Ketika Alam Murka, Tidak Peduli Kita (2)

Ketika Alam Murka, Tidak Peduli Kita (2) - GenPI.co
Frea Anneta.

Entahlah, apakah  waktu itu masih ada cara lain untuk menyelamatkan diri,  selain dengan berlari, berlari sekuat tenaga. Waktu itu, aku tidak bisa berpikir apa pun. Aku hanya mengandalkan insting dan naluri.  Jujur, awalnya aku tidak menyangka jika gelombang ombak air laut itu begitu dahsyat. Karena  aku melihatnya masih biasa-biasa saja.

Aku baru menyadari  ketika orang – orang memberitahu, ombak itu sangat tinggi. Setinggi rumah ketika masuk bibir pantai. Tidak mengherankan jika rumah-rumah di sekitar bibir pantai bisa rata dengan tanah, rata ditelan dan digulung ombak tsunami.

Yang membuatku panik justru  gempa. Bumi terasa berguncang keras. Dan saat bersamaan aku juga melihat banyak orang berjatuhan. Seperti kebanting gitu. Kemudian tiba-tiba, dari kejauhan saya melihat orang-orang berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya.

Aku tidak bisa mendengar teriakan mereka. Karena suara mereka seperti ditelan suara gemuruh yang sampai saat ini juga aku masih bingung, apakah itu suara ombak tsunami atau suara angin.  Karena saat yang bersamaan, angin juga bertiup  kencang.  Aku hanya bisa melihat mereka melambai-lambai. Yang waktu itu juga aku juga tidak mengerti, ada apa atau mengapa?

Aku baru menyadari kalau sedang dalam  bahaya tsunami,  ketika Papi Share yang berdiri tidak jauh dari tempat aku duduk, tiba-tiba berteriak keras lariiiiii….lariiiii ada tsunami. Tanpa pikir panjang, aku beranjak dari duduk langsung gas lari mengikuti Papi Share.

Sambil teriak-teriak seakan memberikan komando kepada yang lainnya, Papi Share berlari menjauhi pantai. Aku mengikuti di belakangnya.Ratusan orang yang ada di sekitarku, orang-orang yang  sudah banyak berdiri di sekitar stand pun berlarian mengikuti kami.

Semua lari tunggang langgang. Suasana yang awalnya tenang dan bahkan terlalu tenang, berubah menjadi gaduh. Semua orang berteriak, menjerit bahkan tidak sedikit yang bertakbir. Semua orang seperti ingin berlari sekencang-kencangnya. Masing-masing seperti ingin saling mendahului dan menjadi ingin yang tercepat.

Tentu bukan untuk balapan lari, tetapi semua menghindari mati. Menyelamatkan diri.  Menghindari kejaran  ombak tsunami. Dan ya Tuhan, saat kami sedang dicekam kepanikan, ditengah kepanikan dan kegaduhan orang  yang sedang berusaha  menghindari kejaran ombak tsunami, tiba-tiba bumi berguncang keras dan sangat keras.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya