Turun Mandi, Wujud Syukur Masyarakat Minang Dikaruniai Anak

02 April 2019 08:33

GenPI.co - Turun Mandi. Bagi masyarakat Minangkabau, frasa ini memiliki arti yang  dalam. Itu adalah sebuah ungkapan syukur  kepada Sang Khalik lantaran dikaruniai buah hati. Turun Mandi adalah tradisi khas masyarakat Minangkabau yang terus dijaga hingga kini.

Hari Minggu (31/3), keluarga besar Bupati Tanah Datar Irdiansyah Tarmizi menggelar prosesi Turun Mandi. Ini adalah ungkapan rasa syukur mereka atas kelahiran dua anak dari dua  menantu keluarga.

“kita adakan syukuran bagi kedua cucu kami tersebut dan sekaligus mencoba melestarikan adat budaya Minangkabau, bahwa juga sebagai perwujduan  nilai Adat Basandi Syara’ Basandi Kitabullah,” ungkap Bupati Irdinansyah usai acara tasyakuran dan turun mandi tersebut.

Turun Mandi berbeda dengan Aqiqah, meski sama-sama ungkapan syukur. Aqiqah dapat dilakukan mulai sejak si buah hati lahir, hingga akan menikah nanti. Namun, untuk turun mandi, biasanya dilakukan sejak anak masih bayi hingga umur tiga bulan.

“Secara syara’nya aqiqah kita laksanakan, secara adatnya turun mandi sebagai wujud syukur kepada Allah SWT,” jelasnya lagi.

Irdiansyah melanjutkan, kegiatan ini bukan seremonial semata. Ia dan keluarga ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa kita dalam rangka melestarikan budaya. “Apalagi Tanah Datar Luak Nan Tuo sebagai pusek jalo pumpunan ikan” ungkapnya lagi.

Jaman dulu, ritual Turun Mandi dilakukan ditempat pemandian, atau sumur yang disebut ‘luhak’ yang digunakan olehmasyarakat Minang jaman dulu untuk mandi.

Namun, saat ini prosesi turun mandi bisa dilakukan di rumah saja. Namun dalam hal ritual tidak berubah. Seperti keharusan memandikan bayi oleh seorang ‘Bako’ yang merupakan  keluarga dari pihak ayah si anak. Biasanya, saat prosesi turun mandi, si bako akan membawa berbagai barang bawaan yang dibungkus dalam talam (napan) dan ditutup pakai kain.

“Walaupun dilaksanakan di rumah, tetapi nilai-nilai yang ingin diambil tetap seperti yang diajarkan orang tua kita dahulu,” kata bupati.

Lebih jauh bupati katakan tradisi ini dalam rangka menjalin silaturahmi antara anak, bako, cucu dan karib kerabat, serta masyarakat. Ini juga adalah proses pewarisan nilai-nilai budaya yang banyak mengandung budi pekerti dan mengandung pesan-pesan moral yang bermanfaat.

“Mudah-mudahan masyarakat bisa mengikuti, tidak perlu berbesar-besar, sederhana saja, yang terpenting bagaimana seorang orang tua memperlakukan anaknya dan anaknya bisa mengenal dunia,” ia mengimbuh.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co