Waduh! Fenomena Pernikahan Usia Dini di Indonesia Mengkhawatirkan Tingkat ASEAN

12 Juli 2023 21:20

GenPI.co - Pernikahan usia dini di Indonesia telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan dengan berdasarkan data UNICEF per akhir tahun 2022, saat ini Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia dan ke-2 di ASEAN, dengan total hampir 1,5 juta kasus.

Selain itu, data Kementerian Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (KemenPPA) RI, pengadilan agama menerima 55.000 permohonan dispensasi pernikahan usia dini di sepanjang 2022, atau hampir dua kali lipat jumlah berkas serupa pada tahun sebelumnya. 

Hingga 2022, perempuan dibawah usia 16 tahun menjadi yang paling banyak terdampak dari kasus ini, yaitu sebanyak 14,15%. 

BACA JUGA:  Bicarakan 3 Hal Ini dengan Pasangan agar Pernikahan Jauh dari Konflik

Prevalensi tersebut meningkat secara signifikan selama pandemi covid-19, didorong oleh faktor-faktor seperti naiknya angka putus sekolah, kondisi ekonomi keluarga yang menurun, kepatuhan terhadap agama dan adat istiadat, serta pengaruh teman-teman sejawat yang menikah dini.

Tren yang memprihatinkan ini terus berlanjut meskipun pemerintah telah mengamandemen Undang-Undang Perkawinan pada 2019, yang menaikkan usia minimum pernikahan menjadi 19 tahun bagi perempuan dan laki-laki.

BACA JUGA:  3 Penyebab Kandasnya Pernikahan Usia Dini, Pikir-Pikir Lagi!

Sebuah studi yang dilakukan oleh Danusha Jayawardana selaku Research Fellow Monash University, mengungkap praktik pernikahan usia dini, terutama bagi mereka yang berusia di bawah 18 tahun, berdampak negatif pada kesejahteraan mental perempuan.

Studi ini melibatkan 5.679 perempuan sebagai sampel, dimana 30% di antaranya menikah pada usia 18 tahun.

BACA JUGA:  Selain Perceraian, Ini 3 Dampak Mengerikan Pernikahan Usia Dini

Sedangkan, status kesehatan mental mereka dinilai menggunakan Skala Depresi Pusat Studi Epidemiologi (CES-D-10) yang menunjukkan bahwa penundaan satu tahun dalam rencana pernikahan, atau setelah 18 tahun, mampu mengurangi risiko perempuan mengalami depresi. 

Lebih lanjut, studi ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap dampak dari praktik pernikahan usia dini, yakni dengan mempertimbangkan konsekuensi ekonomi yang substansial dan risiko munculnya gangguan mental.

Apalagi bagi perempuan yang terpisah dari keluarga dan teman-temannya akibat pernikahan usia dini berpotensi terisolasi secara sosial.

Sayangnya, berbagai dampak pernikahan usia dini tersebut masih kerap diabaikan dan terus mengancam kesejahteraan perempuan. 

Selain itu, studi yang sama juga menjustifikasi perubahan kebijakan Indonesia yang menaikkan batas minimal usia perkawinan dari 16 tahun menjadi 19 tahun.

Amandemen tersebut dinilai berpeluang baik pada kesetaraan gender dan meningkatkan keberpihakan terhadap perempuan.

Apalagi ketidaksetaraan gender sering menjadi katalis dari manifestasi pernikahan usia dini, yang dapat memicu ancaman psikologis dan fisik pada perempuan. 

"Temuan fakta pada studi ini semakin memperjelas fenomena 'missing women' atau hilangnya posisi tawar perempuan di Indonesia," tegas Danusha Jayawardana, dalam keterangannya, Rabu (12/7/2023).

Dia menambahkan, pernikahan usia dini seringkali menjadi akibat dari ketidaksetaraan gender, yang secara tidak proporsional merugikan perempuan, dan berpotensi mempengaruhi mereka dalam mengambil keputusan berisiko, seperti menyakiti diri sendiri.

"Kami harap, melalui temuan studi ini,  pembuatan kebijakan dapat melihat lebih lanjut mengenai konsekuensi buruk dari pernikahan usia dini dan dengan mengeksplorasi langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan oleh praktisi dan pihak berwenang terkait," tuturnya.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co