Anggota tertinggi pemerintah sementara yang ditunjuk negara di Tigray juga mengakui keberadaan pasukan Eritrea dan tuduhan penjarahan dan pembunuhan.
"TPLF menyerang tentara pemerintah federal di wilayah Tigray, yang mengungkap lokasi mereka dan memimpin pasukan Eritrea untuk masuk," kata Mulu Nega selaku gubernur sementara wilayah Tigray.
Pekan lalu, Amnesty International menerangkan dalam sebuah laporan bahwa ratusan warga sipil dibantai oleh tentara Eritrea di kota Axum pada November, yang merupakan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia dan hukum humaniter.
Pembantaian itu dilakukan dengan cara terkoordinasi dan sistematis untuk meneror penduduk agar tunduk dan mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Temuannya didasarkan pada 41 wawancara dengan saksi dan korban pembantaian, semuanya etnis Tigrayans.
Saksi mata mengungkapakn sebagian besar mengenakan seragam dan sepatu yang mudah dibedakan dari tentara Ethiopia.
Mereka juga menambahkan bahwa pasukan itu membedakan diri mereka sebagai orang Eritrea ketika mereka berbicara dalam dialek yang khas dengan kata-kata dan aksennya sendiri-sendiri.
Beberapa tentara memiliki tiga bekas luka di setiap kuil di dekat mata, mengidentifikasi diri mereka sebagai Beni-Amir, kelompok etnis yang mengangkangi Sudan dan Eritrea tetapi tidak ada di Ethiopia.
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News