GenPI.co - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengkritisi RKUHP yang menyatakan demonstrasi tak berizin akan dikenai pidana penjara paling lama 6 bulan.
Menurut dia, Indonesia sudah punya undang-undang tentang menyatakan pendapat di muka umum.
"Setelah 1998 bahwa yang namanya demonstrasi itu hanya memberitahukan karena merupakan hak asasi manusia," ucap dia di kawasan Juanda, Jakarta Pusat, Minggu (4/12).
Bivitri mengatakan unjuk rasa merupakan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Dia menyebut karena dijamin, maka bukan harus mendapat izin, melainkan sifatnya pemberitahuan.
"Manfaatnya pemberitahuan itu kalau terjadi sesuatu, polisi sudah siap mengantisipasi sebagai penegak hukum. Jadi, bukan izin," ungkapnya.
Bivitri mengatakan pasal tersebut menjadi salah satu peraturan yang harus dikritik.
Dia menyebut yang terjadi dalam praktik memang seperti itu dan sudah sering dikritik, tetapi terus dijalankan.
Terkait pasal RKUHP, Bivitri menjelaskan apabila mau ada demonstrasi, judulnya memang masih pemberitahuan.
Namun, biasanya di lapangan kalau ditanya sama polisi, diminta tanda buktinya sehingga seakan-akan diperlakukan sebagai izin.
"Hal itu yang mau dibakukan dalam RKUHP dan seharusnya melanggar kontitusi," kata dia.
Adapun Pasal 256 RKUHP disebutkan setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta).
Selain itu, dalam Pasal 357 disebutkan setiap orang yang mengabaikan perintah atau petunjuk pejabat berwenang yang diberikan untuk mencegah terjadinya kecelakaan dan menghindarkan kemacetan lalu lintas umum sewaktu ada pesta, pawai, atau keramaian (demonstrasi) dipidana denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta). (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News