Kepergian Dea Membuat Aku Tak Dapat Lagi Membuka Hati

12 November 2020 07:50

GenPI.co - Hari ini tepat dua tahun lalu semenjak kepergiannya. Namun, masih saja aku tidak bisa melupakan dia. 

Senyumnya, tawa, hingga kebiasaan tangan yang memukul lembut pundakku saat terlalu bahagia, masih sangat terasa.

BACA JUGAPerenang Tampan di Labuan Bajo, Kekasih Sesaatku

Dea adalah wanita pertama yang menyentuh hatiku. Ia memang tidak terlalu feminin, bahkan tak memiliki suara yang lembut saat berbicara pada banyak orang. 

Tetapi, dia menjadi sosok yang sangat berbeda saat ada di dekatku. Kelakuan manjanya dan sentuhan lembut tangannya menyentuh pipiku, selalu buatku lemah tak berdaya.

Di tengah kegiatan yang padat usai latihan basket, aku ingin menjemput kekasihku, yang sedang kursus melukis. Aku meminta padanya untuk menungguku menjemputnya di tempat kursus. 

Dengan menggunakan motor matic, aku menempuh perjalanan hingga dua jam lamanya dari Sentul menuju Jakarta Barat.

BACA JUGAHanya 4 Bulan Jadian, Si Pria Tampan Meninggalkan Aku Selamanya

Sesampainya di sana, aku melihat dirinya masih tengah asyik berbincang dengan temannya. Hanya melihat punggungnya dari luar jendela, sudah berhasil membuat bibirku secara tak sadar tersenyum tipis. 

Aku menunggu Dea berputar badan untuk melihat aku. Wanita pujaanku menoleh kebelakang dan menyadari kehadiranku. Dengan cepat ia menghampiri aku yang sedang duduk santai di motor.

"Hai sayang, sudah nunggu aku dari tadi ya? Sebentar ya aku ambil barang-barang dulu," ucap Dea sambil mendaratkan tangan halusnya di pipiku.

Sebelum mengantar Dea pulang ke rumahnya, aku mengajaknya untuk makan malam terlebih dahulu. 

Saat berbincang penuh canda dan tawa, tidak terasa waktu sudah menunjukan pukul 20.30 WIB. Tanpa basa basi aku mengajak Dea untuk pulang agar tidak terlalu larut.

Sesampainya di depan rumah, Dea menahanku sejenak seakan akan terjadi perbincangan serius dengannya. 

Ia memegang tanganku erat, tatapan matanya tidak lagi penuh binar manja padaku. Dengan wajah sedikit mengerut pada dahi, Dea mengatakan ini berbicara serius denganku.

"Nino," panggil Dea.

"Ya sayang, ada apa?," tanyaku.

"Hari ini kan anniversary kita yang pertama, boleh aku tanya sesuatu?," tanya Dea.

"Boleh dong sayang, kamu mau tanya apa?," tanyaku balik.

"Kita sudah pernah bahas ini setahun yang lalu sebelum jadian, kita sama-sama tau risiko hubungan ini apa, boleh aku ambil risiko itu sekarang sebelum lebih lama lagi kita saling nyakitin?," papar Dea.

"De, tapi kita enggak ada yang saling nyakitin satu sama lain kok, aku sayang sama kamu demikian juga kamu kan," jawabku sambil menusap kepala Dea.

"Semakin lama dan dalam hubungan, kita sama-sama sadar sedang menyakiti diri sendiri kemudian hari, karena kita tahu enggak bisa bersama, " jelas Dea.

"Dea, enggak gitu caranya de," ucapku sambil memegang tangannya.

"Nino, maafin aku kita akhiri sampai sini ya. Kita nggak bisa terus jalanin hubungan beda agama ini," kata Dea, sambil menundukan kepalanya.

Betapa pun kerasnya aku meminta Dea untuk melanjutkan hubungan di malam itu, tidak pernah mendapatkan jawaban yang aku inginkan. 

Memang benar, aku terlalu hanyut rasa nyaman dan sayang kepada dirinya, tanpa memikirkan faktor kemudian hari.

Semenjak Dea memutuskan untuk pergi dari hidupku. Tidak ada seorang pun yang mampu mengantikan posisinya. 

Aku masih sangat mengharapkan dia kembali, apa pun yang terjadi. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

feminin   kekasih   pacaran   asmara   dear diary  

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co