Pulau Banda: Paduan Sejarah, Keindahan Alam dan Adab yang Tinggi

Pulau Banda: Paduan Sejarah, Keindahan Alam dan Adab yang Tinggi - GenPI.co
Mentari terbenam di antara du bukit di Banda Neira. (Foto: Robby Sunata)

Sembari saya mengingat kisah sejarah istimewa itu, di  kejauhan mulai nampak bayangan sebuah gunung menjulang tinggi dari dalam laut menggapai ke angkasa. Gunung Api pulau Banda sudah ada di depan mata!

Saya dan tim liputan bergerak ke bagian depan kapal yang hanya dapat dijangkau melalui ruang kemudi. Kami beruntung,  kru kemudinya berbaik hati memberi kami jalan agar bisa mendapatkan posisi memotret yang terbaik.

Kami pun segera beraksi, mengambil foto dari berbagai posisi. Tidak lupa pula selfie. Yah, kapan lagi tukang foto bisa memotret diri sendiri, mumpung ada pemandangan sekeren ini.

KM Siwalima mulai mengurangi kecepatan, bergerak pelan dari arah barat lalu memutari Pulau Gunung Api Banda di sisi utaranya agar dapat berlabuh di dermaga Pulau Banda Neira yang berada di balik gunung itu. 

Bagian utama dari kepulauan Banda terdiri dari tiga pulau, yaitu Pulau Gunung Api yang baru saja kami lalui, Pulau Banda Neira tempat kami akan berlabuh yang berada di timur pulau Gunung Api, dan Pulau Banda yang berada di sisi sebelah selatan kedua pulau yang pertama. Berbagai negeri atau kampung bertebaran di sepanjang pantai di Pulau Banda Neira dan Pulau Banda. Namun, di pulau pertama lah pusat pemerintahan berada.

Pulau Banda: Paduan Sejarah, Keindahan Alam dan Adab yang TinggiDermaga di Banda Neira

Menjelang tengah hari kami akhirnya tiba di Pulau Banda Neira. Teman-teman dari GenPI Maluku menyambut kami. Ada bang Erzal dan bang Rahmat.   Kejutannya adalah, kami akan bergabung dengan seorang anggota tim lain dari GenPI Maluku yang sedang membawa dua traveler yang juga ingin melihat prosesi Cuci Parigi. Olive, anggota tim itu, menjadi pemandu bagi Monic dari bandung dan Franz dari Makassar. Anggota tim semakin bertambah, semakin seru tentunya. 

Selama di Banda Neira kami akan menginap di kediaman Bang Rahmat.  Rumahnya berada di sisi sebelah timur pulau.  Sehingga dari pelabuhan yang berada di sisi barat, kami harus mencari tumpangan, karena di Banda Neira tidak ada angkutan umum. Untungnya warga yang membawa motor bersedia mengantarkan kami. Sebenarnya jaraknya hanya  sekitar 1 kilometer dan  bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun kala itu cuaca panas. Apalagi bawaan yang banyak, niat berjalan-jalannya kami undur pada sore hari.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya