Menjalani Ramadan di Negeri Paman Sam, Aridha Rindu Suara Azan

08 April 2021 21:25

GenPI.co - Namaku, Aridha Rizky Haryuni. Sudah sekian tahun aku menempuh pendidikan tinggi di negeri Paman Sam. Bersyukur, bisa berkesempatan memilih kampus dan jurusan terbaik sesuai dengan mimpiku.

Saat itu aku menyandang status sebagai mahasiswi Southwest Minnesota State University. Dalam waktu yang bersamaan, aku pun mengambil pekerjaan di sebuah bank untuk memenuhi biaya hidup yang cukup tinggi.

Menjalani hari demi hari di negeri orang memang memberikan tantangan khusus buatku. Apalagi sebagai seorang muslim yang notabene warga minoritas di Amerika, banyak sekali culture shock yang aku alami. 

BACA JUGAYuk, Intip Persiapan Dewi Sandra Menjalani Ibadah Puasa Ramadan

Terutama saat menjelang bulan Ramadan. Aku harus berpuasa seharian. Menjalankan puasa di Indonesia dan di negeri orang tentu sangat terasa berbeda, terlebih tidak ada lagi orang tua yang membangunkan sahur.
 
Selama sebulan penuh Ramadan di Amerika, semua terlihat sama seperti hari normal, orang lain makan dan minum secara bebas.

Di Amerika aku harus berbuka puasa pukul 22:00, karena sudah terlalu malam untuk memasak, akhirnya memutuskan membatalkan puasa dengan sereal. 

Tak hanya itu, karena jeda antara berbuka puasa dan sahur hanya beberapa jam, aku memutuskan untuk tidak tidur, daripada tidak sahur sama sekali. 

Namun, tidak jarang juga aku memutuskan untuk tidak sahur, dari pada tak memiliki jam istirahat sama sekali, sampai akhirnya kembali bekerja pagi harinya.

Selama di Amerika, sejujurnya aku tidak menjalankan tarawih di Masjid karena biasanya menggunakan surat-surat panjang dan durasinya sendiri bisa sampai jam 2:00 subuh.
 
Hal tersebut tentu membuat aku akan sangat lelah, sampai akhirnya memutuskan untuk di rumah saja.

Selama bulan Ramadan aku terbiasa untuk memasak sendiri apa pun yang ingin aku makan, tak terkecuali kolak karena rindu dengan makanan khas Indonesia. 

Bahkan di hari lebaran aku berusaha total memasak ketupat, soto hingga sop buah tentu untuk menyenangkan diri sendiri.

Di Amerika, aku tinggal satu apartemen dengan tiga orang temanku, dua orang Kristen dan dua Islam termasuk aku. 
Sebagai sesama muslim, selama bulan Ramadan aku menjalankan puasa bersama dengannya, mulai dari berbuka hingga sesekali sahur.

Temanku merupakan keturunan Amerika dan Lebanon, yang sebenarnya memiliki rumah di Amerika. Namun, lokasinya tidak terlalu dekat dari tempat kerja, dua jam perjalanan dari apartemen kami. 

Tidak jarang saat orang tuanya datang mengunjungi dia ke apartemen, membawakan makanan Timur Tengah cukup banyak. 

"Alhamdulillah semua orang di sekitarku sangat mengerti dengan puasa, mulai dari teman satu rumah, atasan, hingga teman bermain yang biasanya ngajak nongkrong," ucapku sambil tertawa.

Semua selama bulan Ramadan berjalan dengan normal dan aku merasa sanggup menjalaninya, sampai hari Lebaran tiba. 

Lebaran kala itu adalah momen yang paling menyedihkan. Tepat hari pertama Lebaran aku tidak menjalankan sholat ied karena bangun terlalu siang.

Aku mendapatkan sebuah alamat Masjid dari wanita yang menjadi customer-ku di tempat aku bekerja. Walau lokasinya cukup jauh dari rumah, aku memutuskan untuk datang ke tempat itu.

"Ya, Allah!," jeritku dalam hati mendengar suara takbir dan melihat orang-orang berkumpul bersama dengan keluarganya.  

BACA JUGAPatut Ditiru! Polisi Sisihkan Rp 1.000 Selama Ramadan Untuk Amal

Sebagai satu-satunya orang Asia yang duduk sendiri, aku merasa sangat sedih sampai akhirnya ada orang dari Somalia mendatangi aku. Dia mengajak untuk Lebaran di rumahnya.

Aku tak kuasa membendung air mata. Aku berusaha tidak menangis dan menolak baik ajakannya, karena hari itu aku harus kembali bekerja.

Ramadan dan lebaran saat itu membawa diriku ke dalam rasa syukur yang teramat dalam. Alhamdulillah ya Allah.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co