Yuk, Intip Prosesi Rora Ake Dango di Festival Tidore 2018

01 April 2018 08:55

Suasana sakral yang kental melingkupi pembukaan Festival Tidore 2018, jumat (30/3) malam. Terang saja, acara yang digelar di Sonine Gurua (tanah lapang tempat ritual adat) Kelurahan Gurabunga, Kelurahan Tidore itu berlangsung tanpa penerangan lisrik. Hanya nyala api dari obor-obor yang jadi penerangan bagi para peserta dan pengunjung yang memenuhi areal tanah lapang itu. Sebagian besar  peserta mengenakan pakaian putih. mereka terlihat khusyuk memperhatikan sebuah ritual yang tengah terjadi di tengah lapangan.

Ritual itu namanya Rora Ake Dango, sebuah prosesi adat membuka rangkaian acara dalam Festival Tidore 2018. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tidore, Yakub Husain, ritual sakral ini adalah tradisi asli Tidore. Keaslian bisa dilihat dari ritual pengambilan air suci (Tagi Kie) dan bersih gunung.

"Tagi Kie dan bersih gunung memang belum dipublikasikan ke umum dan media. Karena, ritual ini dilakukan oleh orang khusus saat mengambil air dari puncak Gunung Tidore," kata Yakub.

Sumber air di puncak Gunung Tidore adalah tempat keramat. Sumber air ini juga disebut sebagai pelakon utama atau sumber utama kehidupan. Tidak sembarang orang bisa mengambil air itu. Hanya keturunan lima Sowohi (kepala suku) yang boleh mengambilnya.

Rora Ake Dango diisi pembacaan Borero Gosimo (pesan tetuah atau wasiat lelulur). Syair syair berkumandang lirih di bawah temaram obor, membuat suasan begitu syahdu namun sehingga semakin menguatkan aura sakral dari acara ini.

Tiupan Tahuri, alat musik tradisional Tidore, tiba-tiba terdengar lantang menguasai kesunyian. Semua mata peserta kemudian beralih ke iringi-iringan obor yang muncul dari luar arena lapangan. Mereka datang dari seluruh penjuru lapangan, didahului seorang wanita yang membawa tabung bambu dibungkus kain putih.

Mereka, iring-iringan pembawa air itu adalah keturunan Sowohi. Tabung bambu yang dibungkus kain putih itulah yang berisi air keramat dari puncak Gunung Tidore. Sebagaimana yang dipercaya dalam budaya orang-orang Tidore, hanya  keturunan Sowohi saja yang berhak membawa air itu masuk ke arena Ake Dango.

Air keramat tersebut kemudian disemayamkan di tengah lapangan, pada secama altar yang dibuat dari bambu berhias janur. Semalaman penuh air tersebut ditempatkan di situ, dengan dijaga seseorang bersenjatakan parang dan salawaku.

Sultan Tidore H Husain Syah hadir dalam prosesi adat Ake Dango itu. Ia mengatakan, masyarakat Tidore adalah masyarakat yang bijaksana dalam menyikapi perbedaan, menjunjung tinggi toleransi, dan dapat membangun semangat persatuan.

"Insya Allah, jika kita bersatu, kita bekerja sama, dan bergotong royong, maka apa yang menjadi cita-cita bersama akan dapat diselesaikan," tutur Sultan.

Sementera Walikota Tidore Kepulauan, H Ali Ibrahim, mengatakan prosesi Ake Dango merupakan ritual pertemuan Lima Marga. Prosesi itu untuk mengantarkan air menggunakan Rau yang telah diambil dari puncak gunung. Air dan Rau itu dipersatukan dalam Bambu (Dango).

 “Kegiatan ini penting dan patut mendapat dukungan semua pihak, karena terkait langsung dengan upaya pemerintah daerah mengembangkan Tidore Kepulauan sebagai daerah wisata di Indonesia,” tutur Ali.

Menurutnya, Kesultanan Tidore bersama masyarakat adat telah memberi sumbangan besar dalam perkembangan peradaban masyarakat Kota Tidore Kepulauan. Ada nilai-nilai yang dikembangkan sebagai budaya dan peradaban asli. Seperti Fomagogoru se Madodara, Maku Waje, Maku Toa Soninga, Maku Sogise, Maku Digali, Maku Duka.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co