GenPI.co - Angka pernikahan usia remaja (di bawah 18 tahun) di Indonesia cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Menurut data yang dihimpun oleh UNICEF, badan PBB yang bergerak dalam bidang kesejahteraan anak, dari seluruh wanita Indonesia yang telah menikah, 34% di antaranya menikah saat remaja.
BACA JUGA: Pernikahan Putri Yordania Jadi Royal Wedding Pertama Saat Pandemi
Pernikahan usia remaja juga berdampak buruk bagi kesehatan mental kedua orang pasangan.
Berikut adalah dampak-dampak psikologis yang mungkin muncul karena pernikahan usia remaja.
1. Gangguan mental
Risiko gangguan mental pada pasangan suami istri (pasutri) remaja cukup tinggi, yaitu hingga 41%.
Gangguan kejiwaan yang dilaporkan dalam penelitian tersebut antara lain depresi, kecemasan, gangguan disosiatif (kepribadian ganda), dan trauma psikologis seperti PTSD.
2. Kecanduan
Pernikahan usia remaja juga bisa menyebabkan masalah psikologis berupa kecanduan. Entah itu kecanduan minuman keras, rokok, narkoba, atau judi.
Kecanduan memang kerap terjadi karena banyak pasutri remaja tidak bisa menemukan cara yang sehat untuk meluapkan emosi atau mencari distraksi saat dilanda stres.
3. Tekanan sosial
Keluarga dekat, kerabat, hingga masyarakat bisa menjadi beban tersendiri bagi pasutri remaja. Hal ini semakin kentara di negara-negara yang menganut sistem hidup komunal.
Remaja laki-laki dituntut untuk menjadi kepala rumah tangga dan menafkahi keluarganya, padahal usianya masih sangat belia.
BACA JUGA: Cegah Pelakor, Hindari 7 Sifat Ini Jika Ingin Pernikahan Langgeng
Sementara remaja perempuan dituntut untuk membesarkan anak dan mengurus rumah tangga, padahal secara psikologis mereka belum sepenuhnya siap mengemban tanggung jawab tersebut. (Hellosehat)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News