. Nama alat musiknya tak banyak yang aku ingat, di antaranya gender, kenong dan gong. Aku pun memilih alat musik yang paling sederhana, yaitu gong. Tapi, baru saja duduk, pak Edi langsung menyuruhku memilih alat musik yang lain. 

“Itu yang perempuan tukar sama yang ini (sambil menunjuk alat musik yang lain yang ada di barisan depan). Itu cuma boleh untuk laki-laki,” kata Pak Edi. 

Aneh sekali. Kenapa ada alat musik yang hanya bisa dimainkan laki-laki. Walaupun terdengar sangat tidak adil, aku pun menuruti perintah si dosen. 

Pelajaran pertama Gamelan Jawa pun selesai pukul 18.50 WIB. Kami pun mampir sebentar untuk membeli gorengan yang mangkal di depan kampus FIB. Langit sudah gelap, tapi aku dan teman-temanku tampaknya masih belum lelah. Kami pun berjalan menuju stasiun sambil bergosip.  

Saat sedang melintas di depan FIB yang letaknya berseberangan dengan FISIP, kami pun berpapasan dengan dua orang senior kami, kak Nufi dan Kak Tisha. Mereka pun bergabung dengan rombongan kami untuk berjalan menuju arah stasiun. Tumben sekali mereka mau bergabung dengan junior. Tapi, ya sudahlah. 

Jalan dari FIB menuju stasiun memang tidak terlalu jauh, mungkin sekitar 700 meter. Kami harus melewati jalan setapak diantara pohon-pohon karet untuk memotong jalan pintas. 

Saat itu pertama kalinya kami melewati jalan setapak pada saat hari sudah gelap. Di FISIP, kelas terakhir untuk mahasiswa reguler adalah pukul 16.30 WIB, jadi kami tidak pernah pulang selarut ini.  

Sambil berjalan, kami pun membicarakan soal alat musik gong yang kata dosen kami hanya boleh dimainkan oleh laki-laki saja. Kami menanyakan hal tersebut kepada sang senior.  

“Kak, tadi kita kan ambil kelas Gamelan Jawa. Terus si Fira nggak boleh mainin gong, katanya cuma boleh buat cowok. Emang itu kenapa sih?” tanya Fara, salah satu temanku. 

“Wah.. serem itu kalo diceritain. Katanya gongnya ada penunggunya. Apalagi kelasnya malem gitu kan, katanya sih pernah ada mahasiswi yang mainin gong terus kesurupan,” kata Kak Nufi. 

Waduh, kenapa harus cerita yang serem-serem sih di saat kayak gini. Kami pun berjalan beriringan karena jalan setapaknya cukup sempit. Tak disangka, jalan ini sangat gelap, tidak ada lampu sama sekali. Patokan kita hanyalah lampu dari arah stasiun. Ah sudahlah, lanjutkan saja. 

Baru setengah jalan melewati pepohonan karet, kami dikejutkan sesosok mahkluk yang melintas di depan kami. Walaupun gelap, tapi kami semua bisa melihat dengan jelas makhluk tersebut. POCONG! 

Penampilan hantu yang lewat tanpa permisi itu persis seperti di film-film, putih dibungkus kain kafan dan melompat-lompat. Hanya saja, tidak ada darah dan wajahnya sama sekali tidak terlihat. 

Kami semua pun seperti diam terpaku, karena pocong tersebut melintas tepat di depan kami. Satupun tidak ada yang berteriak ataupun lari. Setelah pocong tersebut menghilang, kami pun langsung berlari tanpa aba-aba.  

Kami terus berlari tanpa menoleh ke belakang. Sesampainya di stasiun, kami pun langsung berpisah tanpa ada yang mengobrol satu sama lain. Ada yang berjalan ke arah kos-kosan di belakang rel kereta, ada yang berjalan ke arah Kober dan ada yang berjalan masuk ke stasiun. 

Keesokan harinya, cerita tersebut pun langsung tersebar ke seluruh jurusan. Ada yang percaya, ada yang tidak. Terserah, bagaimanapun, kami semua, bertujuh, menyaksikan sendiri pocong tersebut lewat di depan kami. 

Sejak pengalaman itu, aku tidak mau lagi lewat jalan setapak penuh pohon karet itu saat tengah malam. Dua minggu kemudian, pihak kampus memasang lampu di sepanjang jalan setapak itu. Tak peduli seberapa banyak dan terang lampu yang dipasang, aku tidak mau lewat jalan itu lagi menjelang malam.

Simak video pilihan redaksi berikut ini:

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co