Daya Beli Masyarakat Dinilai Jadi Kunci Utama Hadapi Stagflasi

02 Agustus 2022 12:10

GenPI.co - Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian Iskandar Simorangkir menyebut daya beli masyarakat merupakan kunci utama untuk menghadapi risiko stagflasi dan ketidakpastian global.

Hal tersebut disampaikan Iskandar dalam webinar Warta Ekonomi bertajuk "Menghadapi Perlambatan Ekonomi dan Inflasi, Apa yang Harus Dilakukan?".

Stagflasi sendiri merupakan kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguran yang tinggi.

BACA JUGA:  Inflasi di Jateng, Upaya Ganjar Pranowo Bisa Bikin Warga Lega

Sebagaimana diketahui, dunia saat ini sedang dihantui perlambatan ekonomi dan tingginya inflasi akibat ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina.

Kondisi tersebut juga turut memengaruhi harga komoditas dan energi di Indonesia.

BACA JUGA:  Ada Inflasi, Harga Mobil Daihatsu Tidak Serta-merta Naik

Terkait hal itu, Iskandar menjelaskan pemerintah berkomitmen untuk mempertahankan daya beli masyarakat agar tetap tumbuh dan tinggi.

"Pemerintah mendorong Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) melaksanakan pengendalian harga dengan cara memperkuat koordinasi kebijakan antar kementerian/ lembaga," kata Iskandar dalam siaran pers, Selasa (2/8).

BACA JUGA:  Ada Ancaman Resesi Akibat Inflasi, Pemerintah Diminta Bergerak

Selain itu, pemerintah juga melakukan upaya lainnya seperti meningkatkan produksi pangan lewat food estate, mendorong distribusi pasokan komoditas dan  kerja sama antar daerah yang kelebihan pasokan dan kekurangan pasokan.

Untuk menghadapi tingginya tekanan terhadap daya beli masyarakat, pemerintah juga mengalokasikan sebagian besar anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yakni sebesar Rp154,76 triliun.

"Ini cara-cara untuk mengatasi supply shock sehingga tidak terjadi kenaikan harga, sehingga bank sentral tidak perlu merespon dengan kenaikan suku bunga acuan," jelasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala PKAPBN Kemenkeu Wahyu Utomo menjelaskan bahwa peningkatan risiko global berdampak pada penurunan daya beli (konsumsi masyarakat).

Maka dari itu, APBN didorong sebagai shock absorber untuk menjaga agar momentum pemulihan ekonomi semakin menguat dan melindungi daya beli masyarakat, sehingga kondisi fiskal perlu dijaga tetap sehat dan berkelanjutan.

"Kebijakan fiskal 2023 tetap ekspansif yang terukur dengan defisit berkisar 2,61 sd 2,85% PDB yang diarahkan untuk peningkatan produktivitas untuk transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan” imbuhnya.

Wahyu mengatakan, beberapa strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah penguatan kualitas SDM, akselarasi pembangunan infrastruktur, pemantapan reformasi birokrasi dan simplifikasi regulasi, revitalisasi industri, pembangunan ekonomi hijau.

"Yang disertai reformasi fiskal yang holistik untuk optimalisasi pendapatan, penguatan spending better dan inovasi pembiayaan," pungkas Wahyu. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Yasserina Rawie

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co