Kalo gue tau, pasti sudah gue kasih tau, Bambang! katanya ketus sambil berdiri, isyarat mau pergi dari tempat itu.
Tapi aku tak bergeming. Aku dan Acil bertahan. Sementara yang lain mengikuti langkah rekan tadi untuk menjauh. Lantaran masih harus bertugas hingga pukul 04.00 WIB, maka aku tetap tinggal. Acil menemaniku.
Bro, gue mau beli rokok, mau nitip, ga? tanya Acil.
Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Aku sekilas melihat Acil. Dia agak pucat. Aku memberinya uang Rp20 ribu, memesan kretek bintang sembilan kebanggaan pria macho ketika itu.
Jangan lupa beli makan, Cil. Mati lu nanti. Pucat banget, lu, ujarku sambil nyengir.
Acil hanya misuh-misuh saja. Lalu dia beranjak ke lorong menuju depan rumah sakit. Zaman dulu masih banyak sekali tukang dagangan. Gorengan, kopi, mie ayam, bakso, kami tak akan pernah kekurangan makan. Ada pula pedagang minuman 'hangat' versi orangtua yang biasanya terselubung. Memakai dua plastik, bening dan hitam. Kalian pasti paham yang kumaksud, hehehe.
Menunggu Acil, aku sambil rebahan sejenak di lantai rumah sakit. Bodo amat lah dengan kondisi lantai marmer yang agak-agak kusam ini. Toh, kami juga sering tidur-tiduran sepanjang siang di sini.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News