GenPI.co - Berbeda dengan FOMO (Fear of missing out), JOMO (Joy of Missing Out) adalah perubahan paradigma yang menunjukkan pelepasan diri dari konsumsi media sosial.
Di era digitalisasi, memilih untuk mengonsumsi konten di media sosial secara bijak tetap penting.
JOMO adalah pendekatan sadar yang memandu individu untuk menemukan kegembiraan dan mempercayai proses alami kehidupan.
Dalam artian, memberikan kelonggaran dari pengaruh negatif dan kegelisahan akibat konsumsi media sosial yang berlebihan.
Dilansir Times of India, berikut alasan praktik ini dianggap sebagai kebiasaan yang sehat.
Kehidupan sempurna yang ditampilkan di media sosial menimbulkan kegelisahan untuk mengikuti tren atau mengalami hal-hal serupa dalam hidup seperti yang ditampilkan di ruang maya.
Oleh karena itu, JOMO menghentikan konsumsi media sosial dan membebaskan kamu dari FOMO (takut ketinggalan).
JOMO, kegembiraan karena ketinggalan, hadir dengan tidak adanya konsumsi postingan media sosial.
Saat mulai terputus dari dunia maya, kamu lebih fokus pada perawatan diri.
Kebutuhan terus-menerus untuk terhubung ke media sosial menciptakan tekanan untuk menjadi bagian dari tren yang dikurangi dengan mempraktikkan JOMO.
Beristirahat dari media sosial tidak lagi membuat kamu mengabaikan kesejahteraan.
JOMO adalah cara praktis untuk merasakan kedamaian mental dengan memutuskan sambungan dari media sosial.
Kegembiraan bisa dirasakan dengan berhubungan kembali dengan alam dan sekitarnya.
Menghabiskan waktu bersama teman dan orang terkasih dapat membantu memahami proses alami kehidupan.
Temuan penelitian psikologis dan beberapa studi klinis menemukan peningkatan mood depresi, kecemasan, dan FOMO terutama pada remaja dan dewasa muda akibat konsumsi media sosial yang berlebihan.
Beralih dari FOMO ke JOMO (sukacita karena ketinggalan) adalah perubahan pola pikir yang mengajarkan untuk melatih rasa syukur dan fokus menghitung berkah, bukan kesulitan. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News