GenPI.co - Hidupku mulai tertata. Suasana hatiku membaik. Aku mulai bisa menerima kebodohanku selama ini.
O, iya. Namaku Galih. Ini kisah hubunganku dengan Riri. Bukan hubungan resmi. Aku tidak pacaran dengannya.
Aku hanya mencintainya sangat lama. Dia sepertinya tidak. Aku sangat mengharapkan Riri. Dia sepertinya biasa saja.
Ya, sudah. Pada akhirnya, aku harus menerima semua kenyataan. Entah pahit. Entah manis.
Aku mulai sadar ketika pesanku tidak dibalas. Aku merasa Riri sengaja tidak membalas.
Tidak mungkin dia tak membawa HP. Minimal memegang. Siapa, sih, orang zaman sekarang yang tidak membawa HP ke mana-mana?
Aku hanya sekadar bertanya. Aku ingin tahu kabarnya. Sudah lama aku tidak menghubunginya.
“Kamu lagi apa? Apa kabar?”
Begitulah pesan pendekku. Aku selalu mengirimkan pesan pendek seperti itu. Tidak ada istimewa.
Mungkin itulah yang membuat Riri tidak pernah mau membalas pesanku. Mungkin dia menganggap tidak ada yang perlu dibahas.
Bisa jadi dia merasa pesanku tidak penting. Padahal, aku merasa balasannya sangat berarti.
Namun, Riri sangat jarang membalas pesanku. Tidak usah kuceritakan betapa remuknya hatiku.
Aku menunggu sangat lama balasan darinya. Kupandangi HP-ku. Tetap tidak ada balasan.
Dia baru membalas 15 hari setelahnya. Itu pun balasan pendek. Entah kenapa aku merasa menemukan jawaban versiku sendiri.
Aku akhirnya bisa menarik kesimpulan. Perasaanku harus kupendam sangat dalam.
Aku tidak mau lagi mengharapkannya. Penantianku sudah sangat lama. Semuanya sia-sia.
So, aku hanya bisa berusaha mengikhlaskannya. Aku tidak mau hatiku remuk redam lagi.
Kubulatkan niat. Cukup sampai di sini. Tidak ada lagi hati yang berharap kepadanya. Kuputuskan harapanku musnah.
“Selamat tinggal. Akhirnya aku bisa mengikhlaskanmu,”
Aku hendak mengirimkan pesan itu kepada Riri. Namun, aku merasa tidak ada gunanya. Kubaca ulang, lalu kuhapus. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News