Melihat kembali perjalanan hidup sang legenda Didi Kempot di dunia seni, nama sang legenda memang telah lama berkiprah di jagad seni pertunjukan.
Namanya kembali bersinar dan naik daun beberapa waktu belakangan berkat sejumlah tembang benuansa patah hati pada konser-konsernya.
Seniman bernama asli Didi Prasetyo atau juga akrab disapa ‘Lord Didi’ sudah berkiprah di dunia seni campursari sejak tahun 1989.
Darah seni mengalir deras di lingkungan keluarga Didi Kempot. Ayahnya, Ranto Edi Gudel, adalah pelawak. Sementara sang kakak, Mamiek Prakoso, merupakan salah satu pilar kelompok dagelan Srimulat.
Kisahnya dimulai dari pertengahan tahun 1980-an, Didi memutuskan untuk terjun ke dunia musik.
Ia mengawali langkahnya di jalanan, dari Yogyakarta sampai Jakarta, sebagai seorang pengamen.
Namanya yang semula Didi Prasetyo pun berubah jadi “Didi Kempot”—merujuk pada singkatan Kelompok Penyanyi Trotoar.
Seiring waktu, Didi Kempot ingin menyeriusi karir bermusiknya. Ia lantas memilih campursari. Alasannya, ia prihatin dengan sedikitnya anak-anak muda yang tertarik akan musik ini.
Hingga kini, nama Didi Kempot sudah setara dengan legenda. Membicarakan campursari tanpa menyebut Didi Kempot bisa jadi adalah kejahatan luar biasa. Didi Kempot adalah campursari.
Sejumlah tembang pun berhasil merebut hati barisan Sad Boy Club (julukan penggemar untuk Didi Kempot).
Mulai dari Stasiun Balapan, Cidro, Layang Kangen, Pamer Bojo, hingga Suket Teki hingga Dalan Anyar. Dalam setiap konser Didi, para sad boy kompak bernyanyi berjamaah meluapkan kesedihan bersama sang idola.