GenPI.co - Pakar hukum tata negara STHI Jentera Bivitri Susanti menilai pembahasan RUU Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga alot karena tak berjalannya keterwakilan perempuan di parlemen.
Bivitri pun menilai sudah seharusnya Indonesia bisa memastikan keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen di lembaga-lembaga tinggi negara.
Pasalnya, angka 30 persen hanya jumlah minimal agar perempuan bisa memiliki suara dalam pembuatan keputusan.
“Ambang batas bukan berarti hanya diisi 30 persen saja, sebaiknya bisa lebih dari itu,” ujarnya dalam webinar “Memastikan Keterwakilan Perempuan di Penyelenggara Pemilu 2024”, Selasa (4/1).
Pembahasan RUU Kekerasan Seksual sudah berjalan enam tahun dan hanya “tersangkut” di DPR.
“Tersangkutnya ini bukan karena belum dibahas dan katanya pada 13 Januari akan menjadi RUU usul inisiatif. Setelah itu, baru dibahas dengan pemerintah,” ungkapnya.
Sementara itu, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) sudah lama selesai dibahas oleh DPR. Namun, DPR menahannya di Badan Musyawarah (Bamus).
“Walaupun sudah selesai dibahas, tapi RUU PPRT itu tak kunjung diketok sebagai RUU usul inisiatif,” tuturnya.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa pentingnya pemenuhan hak-hak perempuan belum dilihat oleh para anggota legislatif, terutama perlindungan dari kekerasan seksual.
“Korban ini tak hanya perempuan, tetapi juga laki-laki. Meskipun begitu, enam tahun RUU Kekerasan Seksual enam tahun masih nyangkut,” ujarnya.
Bivitri memaparkan bahwa masalah di parlemen Indonesia bukan soal kesetaraan, tetapi pemenuhan jaminan perlindungan penegakan hak asasi perempuan dan anak.
“Itu saja belum tercapai, sehingga semua pihak harus bisa melihat dari situ. Kebijakan afirmatif bukan menunjukkan kehebatan perempuan, tetapi melindungi kelompok rentan,” paparnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News