GenPI.co - Malam itu jantungku berdebar, lebih cepat dari baling-baling pesawat udara yang melintasi angkasa raya.
Dering telepon dari seseorang yang pernah kumiliki dengan tanda hati di samping namanya terpampang di atas layar handphone-ku.
BACA JUGA: Pedih! Pernikahanku yang Hanya Seumur Jagung
Kukira ia telah menghilang, melebur, atau menguap menjadi asap. Kini ia mencoba menghubungiku setelah sekian lama.
Dia pernah memberikanku secercah harapan akan masa laluku yang pernah suram.
Kubiarkan teleponku bordering. Tidak kuhiraukan suara-suara yang berdengung kencang melewati saraf telingaku.
Sebabd ia telah mengecewakanku hanya demi seseorang yang berada di sisinya saat ini.
Mungkin ia yang merindu? Atau itu hanya imajinasiku? Kedua kalinya dering telepon ini kian mengganggu, membuatku waras dan mengingat sesuatu.
Dulu ia berjanji membawaku bersamanya kala lampu hotel meredup dan seisi ruangan menjadi gelap.
Ia berjanji akan meminang kala helaan napasnya berembus di samping telinga kecilku.
Namun, ketika pagi tiba ia pulang dan menghilang. Tak pernah kembali lagi dan menyisakan darah dagingnya di dalam tubuhku.
Kala itu dunia menjadi sesuram neraka. Kutelan beberapa butir obat yang disarankan kerabat.
Akan tetapi, nyatanya tak berhasil. Ia tumbuh menjadi janin atas janji busuk yang telah dirinya ingkari.
Mengapa kau pergi meninggalkan kewarasanku? Kini dunia segila surga. Hanya tawa yang menemaniku dalam sedih yang berkepanjangan ini.
Walau mereka menyebut kewarasanku patut dipertanyakan, aku tahu imajinasiku tak pernah berhenti menyatakan.
"Kau ini waras dalam kegilaan,” ujarku dalam hati.
BACA JUGA: Tak Kuduga, Aku dan Kamu Hanya Sebatas Friendzone Belaka.....
Kupejamkan mata sejenak. Kulihat layar smartphone-ku yang mati sejak tahun lalu.
Ternyata suara dering itu memang khayalan. Mungkin ini saatnya aku meminum obat antidepresi. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News