#27 Digitalisasi Homestay Indonesia

#27 Digitalisasi Homestay Indonesia - GenPI.co
Menpar Arief Yahya

Saya tertarik dengan Hukum Disrupsi (Law of Disruption) yang dikemukakan oleh Prof Rhenald Kasali. Prof Rhenald menyebut ada empat butir Hukum Disrupsi (“kekacauan”) yaitu: Pertama, disruption attacks not any company, it attacts good company. Kedua, disruption attacts incumbent with strong reputation. Ketiga, it demands new machine rather than the old one. Keempat, it creates new market and low-end markets.

Tinggal tunggu waktu saja, semua perusahaan, semua institusi, bahkan semua negara pasti akan terkena serangan disrupsi dengan adanya arus besar digitalisasi. Celakanya, yang menjadi sasaran empuk disrupsi digital adalah perusahaan atau organisasi konvensional yang mapan (incumbent) dan telah memiliki reputasi mengagumkan selama berpuluh tahun sebelumnya. Itu intisari dari butir pertama dan kedua. Contohnya pengelola transportasi konvensional tergilas oleh pengelola transportasi online seperti uber, grab dan gojek. Lalu, pengelola reservasi hotel secara konvensional tergerus oleh pengelola reservasi online seperti AirBnB. Outlet penyewaan video Blockbuster yang tutup karena kehadiran Netflix. Selalu pada awalnya inovasi ini dinilai sebagai suatu kekacauan, dipandang sebelah mata, tidak banyak yang percaya, terutama para petahanan. Namun, pada akhirnya akan menjadi sesuatu keadaan normal yang baru (The New Normal).

Selanjutnya akan saya bahas butir ke-3 dari 4 butir Hukum Disrupsinya Prof Rhenald. Bahwa untuk sukses di era disrupsi setiap organisasi konvensional harus menggunakan “mesin” baru berupa model bisnis baru, model operasi baru, dan value proposition baru yang luar biasa (more for less). Ingat, mesin baru itu haruslah berbasis digital, tidak bisa tidak.

Karena alasan itulah sejak tahun lalu saya sudah mengharuskan digitalisasi pengelolaan homestay. Tidak bisa tidak, homestay kita yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air harus dikelola dengan “mesin” baru, yaitu menggunakan model bisnis baru berbasis digital yang saya sebut digitalsharing economy, yaitu melalui digital platform misalnya Indonesia Travel Exchange (ITX).

Dengan platform ini seluruh homestay (yang umumnya pemain UKM) disatukan di dalam satu platform terintegrasi yang super efisien dan bernilai tinggi. Platform ini akan membantu masyarakat lokal pemilik homestay untuk mengelola homestay mereka dengan kualitas layanan setara dengan hotel chain kelas dunia. Wisatawan dapat melakukan searching, booking dan payment secara online melalui platform ini sehingga UKM/koperasi pemilik homestay dikelola sebagaimana layaknya sebuah perusahaan besar modern. Ingat, “the more digital, the more professional.”

Bagi kita, pengelolaan homestay dengan platform digital sharing economy adalah the only choice, karena kalau kita tidak melakukannya, kita PASTI habis terdisrupsi oleh pengelola homestay yang menggunakan platform digital. Dengan kata lain, kalau kita tidak melakukannya, maka orang lain yang akan melakukannya dan kita HABIS.    

Saya meyakini platform digital sharing economy ini bakal meningkatkan market size dan market value industri pariwisata Indonesia karena tiga alasan. Pertama dari sisi demand, dengan platform ini maka permintaan wisatawan akan homestay menjadi tidak linear lagi. Pasarnya tidak hanya berasal dari satu sumber namun dari multi sumber dari seluruh dunia (global market) sehingga pertumbuhannya menjadi eksponensial. “The more digital, the more global ”. Sekali lagi, bisa meng-global, tidak hanya beroperasi di Indonesia.

Kedua, dari sisi supply, dengan platform ini pemilik homestay yang bisa bergabung akan sangat besar dan tumbuh dengan pesat. Pemilik homestay yang under utilized bisa menyewakan kepada para traveller dengan harga yang lebih wajar, yang pada akhirnya akan mengundang traveller dalam jumlah lebih besar.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News