Human Touch, Tren Wisata Pasca ‘Eat Pray Love’

Human Touch, Tren Wisata Pasca ‘Eat Pray Love’ - GenPI.co
Adegan film Eat Pray Love ketika di Bali. (Foto: Indonesia Expat)

Masih ingat dengan film Hollywood ‘Eat Pray Love’? Film yang dibintangi aktris Julia Robert ini memiliki kisah menarik seputar spiritualitas. Film garapan sutradara  Ryan Murphy ini membuat bangga pariwisata Indonesia karena mengambil lokasi syuting di pulau Bali. Tak hanya itu, nyatanya film ini juga membawa dampak strategis buat perkembangan pariwisata di Indonesia. Bagaimana bisa?

Ketua Ikatan Cendikiawan Pariwisata Indonesia (ICPI), Prof. Azril Azahari, PhD mengungkapkan, berkat dibuatnya film tersebut pada tahun 2010, trend wisata di Indonesia sudah mulai bergeser ke human touch. Artinya jika dulu wisatawan hanya sekedar melihat dan menikmati sebuah pertunjukan seni, saat ini mereka bisa merasakan bahkan mengikuti gerakan tarian tersebut, seperti tari kecak di Bali.

“Paradigma sudah bergeser, sejak tahun 2010 di mana titik dibuatnya film Eat Pray Love. Dimana diceritakan Julia Robert pergi dari Amerika, dia jual hartanya dan pergi berbagai tempat, terakhir di Bali dia menemukan serenity atau ketenangan,” ujar Prof. Azril Azahari, PhD kepada GenPI.co di Jakarta, Minggu (18/2).

Ia mengatakan pergeseran ini harusnya bisa diamati oleh pemerintah dan diterapkan pada sejumlah destinasi wisata di Indonesia. Utamanya hal ini dilakukan dengan tujuan menarik wisatawan mancanegara (wisman). Ia mencontohkan jika wisman berkunjung ke Bali tidak hanya sekedar menikmati pemandangan alam saja, namun juga bisa merasakan ritual adat yang digelar oleh warga setempat di Pura maupun tempat lain.

“Misalkan mereka bisa belajar cara bermain gamelan, mengikuti tarian kecak atau sekedar mengikuti ritual adat yang terjadi di tempat ibadah. Sehingga wisman akan merasakan sesuatu yang baru yang belum pernah ada di negara asalnya,” tegasnya.

Lebih lanjut ia menambahkan, jika tren human touch bisa diterapkan dengan baik, maka bukan tidak mungkin bisa meningkatkan income dan branding bagi pariwisata Indonesia di mata dunia. Hal itu akan melengkapi strategi pemasaran berbasis teknologi atau hi-tech yang sudah dibuat oleh Pemerintah sebelumnya.

“Dulu kita kenal pariwisata 3S, sun, sand, sea (matahari, pasir, laut) itu dulu sebelum 2010 dan sekarang sudah bergeser yaitu serenity, spirituality, dan suistanability (ketenangan, spiritual, keberlangsungan). Sekarang orang tidak lagi menonton, tapi merasakan. Destinasi bisa kita kembangkan dengan high tech dan juga ada high touch,” tandasnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya