GenPI.co - Ambang batas pilpres atau presidential threshold pada Pemilu 2014 dan 2019 yang diikuti oleh dua pasangan calon membuat kompetisi berlangsung secara tidak adil.
Pakar politik Siti Zuhro mengatakan, hal tersebut mengakibatkan polarisasi dan disharmoni sosial yang mengancam persatuan nasional.
“Ambang batas pemilihan presiden membuat fungsi representasi tidak efektif karena pasangan calon yang muncul berasal dari kubu tertentu saja,” kata Siti Zuhro di Jakarta, Minggu (14/11/2021).
Sistem multi partai dengan jumlah yang banyak ditambah masyarakat Indonesia yang majemuk sebenarnya bisa memunculkan lebih dari dua pasangan calon.
Jika hanya ada dua paslon saja, sistem multi partai dan masyarakat majemuk menjadi tidak terwakilkan dalam skema pilpres.
Sehingga membutuhkan upaya yang lebih tinggi dalam rangka menjamin kepentingan rakyat dan membangun demokrasi yang substantif.
Selain keterbatasan jumlah pasangan calon, Siti menilai ambang batas pemilihan presiden mengakibatkan nama pasangan calon yang kemungkinan besar hanya nama lama, bahkan menyulitkan kaum perempuan dalam mencalonkan diri menjadi presiden.
“Selain perempuan, anak muda, figur-figur nonpartai, figur-figur atau tokoh daerah yang tidak terafiliasi partai juga dirugikan,” tutur dia.
Ia menegaskan bahwa Indonesia perlu menambah variasi pasangan calon yang berkompetisi di dalam pilpres.
“Ambang batas pemilihan presiden tidak diperlukan, karena kita cuma perlu ambang batas pemilihan legislatif,” katanya. (antara)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News