Fenomena Ikan Marlin, Pascagempa di Lombok

Fenomena Ikan Marlin, Pascagempa di Lombok - GenPI.co
Fenomena ikan selayar atau marlin yang terjaring nelayan di Lombok. ( Foto: Muslifa)

Dua minggu pascatsunami di perairan Selat Banten, sikap netizen dengan kondisi laut Indonesia masih reaktif. Termasuk grup-grup chat online. Efek lanjutan dari kondisi ini, banyak nelayan yang memilih tidak melaut. Di samping itu, masyarakat juga menjadi semakin khawatir. Destinasi-destinasi wisata pantai menyepi, bahkan di momen liburan Tahun Baru.

Salah satu pantai yang paling terdampak pemberitaan berlebihan ini, Pantai Labuhan Haji di Lombok Timur. Pantai ini destinasi terdekat dari pusat kota Selong, ibukota kabupaten Lombok Timur (Lotim). Lama eksis menjadi destinasi wisata keluarga, pantai ini kini dilengkapi banyak berugak (gazebo dengan eksterior khas Lombok). Tentu juga hadirnya warung-warung penjual kuliner seafood serta beberapa café penjual kopi atau menu khusus netizen muda.

Kondisi ini diamini Wak Wan, seorang mantan nelayan pantai Labuhan Haji. Wak Wan yang telah pensiun menjadi nelayan, memilih membuka warung di salah satu lapak yang dibangun pemerintah kabupaten Lotim lima tahun lalu. 

“Tahun baru kemarin, banyak masyarakat yang termakan berbagai isu, mbak. Ada yang meributkan ancaman tsunami di tanggal 26 Desember, ditambah lagi dengan himbauan menghindari kawasan pantai. Tapi, warung saya tetap buka,” urai Wak Wan memulai obrolan panjang.

Wak Wan kisahkan kalau masyarakat asli desa Labuhan Haji, seringkali tidak mudah termakan isu-isu yang berkembang. Bapak yang lahir tahun 1965 ini, salah seorang saksi mata dari tsunami efek gempa besar di Lombok tahun 1976 lalu. Gempa yang juga melantakkan kota Tanjung, salah satu bencana besar yang kemudian berulang di gempa Lombok, Agustus tahun lalu.

“Saya ingat betul, hari itu hari Jumat. Memang benar ada tsunami, tapi persis selesai Jumatan, air sudah surut. Jadi, sepanjang gempa Agustus lalu, sebagian besar nelayan di sini terbiasa memperhatikan pola gelombang dan kondisi air, segera setelah gempa terjadi. Jika lewat dari satu jam tidak tampak kondisi surut yang luar biasa, insyaAllah tidak ada tsunami,” tambah Wak Wan.

Wak Wan yang makin setia berjualan, sejak mulai membuka warung di tahun 1989 lalu, prihatin dengan sikap masyarakat yang seringkali reaktif serta berlebihan. Namun demikian, sikap waspada juga tetap dipraktekkan Wak Wan pada keluarganya. Satu amben disulapnya menjadi huntara, hunian sementara. Huntara beratap terpal, dinding kardus bekas barang-barang yang dijual di warungnya, juga sarung batik bekas. Gempa masih sering menyapa Lombok dan Sumbawa, di kisaran mulai dari skala 4 sampai yang terakhir, 5.2 SR.

Di hari yang sama, tiga ekor ikan layaran seberat masing-masing di kisaran 30 kilogram lebih sedang dibongkar muat di pasar tradisional Paokmotong. Desa Paokmotong sendiri berada di jalur terpadat pulau Lombok, ruas jalan raya utama penghubung pelabuhan laut Lembar di Lombok Barat dan pelabuhan Kayangan di Lombok Timur. Pasar tradisionalnya sendiri merupakan pasar yang mempertemukan pemborong beragam hasil bumi Lombok, yang kemudian dipasarkan ke pulau Sumbawa dan sebagian kecil ke pulau Jawa.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya