Pengamat Pajak Beri Pandangan Terkait Debat Mahfud MD vs Gibran

27 Desember 2023 23:00

GenPI.co - Sabar Lumban Tobing selaku Praktisi dan Pengamat Pajak Indonesia sekaligus Founder dan CEO Hive Five memberikat pandangannya terkait debat cawapres antara Mahfud MD vs Gibran Rakabuming Raka.

Debat antara Mahfud MD dan Gibran terjadi saat membahas tentang rasio pajak pada Jumat (22/12) lalu.

Diketahui, rasio pajak adalah persoalan yang cukup penting, sebab ini berkaitan dengan kesehatan anggaran negara.

BACA JUGA:  Di Inggris, Pajak Gula Bisa Kurangi Kasus Kerusakan Gigi pada Anak

Awal mula perdebatan itu terjadi ketika Mahfud MD mempertanyakan target rasio pajak atau rasio penerimaan negara yang dipaparkan Gibran.

Seperti diketahui, pasangan Prabowo-Gibran menargetkan rasio pajak sebesar 23 persen dari produk domestik bruto (PDB).

BACA JUGA:  Tokopedia Raih Penghargaan dari Pemprov Jatim, Kanal Online Terbaik Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor

Angka 23 persen itu kemudian diluruskan bukan rasio pajak, dalam arti rasio penerimaan pajak dengan PDB, melainkan rasio penerimaan negara terhadap PDB.

Mahfud menganggap bahwa angka 23 persen dianggap tidak realistis dan dikhawatirkan memicu perburuan masif terhadap wajib pajak, mengharuskan pertumbuhan ekonomi yang ofensif, dan tentu saja menggenjot penerimaan pajak yang basis kepatuhan wajib pajaknya masih di kisaran 86 persen.

BACA JUGA:  Utang Pajak Rp 1,142 Miliar, KPP Pratama Solo Sita Rekening Efek 3,265 Juta Lembar Milik Wong Solo

“23 Persen itu dari apa, dari PDB dari APBN, atau apa? Hati-hati lho. Pajak itu sensitif kalau dinaikkan,“ tanya Mahfud MD pada debat tersebut.

Ada pun Gibran menjawab bahwa peningkatan rasio pajak itu akan dilakukan dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang berada di bawah langsung Presiden, perluasan basis pajak supaya tidak berburu di kebun binatang, hingga upaya meningkatkan supaya para UMKM atau pelaku usaha bisa naik kelas.

Sabar Lumban Tobing pun melihat bahwa Rasio Pajak atau Tax Ratio merupakan indikator yang signifikan dalam konteks ekonomi suatu negara, karena dapat mengukur proporsi pendapatan pajak terhadap PDB nominal negara tersebut.

Berdasarkan rilis yang diterima GenPI.co, Rabu (27/12), proses perhitungan Tax Ratio melibatkan dua pendekatan, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.

Dalam arti sempit, yang diterapkan pada saat tertentu, pembilangnya mencakup penerimaan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea dan Cukai, serta pajak lainnya.

Sementara itu dalam arti luas, seperti disarankan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), pembilangnya mencakup seluruh penerimaan pajak baik dari tingkat pusat maupun daerah, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari royalti sumber daya alam (SDA).

Lalu, apakah Pemerintah Indonesia harus membuat Badan Penerimaan Negara yang langsung dikomandoi oleh presiden?

Menurut Sabar Lumban Tobing, Pendirian Badan Penerimaan Negara yang langsung dikomandoi oleh Presiden Indonesia dapat dipertimbangkan dengan berbagai alasan yang berkaitan dengan manajemen ekonomi, efisiensi, dan transparansi.

Sebagai ahli ekonomi, Sabar pun menunjukkan beberapa argumen mengapa hal ini dapat menjadi langkah yang beralasan.

1. Koordinasi yang Lebih Efektif

Badan Penerimaan Negara yang langsung diawasi oleh Presiden dapat memastikan koordinasi yang lebih efektif antara lembaga pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan pendapatan negara.

Koordinasi yang baik dapat membantu mencegah tumpang tindih tugas dan tanggung jawab, serta memastikan efisiensi dalam pengumpulan pajak dan penerimaan negara lainnya.

2. Tanggung Jawab yang Jelas

Dengan Badan Penerimaan Negara yang langsung di bawah pengawasan Presiden, tanggung jawab dan akuntabilitas akan menjadi lebih jelas.

Presiden dapat lebih mudah memantau dan menilai kinerja badan tersebut dalam mencapai target penerimaan pajak dan pendapatan negara lainnya.

3. Kepentingan Nasional yang Lebih Besar

Badan Penerimaan Negara yang dikomandoi oleh Presiden dapat lebih fokus pada kepentingan nasional dan strategi ekonomi yang luas.

Hal ini dapat membantu dalam mengambil keputusan yang lebih baik dan lebih berorientasi pada pembangunan ekonomi jangka panjang.

4. Transparansi dan Akuntabilitas

Dalam sistem di mana Badan Penerimaan Negara berada di bawah pengawasan langsung Presiden, transparansi dan akuntabilitas dalam pengumpulan dan pengelolaan pendapatan negara dapat ditingkatkan.

Ini dapat membantu dalam mengurangi potensi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

5. Respons Cepat terhadap Perubahan Ekonomi

Presiden sebagai pemimpin negara memiliki kewenangan untuk merespons cepat terhadap perubahan ekonomi dan situasi keuangan yang mungkin memerlukan penyesuaian dalam kebijakan pajak dan penerimaan negara.

Dengan badan yang langsung di bawah pengawasan Presiden, perubahan kebijakan dapat dilakukan lebih efisien.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Cosmas Bayu

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co