Edi Warman, Dulu Penjahat Sekarang jadi Guru Ngaji

23 Februari 2019 10:27

Wajahnya ramah dan tampak menua. Ia tampak bersahaja, berdiri di depan kelas menghadap ratusan murid TPA/TPSA Syekh Abdul Manan. Sisa keperkasaan di masa muda masih membekas. Sementara  bibirnya selalu mengumbar senyuman para sekalian siswa. Suasana kelas hening, sebab para takzim pada sosok renta yang sedan berbicara itu.

Edi Warman saat ini telah menginjak usia ke 60nya. Sudah senja. Jika dilihat puluhan tahun lalu, tak ada yang bakal menyangka kalau sosok ini pernah lama berkubang dalam dunia kejahatan. Mencuri, merampok bahkan hingga membunuh pernah dilakukannya. Berkali-kali pula raganya harus dikerangkeng di aling jeruji besi.

Namun itu dulu, saat hidayah masih belum menyentuh sanubarinya.

Kepada GenPI.co, Edi mengisahkan perjalanan kehidupannya. Ia lahir dan melalui masa kecilnya di Nagari Tanjung Alam, Kecamatan Tanjung Baru. Hingga tamat SD, dia dididik dan dibesarkan dengan ajaran agama yang kuat oleh kedua orang tuanya. Kelakuannya berubah liar saat duduk di bangku SMP, kala dia pindah sekolah di Jakarta. Saat itu, dia terpaksa ikut karib kerabatnya yang tinggal di ibukota.

Edi rupanya tak tahan tinggal bersama keluarga itu. Ia memberontak dan memilih tinggal jalanan yang keras.  Meski demikian, ia masih sempat menjadi juara mengaji se-DKI Jakarta tingkat SMP.

Hidup di jalan, Edi terlibat perselisihan dengan sesorang. Ia jadi dendam. Bahkan setelah pulang dan melanjutkan sekolah SMA di kampung, dendamnya tak hilang. Lulus SMA ia kembali ke Jakarta untuk melampiaskan dendamnya itu. Hasilnya dia masuk bui selama lima tahun.

Alih-alih jera lantaran dikurung, Edi semakin beringas. Ia malah semakin larut dalam dunia kejahatan dan menjadi penjahat kelas kakap. Dalam 25 tahun menjalani kehidupan kelam, segala hal sudah dilakukannya. Berkali-kali ia sadar sedang menyimpang. Namun ia terpaksa mengikuti pola permainan dunia hitam. Jika tidak, binasa adalah risikonya.

“Jika saya tidak membunuh, maka saya yang akan dibunuh, begitulah dunia kejahatan. Siapa yang kuat dia yang menang. Tapi itu, dulu, sudah lama sekali,” ujar Edi sambil menyeruput kopi hitamnya saat ditemui di TPA/TPSA Syekh Abdul Manan akhir pekan lalu.

Bagi beberapa orang, Edi dan komplotannya adalah Robin Hood. Sebab, hasil kejahatannya tak untuk dinikmati sendiri. Sebagian ia sumbangkan pada mereka yang membutuhkan. “Pernah sumbang ke panti asuhan. Juga fakir miskin,” ceritanya.

Setelah bertobat, Edi menjadi guru ngaji.

Tahun 1996 Edi mencoba berubah. Ia mencoba berubah dan kembali ke kampung halamannya. Hidupnya yang sudah berantakan meulai ditatanya kembali. Ia bahkan mencoba mengurus perguruan mengaji milik keluarganya.

“Saya juga mencoba jadi orang upahan. Mulai dari mengambil kelapa, jadi buruh harian, menyabit padi. Namun, semua itu tidak sesuai dengan harapan,” katanya.

Kehidupan yang pelik masa itu, membuat Edi tidak tahan.Ia kembali lagi ke dunia hitam. Melakuan ini itu, lalu masuk keluar penjara.

Tahun 2012 jadi titik balik dalam kehidupan Edi. Ia kembali ke kampung halaman untuk mencoba bertobat. Namun ujian segera menimpanya. Seluruh hartanya ludes terbakar. Yang tersisa hanya pakaian yang melekat di tubuh. Tidak sampai disitu, ujian lain kembali menyusul. Buah hati yang begitu dicintainya jatuh sakit. Semua itu, menjadi bahan renungan bagi dirinya dan perlahan kemudian membawa dirinya benar-benar bertobat dan berubah.

Perlahan Edi dan keluarga kembali menata kehidupan dengan cara yang berbeda. Edi mulai fokus mengurus TPA/TPSA dan kembali menjalani kehidupan sebagai petani. “Yang tidak ketinggalan dalam merubah saya tentulah doa dari orang tua. Kemudian landasan agama yang diberikan kepada saya sewaktu kecil memacu  saya untuk bertobat,” terangnya.

Yang namanya hijrah, tentu ada saja ujiannya. Edi sudah dikenal pernah menjadi penjahat yang sudah keluar masuk penjara.  Masyarakat sekitarnya tentu tak mudah mempercayakan anak-anak mereka belajar ngaji pada seorang mantan penjahat.

Namun ia tak goyah. Perlahan-lahan, kepercayaan kembai ia dapatkan. Cemooh berubah menjadi penghargaan. Sekuat tenaga ia mendidik anak-anak yang mau belajar ngaji padanya. Ia juga melakukan hal lainnya, menemui beberapa orang yang dulu pernah disakitinya dan meminta maaf. Malah, orang-orang terbut menjadi teman baiknya hingga sekarang.

Tidak gampang untuk hijrah begitu saja, tetap akan ada ujian yang harus dilalui. Begitu juga dengan Edi, setelah melakukan berbagai macam bentuk kejahatan dan diketahui oleh orang sekeliling membuat Edi kembali diuji. Apalagi, dari keluar masuk jeruji besi menjadi guru ngaji tidak begitu saja dipercaya oleh orang.

Prestasi yang diraihnya, mengantarkan Edi ke Tanah suci beberapa kali, dia pernah mendapatkan reward didikan subuh terbaik sebanyak 7 kali. Pada tahun 2014 dan 2018 lalu dia juga berangkat umrah hadiah dari Pemkab Tanahdatar dan perantau Tanjung Alam yang ada di Jakarta.

Beranjak dari kehidupan yang dilaluinya itulah, kini dia menyadari dan diterapkannya jika landasan agama memang dibutuhkan sejak kecil. Kini Edi menjadi Kepala guru TPA/TPSA se Tanjung Baru, Ketua Lembaga Didikan Subuh dan banyak jabatan lainnya.

“Untuk memberikan landasan agama itu kepada siswa harus dimulai dengan disiplin, kebersihan, kerajinan. Itu yang kami terapkan di pondok ini. Mengajarkan siswa akan ilmu agama untuk diterapkan dimana saja, tidak hanya di pondok, tapi juga di rumah, dan lingkungan,” ujar Edi.

Edi menjalin kerjasama dengan pihak sekolah, tokoh masyarakat dan wali murid dalam mengandeng anak –anak dalam belajar. “Meski kita belajar agama, kita juga disini memiliki komite TPA/TPSA serta semacam osis bagi siswa,” imbuhnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co