Bram, Kamu Telah Merusak Masa Depanku!

16 Januari 2020 10:12

GenPI.co - Entah apa yang terlintas dalam pikiranku saat itu. Sebuah keputusan besar sudah aku lakukan dan itu merupakan sebuah kebodohan yang sangat gila. 

Perjuangan mendapatkan beasiswa di luar negeri tidak segampang membalikkan telapak tangan. 

Aku harus mati-matian membagi waktu siang dan malam. Ikut kursus bahasa asing yang menjemukan, belum lagi ditambah menyisihkan waktu dengan dia yang sangat overprotective. 

Setelah mendapatkan kesempatan emas untuk bisa melanjutkan S2 di Sydney, Australia, justru aku melepasnya begitu saja hanya karena seseorang yang aku cintai. 

BACA JUGA: Putus Cinta Karena Tertunda Lulus Kuliah, Dia Direbut Cowok Mapan

Pilu rasanya jika harus mengingat semua kejadian tersebut. Menyesal memang datang belakangan. 

Kalau saja saat itu aku mendengarkan nasihat dari sahabat, mungkin saat ini aku sudah selesai mengenyam pendidikan di Australia. Ah sudahlah!

“Mel, plis…..! aku nggak bisa LDR-an, aku nggak bisa jauh dari kamu, batalkan beasiswa kamu, ya! Kita nikah!” begitulah pinta Bram saat itu. 

Meminta aku untuk tidak mengambil beasiswa yang sudah lama saya dambakan. Kesempatan itu entah kapan datang lagi?

Siang itu, bak disambar petir di siang bolong mendengar Bram merengek di depan aku memohon untuk tidak mengambil beasiswa itu. 

Rasanya campur aduk dan bingung. Aku hanya menatap Bram yang duduk di hadapanku. 

BACA JUGA: Tunangan Martunis Bak Bidadari & Ceria, Netizen: Menantu Ronaldo

Kantin kampus yang ramai dengan puluhan mahasiswa pun serasa menjadi sepi. Hanya ada kami berdua dengan masalah yang sangat rumit itu. 

Bagaimana bisa? Dia yang selalu mendukung aku untuk mendapatkan beasiswa itu, justru menjadi orang pertama yang melarang untuk mengambilnya setelah aku berikan amplop berisi pengumuman bahwa aku diterima. 

“Sebaiknya kamu pikirkan baik-baik, Mel. Ini keputusan yang sangat besar. Ibu tahu kamu sulit untuk memilih. Tapi saran Ibu, kamu ambil beasiswa itu, kedepannya juga untuk kebaikan kalian berdua. LDR paling hanya 2 tahun saja kan? Atau kalian bisa menikah dulu sebelum berangkat,” kata Ibu Dew, dosen pembimbingku mencoba memberikan nasihat. 

Bukan masalah menikah dan beres. Masalah yang lebih rumit lagi adalah meyakinkan ibu Bram untuk merestui hubungan kami. 

Hampir satu minggu aku tidak membalas chat dari Bram, bahkan aku selalu menghindar dari dia. 

Di kampus aku hanya bisa merenung di perpustakaan, membolak-balik lembaran buku tanpa membacanya. Pandangan kosong dan pikiran kusut. 

“Mel, gue tau ini sulit bagi lu, tapi tolong jangan siksa diri lu dong. Ayo kita makan, atau lu mau shopping nge-mal? Udah gue yang bayar kalau lu nggak ada duit,” ajak Rere yang selalu menghiburku, tapi selalu aku tolak. 

“Beep..beep,” suara ponsel. 

“Mel aku sudah bilang sama mama kalau aku mau menikah dan kamu diminta datang ke rumah, mama pengen kenalan sama kamu,” kata Bram mengirimkan pesan singkat. 

“Re….! coba deh baca ini!” 

“Semua terserah lo Mel. Cuma gue tetap nggak setuju lu batalin beasiswa itu! Urusan nyokap Bram udah mau menerima lo, gue sangat senang mendengarnya,” sahut Rere, sahabaku dengan nada datar. 

Saat itu, Bram benar-benar membawa aku datang ke rumah dan diperkenalkan kepada keluarganya. Aku sadar Bram anak orang kaya, berbeda dengan keluargaku.

Selayaknya orang baru, aku pun bersikap santun di depan orang tua Bram. Namun, entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan sikap mamanya Bram. Seperti ada sebuah rasa keterpaksaan. 

Obrolan kami cukup serius waktu itu, sampai membahas sebuah rencana pernikahan dan pembatalan beasiswa. 

Mama Bram tidak mau ketika kami menikah tapi LDR. Jadi, jika aku ingin mempertahankan orang yang aku cintai ini maka aku harus merelakan cita-cita aku meneruskan kuliah di Sydney, Australia.

Aku mencoba meyakinkan diri dan mengambil keputusan besar. Aku memilih Bram dan membatalkan beasiswa itu di depan orang tua Bram. Aku melihat wajah Bram yang sangat sumringah dan memeluk aku, sambil mengucapkan rasa terima kasih karena aku telah memilihnya. 

Pertemuan aku sore itu di rumah Bram dengan keluarganya pun berlanjut ke pertemuan keluarga besar kami. Bahkan saat itu adalah hari dimana aku seharusnya berangkat ke Sydney. 

Hari pernikahan aku dengan Bram adalah yang sangat kutunggu. Tiga hari lagi rasanya seperti setahun. Sudah satu minggu kami tidak saling bertemu, karena dipingit. Kami hanya berkomunikasi via telepon. 

Namun tiga hari menjelang pernikahan, keluarga Bram datang. Mereka membatalkan acara pernikahan kami secara sepihak. 

Orang tua Bram membatalkan pernikahan kami dengan alasan Bram telah menghamili Sovia, seorang wanita yang sempat dijodohkan dengan Bram.

Kejadian ini tak hanya membuat hati remuk. Bram, kamu telah merusak masa depanku! (*)
 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Linda Teti Cordina Reporter: Mia Kamila

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co