Aku Bersyukur, Masih Bisa Berlari (1)

04 Oktober 2018 22:21

Gempa,  tsunami di Palu dan Donggala itu maha dahsyat. Sulit bagiku untuk menuturkan dengan kata. Apalagi tulisan. Namun dalam kesempatan ini aku akan mencoba merangkai kembali ingatanku. Tentang bencana, murkanya laut dan bumi Palu dan Donggala.  Semua begitu cepat, sangat dahsyat. Diluar nalar, juga alam pikirku. Sungguh, saya berharap, dan kalau boleh dan bisa memohon, cukup sekali saja bencana seperti ini terjadi.

Sebelumnya aku, Frea Anneta. Biasa dipanggil Frea. Selama ini aku bekerja untuk GenPI, Generasi Pesona Indonesia. Biasa mendampingi teman-teman dari GenPI dalam berbagai kegiatan dan event. Terutama, dalam Calender of Event (COE )  Kementerian Pariwisata di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Pada Kamis (27/9). Kami beserta rombongan dari Jakarta menuju Palu. Untuk mempersiapkan Festival  Palu Nomoni. Ini merupakan festival budaya dan kuliner yang diselenggarakan setahun sekali di kota itu. Lokasinya ada di sepanjang bibir pantai Talise, yang letaknya tidak jauh  dengan pusat kota.

Ada enam orang dalam rombongan kami.  Diantaranya, Pak Bambang Widjanarko, Pak Putu dari Kemenpar. Ada fotografer Mbak Nana, Nurcholis, juga Kurniawan Widiyanto. Mereka adalah kawan-kawan dari wartawan. Sedangkan dari GenPI ada Jeki dari Lombok, Rani dari Maluku, dan David dari Ternate.

Tepat pukul 22.05 waktu Indonesia Tengah (WITA), kami mendarat di Bandara Sis Al-Jufri Palu. Terlambat 30 menit dari jadwal, maklum pesawat delay. Bagiku, itu biasa. Pasalnya, aku sering menggunakan maskapai itu, dan selalu delay. Susan dan Iffa sudah menanti kami di Bandara. Keduanya adalah GenPI dari Sulteng. Bagi kami, Susan dan Iffa adalah tuan rumahnya. Dari Bandara kami diajak mampir ke warung kopi. Maaf aku tidak terlalu memperhatikan nama tempat ngopi itu.

Seperti biasa, sambil ngopi kami di briefing seputar rencana acara esok hari. Tidak terlalu lama, setelah itu kami beranjak ke hotel. Kami menginap di hotel The Sia. Hotelnya baru, dan tentu juga masih bersih. Pelayanannya juga sangat bagus dan ramah. Beberapa pejabat Kemenpar konon juga pernah menginap di hotel ini. Sampai di sini, sama sekali belum ada tanda apa pun.  Apalagi firasat buruk. Semua berjalan normal, seperti pada kegiatan GenPI di berbagai daerah sebelumnya.

Di hotel aku sekamar dengan Nana. Seperti biasa, sesampainya di hotel aku langsung mengeluarkan semua peralatan. Charger handphone, juga power bank. Begitu pula dengan Nana. Ia nampak sibuk mempersiapkan alat-alatnya. Selain mengisi baterai handphone, ia juga sibuk dengan baterai camera.

Setelah segalanya selesai, aku rebahkan tubuh. Hingga aku terlelap. Pagi-pagi aku sudah terbangun. Aku lupa jam berapa. Tetapi jam 10.00 waktu setempat, kami sudah dijemput oleh panitia. Kami melakukan visit ke Souraja, sebuah kawasan bekas kerajaan Kaili. Kami sempat keliling untuk melihat-lihat situs peninggalan suku Kaili.

Tidak terlalu lama kami berkeliling menyusuri kawasan Kaili. Karena harus menjalankan salat Jumat, bagi yang lelaki. Sementara mereka menjalankan salat Jumat, kami menunggu di sebuah warung makan. Kami menyantap makanan khas suku Kaili. Ada sop Daun Kelor. Ada ikan bakar yang dicabein. Dan beberapa jenis makanan khas lain, yang aku tidak begitu memperhatikan jenisnya satu persatu. Semua makanan di hidangkan seperti layaknya kalau kita makan di rumah makan Padang. Saya minum es kelapa. Sangat segar, di tengah teriknya kota Palu. Palu kotanya panas banget.

Usai makan kami bergegas kembali ke hotel. Kembali fokus untuk persiapan pembukaan festival Nomoni, yang rencananya akan di gelar di sepanjang bibir pantai. Pukul 14.30, kami sampai di hotel.  Seperti biasa, sesampainya di hotel kami langsung ambil charger handphone. Begitu pula Nana. Ia sibuk mempersiapkan baterai kameranya. Setengah jam kemudian, sekitar pukul 15.00 WITA terasa hotel bergerak-gerak. Ah ada gempa, pikirku. Kami berdua masih terdiam. Tidak ada rasa was-was, khawatir apalagi takut. Sebelumnya dari warga setempat saya sudah diberi tahu, di Palu memang sering ada gempa.  Gempa itu sudah biasa di Palu. Jadi saya tidak terlalu begitu khawatir.

Beberapa saat kemudian, saya tahu gempa yang baru saja terjadi  berkekuatan 5,3 skala richter. Saya tahunya justru dari Jhe, ketua GenPI Lombok/Sumbawa melalui grup WA.  Jhe memang selalu memantau kegiatan kami. Karena ada perwakilan dari GenPI Lombok/Sumbawa dalam rombongan kami. Dan kami selalu saling berkoordinasi dan saling mengabarkan setiap kegiatan. Inilah GenPI.

Aku masih lanjutkan rebahan di kasur. Sementara Nana, masih sibuk dengan peralatan kameranya. Aku pikir, Nana ini serius banget kerjanya. Pada saat bersamaan, terasa kasur kembali bergoyang-goyang. Kaca di kamar mandi tiba-tiba bersuara krek…krek… mungkin, karena aku terlalu capek,  aku tidak begitu mengabaikan gempa itu.  Apalagi, pihak hotel juga tidak memberitahukan apa pun. Semua sudah seperti biasa. Pikirku, semua akan aman-aman saja.

Menjelang pukul 17.00 WITA kami keluar hotel. Menuju ke tempat acara, yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Namun, saat itu jalanan  sudah sangat padat. Nampak ribuan masyarakat berbondong-bondong menuju ke pantai. Motor, mobil dan pejalan kaki berbaur menjadi satu. Menuju ke arah pantai Talise. Tempat Festival Nomoni akan digelar. Akhirnya, jarak yang sebenarnya tidak jauh itu, ditempuh hampir setengah jam lamanya dengan mobil.

Di bibir pantai sudah begitu ramai. Selain penonton, sejumlah pedagang, dan pengisi stand masih berdiri berjejer di tepi jalan besar. Mereka belum menggelar dagangannya. Entah apa yang mereka tunggu. Kondisi ini sempat membuat kami sedikit panik. Pasalnya, acara akan dimulai tinggal beberapa jam lagi. Tetapi, masih banyak stand yang kosong. Kalau pun sudah ada orangnya, mereka belum membongkar barangnya.

Karena kondisi ini pula, akhirnya kami memutuskan untuk memecah tim menjadi dua. Satu tim menuju ke anjungan Nusantara. Seingat saya, rombongan Widi menuju ke arah anjungan Nusantara. Sedangkan aku, berjalan dengan Papi Share ( maaf aku lupa nama aslinya). Ia dari GenPI Sulteng. Orang biasa memanggilnya Papi Share. Jadi aku ikut saja memanggilnya begitu.

Aku Bersama Papi Share menuju ke Jembatan Kuning. Jembatan yang sangat terkenal di Palu. Di sepanjang perjalanan, aku dibayangi kekhawatiran. Bukan soal gempa, apalagi tsunami. Tetapi soal persiapan acara yang menurutku sangat lambat. Aku sempat berpikir, apa bisa mereka mempersiapkan semuanya dalam waktu yang sangat singkat. Sementara waktu terus berjalan. Mereka masih nampak tenang-tenang saja.

Mereka masih duduk-duduk santai. Barang-barangnya juga masih dibiarkan teronggok  di  atas bak mobil. Aku sempat berdiskusi dengan Papi Share. Bagaimana ini, kok bisa begini,  kok kayaknya mereka gak niat banget…begitu seterusnya. Saat berjalan, saya melihat bangku kosong. Di situlah aku kemudian duduk. Maunya melepas penat. Juga melepas stress.

Beberapa detik kemudian, setelah aku duduk, tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Tidak jelas asalnya, dari mana. Yang pasti sangat keras. Dalam hitungan detik kemudian, bumi berguncang. Bumi bergetar. Selama ini, kata-kata seperti itu saya hanya tahu dari lagu saja. Atau kadang juga puisi kala masih di sekolah. Tapi sumpah, ya Allah  kali ini aku benar-benar merasakan bagaimana bumi berguncang. Bagaimana bumi bergetar itu. Mengerikan!

Ada gempa lagi. Teriak ku tanpa sadar. Mungkin karena guncangannya terlalu keras. Atau getarannya terlalu dasyat, rasanya ngebanting. Saya lihat banyak orang berjatuhan. Saat itu pula, Papi Share teriak, Lariiii…..gempaaaa…. lariiii. Aku langsung lari. Tidak tahu, pokoknya lari. Mengikuti warga… larriii dan lariiii. Di tengah kepanikan, ketika gempa agak tenang aku sempat menoleh ke belakang.

Betapa aku terkejutnya, jembatan kuning yang perkasa itu sudah tidak ada lagi…Jembatan Kuning sudah hilang...aku pun lari… dan  terus berlari. Tidak ada lagi yang kupikirkan… kecuali aku harus lari. Tidak mikir  apakah lari ku kencang. Pokoknya lari. Mengikuti arus warga, karena aku juga tidak tahu harus kemana larinya….Bumi masih terus berguncang, terus bergetar. Suara gemuruh, seperti badai,   tiba-tiba tanah merekah …banyak warga yang berjatuhan, terinjak-injak warga lainnya. Aku melihatnya,tapi tak bisa menolong mereka. Karena aku juga harus berlari, dan berlari.  Aku terus berlari  tatkala ombak seperti mengejar dan ingin menggulung bumi seisinya.( bersambung)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2025 by GenPI.co