Maafkan Egoku Sayang, Aku Pulang Ya…

10 September 2020 18:30

GenPI.co - Indah juga pantai ini. Hanya berisi satu kafe. Entah lah, mereka menuliskan warung di papan nama mereka dengan beberapa payung dan kursi rebah. 

Ah, masih ada satu payung kosong. Segera kududuki, malas saja kalau harus berebut kursi dengan orang lain.

BACA JUGATernyata Kamu Lebih Cinta Sama Ikan Cupangmu....

Di meja sebelahku persis, sepasang kekasih tampak mengobrol santai. Yang satu sedang sibuk memoles papan surfing-nya, sedangkan satunya sibuk mengobrak abrik tas cangklongnya, entah mencari apa. 

“Kamu semalam ngapain aja sih Ay sama teman-temanmu? Sampai bisa pulang jam 2. Padahal kan kau tahu hari ini kita ada acara.” 

Sambil memoles papan surfing dengan lilin, kudengar dia bertanya.

“Hahahahaha… curiga deh! Salah sendiri aku ajak enggak mau! Toh kamu kan sudah kenal mereka, lah! Semalam kita itu karaoke, ya namanya ramai-ramai, ya lama pastinya. Habis itu ngelayap cari makan,” yang satunya menukas panjang tapi sambil tetap sibuk dengan tasnya.

“Bukan curiga, Ay. Kamu kan gak bilang bakal pulang selarut itu.”

BACA JUGACinta Membuatku Tetap Setia Menanti Hayati Menjadi Seorang Janda

“Iya, maaf. Cerewet. Nih, pakai!”, sahutnya sambil menyorongkan botol warna kuning, sepertinya lotion sunblock.

Tingkah mereka berdua, jenaka penuh cinta. Sampai agak sakit mata, aku bolak-balik melirik mereka. Sedikit terselematkan dengan sunglass yang kupakai.

“Sendirian aja, mbak?” tanyanya sambil membalurkan sunblock di area lengannya.

Spontan aku menoleh. Tak menyangka akan diajak ngobrol begini. Curiga bahwa dia menyadari ketika aku mencuri pandang ke mereka dan menguping. Sial.

“Eh… iya, sendirian aja. Emang lagi pengin menyendiri saja sih,, jawabku sekenanya. Jujur, khan?!

“Lagi ada masalah sama cowoknya?”, super santai dia melempar pertanyaan itu.

Kalau aku bilang wajahku memerah karena sengatan matahari, maka aku berdusta. Toh payung ini membayangi tubuhku dengan sempurna. Pertanyaan itu, sungguh mengejutkan.

“Eh…, enggak kok. Cuma sedang ribut kecil aja”, sukar dipercaya, justru aku menjawab dengan kejujuran yang tak terkira. 

Ah sudahlah, kepalang tanggung. Toh dia orang asing juga, mungkin penduduk sini. Jadi aku tak perlu khawatir.

“Oh…, wajar lah dalam suatu hubungan. Pertengkaran kecil kan bumbu. Asal hati-hati saja. Salah-salah, jadi kebanyakan bumbu, jatuhnya malah hancur “masakan”, tak bisa dinikmati, hingga akhirnya basi”, katanya.

Dengan kekuatan yang entah bagaimana, aku makin tertarik dengan pembicaraan ini. Ini bukan aku, yang biasanya sangat menutup diri dari pembicaraan dengan orang asing. 

Tapi entah lah, orang ini seperti membuatku ingin bercerita banyak hal. Tentang alasanku minggat barang beberapa hari ke pulau ini.

“Dia?? Iya. Dia kekasihku, kok. Enggak usah canggung, toh gak ada yang peduli disini” potongnya.

“Masih baru ya?”, tanyaku iseng.

“Hahahahahaha…, kalau lima tahun bareng masih bisa dianggap baru, ya berarti kami masih baru. Masih seumur jagung lah bisa dibilang,” tergelak terguncang-guncang dia sukses membuatku menganga, makin kagum.

“Woy… katanya mau renang? Nanti keburu surut baru ngamuk-ngamuk!,” teriak seseorang dari papan surfingnya, dengan suara keras sambil terapung-apung seksi di atas papan selancarnya.

“Iya gue turun sekarang! Hehehehehe…, sudah dulu ya. Pengin renang soalnya hari ini, mumpung lagi dapet liburan bareng juga. Enjoy the beach ya…”, pamitnya sebelum dia berlari menyongsong ombak.

Seru sekali melihat mereka. Ada semacam rasa iri terselip di hati. Tapi rasa bahagia memandangi tingkah jenaka mereka lebih merajai. Lingkaran kecil yang manis.

Sejenak aku larut dalam lamunan manis, memandang mereka yang bercanda di tengah derai ombak, tapi pikiranku melayang entah kemana.

Ponsel smartphone mendapat pesan WhatsApp.

"Aku tahu kau masih marah, masih mengagungkan emosi yang memang telah aku picu. Masih memanjakan dendam atas ucapan dan tingkahku yang sudah kusadari, kenakan-kanakan. Tapi kuharap kau juga tahu, bahwa itu adalah ungkapan spontan. Aku takut kehilanganmu."

Aku terpaku memandang pesan singkat itu. Kelebatan bayang tentang masa-masa indah kami yang kemudian melontarkanku pada pulau ini, sekarang ini, hanya karena pertengkaran hebat 4 hari lalu.

Pertengkaran yang muncul karena aku salah menafsirkan keadaan, tak memahami bahwa dia begitu mencintaiku dan takut kehilangan.

Aku menyadari kebodohanku. Aku menangis, menyesap sesal dan dijejali rindu.

Segera kukemasi semua barangku. Aku harus pulang saat itu juga. Cukup keegoisanku menyiksa kami berdua.

Aku sempatkan diri menyentuh ombak, berpamitan dengan sahabat baru itu.

“Hai, aku pulang sekarang. Terima kasih banyak untuk obrolan yang hangat tadi,” pamitku dengan seuntai senyum tulus yang bisa kuberikan pada dia yang sedang berenang-renang meningkahi ombak.

“Eh, mau pulang? Beneran pulang maksudnya?,” tanyanya.

"Iya," jawabku.

“Terima kasih. Dan sampaikan salamku juga pada kekasihmu, begitu menyenangkan melihat kalian,”, kataku sambil mengerling ke arah lepas pantai, di antara ombak yang melebur dimana seseorang sedang begitu asyik memaduh kasih dengan papan kesayangannya.

Kami berpisah dengan sesungging senyum.

Ketika aku sudah duduk nyaman di pesawat yang akan membawaku ke Bandung, aku baru menyesal, aku bahkan belum sempat menanyakan nama mereka! 

Ah, semoga suatu hari nanti kalau aku dan kekasihku punya kesempatan ke pulau ini lagi, aku berharap bisa bertemu mereka, lagi.(*)
 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Linda Teti Cordina Reporter: Hafid Arsyid
cinta   kekasih   ego   sayang   dear diary  

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co