Apa Kalian Mau Bertukar Tempat Denganku Memelihara Makhluk Ini?

Apa Kalian Mau Bertukar Tempat Denganku Memelihara Makhluk Ini? - GenPI.co
Sebuah cerita yang akan menerormu. Jangan membacanya jika tak ingin dia ada di hidupmu (Foto : Haunted Fear)

Suatu hari, Kamis, gak sengaja Raden belom pulang. Dia masih mencatat beberapa teori yang ditulis oleh guru fisika di papan tulis. Sama, gue juga. Masalah di hidup gue cuma satu, teori. Benci banget. Gue lebih suka praktik. Karenanya kalau ada catatan di papan tulis, gue lama geraknya.

Di kelas sisa gue sama dia. Tapi gue berhasil selesai duluan. Gue segera membereskan tas. Gak tau ada angin apa gue, gue samperin dia DAN ITU SALAH, SEBAB DARI SITU LAH MALAPETAKA DALAM HIDUP GUE DIMULAI.

Gue samperin dia dan sok akrab.

Masih lama? 

Raden ngeliatin gue acuh tak acuh. Gue Vira, anak baru, gue nyodorin tangan.

Raden membalas tangan gue. Raden, kata dia dengan suara yang agak serak. 

Gue liatin lu suka ngobrol sendiri. Gue diceritain sama anak-anak, katanya lu bisa ngeliat yang gaib gitu ya, Den. Gak takut lu? tanyaku bloon banget sumpah. Ngapain juga gue to the point begini. 

Raden pun menatap gue agak tajam, lalu kembali menulis. Dia gak jawab, mungkin karena konsentrasi dengan tulisan. Beberapa saat kemudian dia menutup bukunya. Lalu memasukkan seluruh alat tulisnya ke dalam tas. 

Kenapa lu tanya itu? Lu mau tau? tanyanya ke gue.

Gue mengangguk. 

Iya gue bisa lihat mahluk halus dan sejenisnya. Jadi gak usah kaget kalau tiba-tiba gue ngomong sendiri. Jelas, kan? katanya sambil berdiri tanda mau pulang.

Gimana caranya bisa lihat itu? Keturunan? Lagi-lagi gue menanyakan hal yang terlalu pribadi. Dan ini pertanyaan yang paling membuat gue menyesal seumur hidup.

Kalo lu mau tau, ikut gue, kata Raden.

Nah, lho, gue mau diajak kemana nih? Awalnya gue mau menolak tapi rasa ingin tahu gue kok besar banget, melebihi kata hati gue yang menyarankan untuk jangan mengikuti Raden. Akhirnya gue putuskan untuk mengikuti langkahnya. 

Ayo naik, Raden mengajak gue naik ke motornya. Motor bebek keluaran Satu Hati yang melegenda. Wah, gue makin penasaran. Gak ada takut-takutnya sumpah. Akhirnya gue naik ke motornya Raden.

Di perjalanan Raden lebih banyak membisu sampai akhirnya gue memecah keheningan kala naik motor. Gue mau dibawa kemana, Den? tanya gue.

Ke rumah gue, katanya.

Buset, apa kata emak-bapaknya? Jangan-jangan gue mau dikenalin sebagai calon mantu. Waelah, halusinasi banget. Ya sudah, gue ikutin dulu deh kisah ini bakal seperti apa. Yang jelas hati gue masih melarang dengan keras keputusan mengikuti Raden.

FYI, rumah Raden ada di jalan B. Lingkungan sini asli bikin merinding kala itu. Gak tau kalau sekarang. Gue udah lama gak ke Bandung.

Gue dan Raden sampai di rumah dia. Assalammualaikum, kata Raden kala memasuki rumahnya. 

Salamnya dijawab dari dalam oleh suara perempuan. Tak berapa lama pintu rumah terbuka. Terlihat wanita paruh baya dengan wajah pucat menyambut Raden. 

Darimana saja kamu? Ibu sangat khawatir. Dia dari tadi bikin keributan dalam kamarmu. Ibu tak bisa apa-apa. Ibu hanya duduk di ruang tamu saja sehingga kalau ada apa-apa, ibu bisa langsung keluar dari rumah, ujar wanita itu yang tak lain adalah ibunya Raden.

Raden hanya menghela nafas. Setelah cium tangan pada ibunya, dia mengenalkan gue. Bu, ini Vira. Murid baru di sekolahku. Baru dua bulan. Vir, duduk dulu. Gue ambilin air. Lu pasti haus, kata Raden.

Gue menggeleng, Gak usah repot-repot, Den. 

Ngobrolnya di teras aja ya, Vir. kata dia lagi. Aku mengiyakan.

Pastikan jangan kemana-mana, apapun yang terjadi. Tetap di teras ini, kata Raden lagi. Bicara tanpa memandang gue.

Iya, kata gue sebelum benar-benar mencerna kata-kata Raden. Eh, gimana? Telat, nj*r, dia sudah keburu masuk rumah. Ibunya ngikut masuk.   

Rumah Raden cukup asri dengan beberapa pohon yang ditanam di pekarangan kediamannya. Hari menjelang petang tapi bukan sore. Sekitaran waktu Salat Asar gitu. Btw, lama banget ngambil air doang. 

Gue menebar pandangan ke arah luar pagar rumah Raden. Yang bikin gue janggal adalah DIA GAK PUNYA TETANGGA! Di jalan ini memang banyak rumah kosongnya. Tapi gue gak menyangka, sisi kanan-kiri Raden cuma rumah tua yang kayaknya udah lama banget ditinggalkan penghuninya. Kusam meski bangunan masih berdiri kokoh. 

Sayup-sayup gue mendengar suara mic sedang dipersiapkan. Azan Ashar pun berkumandang dari masjid yang tak terlihat oleh jarak pandang gue. Allahu Akbar, Allahu Akbar. 

MENDADAK GUE MENDENGAR RAUNGAN DARI DALAM RUMAH RADEN. Suaranya serak namun menggelegar. Persis di konser-konser musik metal. Tapi yang pasti gue tahu ini bukan suara Raden. Lebih ke suara perempuan. Ibunya? Astaga, kenapa ibunya Raden?

Gue mematung, jantung gue berdebar kencang banget tapi bukan di situasi katakan cinta. Apa yang terjadi di dalam rumah? Gue semakin penasaran. Tapi gue tahu, gue harus bisa menahan rasa itu ketimbang sesuatu terjadi sama diri gue. Orang di dalam itu berteriak sepanjang azan dikumandangkan. Saat azan selesai, selesai pula teriakannya. SUMPAH ANEH.

Rumah itu mendadak hening. Sekitarnya juga hening, bercampur udara Bandung yang semakin dingin. Meski matahari masih ada, gue merasakan kegelapan mulai menyergap. Mata gue awas berjaga-jaga. Sekiranya ada yang aneh, gue bakal lari tunggang langgang.

Sudah setengah jam, gak ada apa-apa. Bahkan tak terdengar aktivitas di dalam rumahnya Raden. Jangan-jangan dia gak inget kalau ada gue di teras. Atau jangan-jangan, sesuatu terjadi pada Raden dan ibunya. Anj*r, lah.

Otak gue dipenuhi pertanyaan dan ketakutan sekaligus, gue cuma ingin tahu, apa yang terjadi di dalam rumah. Mendadak gue inget kata-kata Raden. Jangan kemana-mana. Tetap di teras. Gue yang tadinya penasaran, segera mengubur rasa itu. Gue tenangkan hati gue sejenak.

Sejam berlalu, sore makin keliatan. Raden belum muncul-muncul, gue makin gak tenang. Kemana nih, anak? Waktu, perkiraan gue, menunjukkan pukul 16.30 WIB. Perkiraan aja karena zaman dulu belum ada hape dan gue gak pake jam tangan. Sore di jalan itu lebih sepi lagi. Sumpah, ini jalan gak ada kehidupannya sama sekali. Hari itu untuk pertama kalinya gue merinding.

Iya, gue termasuk anak pemberani. Film horor kayak apa pun gue lahap. Jalan ke tempat sepi mana pun, gue gak ada takut-takutnya. Puji Tuhan gue gak pernah ditampakkan hantu-hantu macam pocong, kuntilanak, dan sebagainya. Gue gak bilang mereka hoaks. Mereka ada, tapi beda alam.

Namun, sekarang ini, gue ngerasain merinding itu kayak apa. Sumpah, gue sudah ada di tingkat ketakutan sekarang. Ah, gue ketuk-ketuk pintu aja coba.

Den, Raden, Raden, pintu gue ketuk dan cuma memanggil nama dia. Gak ada sahutan. Gue ketuk lagi agak keras dan masih manggil namanya. Agak keras juga. Tetap gak ada yang menyahut atau keluar. Akhirnya gue gak tahan. 

Raden, gue mau pulang. Terserah, lu, mau marah apa enggak sama gue. Yang jelas ini udah sore, nyokap gue pasti nyariin gue, kata gue agak kenceng biar kedengeran. Masih gak ada jawaban juga. Ah, bodo amat, lah. Gue pulang dulu ya, Den. Gue melangkah ke arah pagar rumah Raden yang hanya setinggi dada. 

Gue buka pagar itu perlahan. Bunyinya, duh. Kayak pagar yang diminyaki berabad-abad. Kreeekkk, sumpah serem banget. 

Gue tutup lagi pagar itu. Gue clingak-clinguk memandang kiri-kanan, gak ada aktivitas manusia. Gue berusaha mengingat-ingat, jalur motor yang tadi diambil Raden. Cuma itu cara gue keluar dari lingkungan sini. 

Gue beranjak ke arah kanan dan di sudut mata kanan pula gue menangkap sebuah gerakan. Gue nengok ke arah rumah Raden. Dari kaca depan yang ditutupi gorden tebal, ADA TANGAN BERWARNA PUTIH PUCAT YANG MENEMPEL PADA KACA DAN MELAMBAI KE ARAH GUE! Seketika bulu kuduk gue makin parah berdiri. Gue langsung lari sekencang-kencangnya! Gue gak mau nengok ke belakang, bodo amat!

 

Apa Kalian Mau Bertukar Tempat Denganku Memelihara Makhluk Ini?

Duh, udah jauh gue lari, sampai tersegal-segal nafas gue. Akhirnya gue menemukan keramaian. Ada pangkalan ojek, angkot, dan kendaraan lalu lalang. Gue langsung mendekati tukang ojek. Bang, ke Cicadas, kata gue dengan nafas masih turun naik.

Atuh, jauh, neng. Eh, kenapa? Kok, kayak orang ketakutan, neng? tanya abangnya. 

Gue gak ngejawab pertanyaan dia. Berapa ke Cicadas? Dia menyebutkan Rp 20 ribu. Zaman 90-an, uang segitu kayak Rp 200 ribu sekarang. Mahal banget! Tapi di sini kalian bisa mengira-ngira, sebenarnya gue di jalan apa.

Gak pake nawar, gue langsung bergegas naik di jok belakang. Buruan, bang, kata gue. Abangnya langsung ngebut.

Sampai di rumah, nyokap udah gaak enak banget mukanya. Dari mana saja, kamu, Vir? Gue gak nyaut. Yang ingin gue lakukan hanya mandi dan langsung tidur. Gue malas mengingat-ingat peristiwa barusan yang gue alami. Tangan pucat yang melambai. Anj*r, lah.

Di malam setelah kejadian, tidak ada peristiwa apa pun menimpa gue. Hanya saja gue ngerasa kaki gue kram. Seperti dicengkram oleh tangan dan itu terjadi sepanjang malam. Gue yakinkan kepada diri gue, jika itu adalah efek dari gue lari.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya