Sebuah Penantian yang Tidak Sia-Sia

07 Mei 2020 20:32

GenPI.co - “Hati-hati, ya,” kalimat singkat, padat, dan sederhana yang dikeluarkannya membuat aku berpikir tentangnya setiap hari.

Kalimat itu membuatku bertanya-tanya kepada diri sendiri. Apakah aku jatuh hati kepada lelaki itu?

BACA JUGA: Ilmuwan Indonesia Catat Sejarah Penting soal Virus Corona

Senin, 25 November masih kuingat hari pertama kali bertemu dengan pengisi hatiku saat ini.

Dia adalah lelaki yang aku wawancarai pada hari itu. Tidak diduga pertemuan itu menjadi awal dari perjalanan kisah kami.

Diawali dengan tugas wawancara dadakan yang diberikan oleh dosenku dan harus dikumpulkan hari itu juga.

Sungguh aku tidak dapat berpikir saat itu ingin mewawancarai siapa. Saat itu temanku menawarkan untuk mewawancari seorang project officer (PO) dia adalah mahasiswa jurusan elektro.

Dengan setengah hati aku menghubungi PO itu untuk melakukan wawancara langsung.

Aku menemuinya ditemani oleh temanku. Dari kejauhan aku sudah melihat punggung lelaki itu. 

Lelaki dengan balutan kemeja bermotif kotak-kotak hitam sedang berbincang-bincang dengan temannya di salah satu tempat favorit para mahasiswa jurusan elektro, yaitu Kantin Elektro.

Makin aku mendekatinya, jantung terasa berdebar sangat cepat. Tidak mengerti apa yang sedang aku rasakan saat itu.

Jantungku makin berdebar cepat seperti dikejar-kejar hantu. Tanganku berkeringat dingin saat menyapanya untuk pertama kali.

Saat dia membalas sapaanku, entah kenapa aku merasa seperti batu. Hatiku berdebar kencang saat mendengar suaranya.

Bagiku terasa aneh karena tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Selama wawancara aku hanya sedikit bertanya, melainkan temanku yang banyak bertanya saat itu.

Padahal itu adalah tugasku. Aku tidak bisa mengatasi detak jantungku yang terus berdebar saat berhadapan dengannya.

Di pikiranku hanya ingin segera kembali ke kelas saja. Wawancara pun telah selesai. Aku dan temanku bergegas kembali ke kelas.

Saat aku merapikan kertasku, lelaki itu mengatakan kalimat singkat yang membuatku selalu terngiang setiap harinya.

"Hati-hati, ya." ucapnya.

Seminggu berlalu. Sama sekali tidak ada komunikasi dan pertemuan di antara kami semenjak wawancara hari itu.

Aku mendapat banyak informasi tentang dia dari teman-temanku. Heran sekali entah dari mana teman-temanku mendapatkan informasi tentangnya.

Berdasarkan informasi yang kudapat, ternyata dia lumayan terkenal di jurusan elektro.

Dia aktif dalam organisasi mahasiswa, pintar bermain gitar, dan beberapa kali dia tampil bersama bandnya di acara kampus.

Wanita mana yang tidak mengaguminya. Semenjak itu, aku mengira hanya perasaan kagum saja yang aku rasakan saat melihat dia untuk pertama kali.

Rasanya tidak mungkin jika aku jatuh hati kepadanya. Begitu pun sebaliknya.

Senin, 2 Desember semua mahasiswa dari berbagai jurusan mengadakan parade keliling kampus merayakan hari jadi kampuskku.

Di kerumunan banyak orang, rasanya ada yang tidak asing bagiku. Jelas sekali aku masih mengingat wajah dan suaranya.

Hari itu aku dipertemukan kembali dengan lelaki berkemeja kotak-kotak hitam yang aku wawancarai.

Saat aku menatapnya, tidak sengaja dia menatapku kembali. Malu. Itu yang aku rasakan.

Aku tidak bisa berkata-kata dan hanya bisa mengalihkan tatapanku. Aku hanya bisa curi-curi pandang sekali atau dua kali karena takut dia menatapku lagi.

Saat itu aku tidak pernah sekali pun berpikir dia akan menghubungiku lagi. Aku pun tidak berharap bisa dekat dengannya hanya karena mata kami saling bertemu.

Sampai pada paginya aku dikejutkan oleh pemberitahuan di ponselku. Senyum.

Itu respons pertama saat aku melihat pemberitahuan lelaki itu memulai percakapan kembali dengan menanggapi unggahan yang aku share di media sosial.

Aku masih teringat rasanya seperti mimpi. Senang sampai ingin berteriak yang kencang.

Sejak dia mulai percakapan itu, kami makin sering berkomunikasi. Dari membicarakan hal yang penting sampai hal yang tidak penting.

Selama seminggu kami hanya berkomunikasi lewat media sosial. Untuk pertama kalinya dia mengajakku makan siang bersama.

Saat itu sedang ada mata kuliah, bukan materi yang aku pikirkan. Namun, aku hanya memikirkan topik apa yang nanti akan dijadikan percakapan agar tidak kaku saat bersamanya.

Selesai mata kuliah, aku segera keluar gedung untuk menemuinya. Lagi dan lagi jantungku berdebar cepat melihat dia berjalan menghampiriku. “Yuk,” katanya.

Dia mengajakku makan siang di foodcourt belakang kampus. Tidak ada roda dua ataupun roda empat.

Hanya ada langkah kaki kami yang berjalan beriringan. Sederhana. Hal kecil yang bisa membuatku merasa bahagia.

Sejak saat itu kami makin akrab. Namun, aku tidak tahu apakah dia memiliki rasa yang sama seperti yang kurasakan atau mungkin tidak.

Teman-temanku mengatakan kisahku seperti air mengalir. Namun, faktanya tidak seperti itu.

Ada saat dia tidak ada kabar selama 3 minggu. Aku tidak ingin mengganggunya.

Mungkin dia sibuk dengan kegiatan kampusnya atau apa pun itu. Aku juga tahu diri bukan seseorang yang penting untuknya.

Aku hanya bisa menunggu tanpa mengetahui dia sedang apa, di mana, bahkan kabarnya saja aku tidak tahu.

Aku tidak tahu mengapa intuisiku selalu mengarah kepadanya. Perasaanku masih tetap sama seperti pertama kali kami bertemu.

Sabar. Itu yang kurasakan saat menunggunya kembali. Padahal saat itu aku tidak tahu apakah dia benar akan kembali atau tidak sama sekali.

Pada Februari, tak disangka dia menghubungiku kembali. Namun, kami hanya membicarakan tentang acara kampus.

Aku juga tidak banyak berharap dia kembali seperti saat kami dekat. Cukup berteman saling menyapa saja sudah membuatku senang.  Ternyata takdir berkata lain. Kami makin sering pergi bersama, walaupun hanya pergi ke warung kopi Atau tempat sederhana lainnya.

Makin sering kami bersama-sama, kian besar juga rasa takut kehilangannya lagi.

Seiring berjalannya waktu, dia mengungkapkan bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama denganku.

Awalnya aku tidak yakin. Lelaki yang selama ini aku suka ternyata memiliki perasaan yang sama.

Terharu karena senang. Itu yang aku rasakan. Kami sepakat untuk menjalani hubungan ini dengan saling percaya.

Walaupun tidak seromantis kisah Habibie dan Ainun, saat ini aku cukup merasa bahagia bersamanya.

Lelaki yang membuatku berdebar saat pertama kali bertemu. Saat ini menjadi penyemangatku pada saat aku merasa jenuh dengan keadaan.

BACA JUGA: Jokowi Keluarkan Peringatan Serius, Semua Harap Siap

Dia adalah salah satu nama yang selalu aku sebut dalam doa. Saat ini aku hanya berharap dia adalah orang yang tepat untukku.  (*)

*Cerita kiriman dari Amira Salsabila Aprilia, mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta.
 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ragil Ugeng

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co