Pulau Banda: Paduan Sejarah, Keindahan Alam dan Adab yang Tinggi

Pulau Banda: Paduan Sejarah, Keindahan Alam dan Adab yang Tinggi - GenPI.co
Mentari terbenam di antara du bukit di Banda Neira. (Foto: Robby Sunata)

Hal pertama yang saya perhatikan saat sampai di rumah Bang Rahmat adalah sebatang pohon Pala.  Ya, pohon pala di halaman rumah warga di Banda Neira. Tidak heran bila ratusan tahun lalu, Belanda ngotot mengambil alih seluruh pulau karena mereka melihat pohon yang berharga itu tumbuh di mana-mana sampai ke halaman rumah. Saya duduk di teras rumah sambil menatap pohon pala yang berada 2 meter di depan saya, pohon dari sebuah spesies tumbuhan yang mengubah sejarah dunia, selamanya.

Setelah makan siang dan beristirahat sejenak, kami mulai bergerak menjelajahi Banda Neira. Kali ini tentu saja berjalan kaki. Banda Neira bukanlah pulau yang luas, lebarnya 1300 meter dengan panjang dari utara ke selatan 3100 meter, pulau ini terbagi dua oleh Bandar udara Banda Neira. Sekitar dua per tiga bagian utara adalah hutan dengan satu kampung bernama Tanah Rata. Sementara sepertiga di selatan Bandar udara telah dipenuhi perumahan dan berbagai kampung. Jalanan disini telah di aspal dengan kondisi yang masih baik, cukup rata dan lebar. Sudah memadai bagi pulau yang hanya memiliki tiga kendaraan roda empat seperti Banda Naira.

Di pulau ini, populasi motor cukup banyak. Mungkin lebih banyak dari sepeda. Setidaknya itulah yang kami lihat selama berjalan berkeliling.  Meski banyak, namun tak sampai memadati jalan seperti di kampung-kampung di Jawa. Kami masih bisa melangkah sambil bercanda di tengah jalan dan sesekali menepi saat ada kendaraan roda dua yang lewat. Rumah-rumah disini memiliki halaman yang cukup luas. Jika tidak ada tanaman yang menghalangi, kita bisa bermain voli dengan aman di halaman rumah warga. 

Matahari masih bersinar terang pada pukul empat sore, saat kami mulai menjelajahi pulau itu. Namun angin laut membawa udara yang sejuk sehingga kami tidak banyak berkeringat selama berjalan. 

Tempat yang pertama kami datangi sore itu adalah rumah pengasingan Bung Hatta, Sang Proklamator. Lokasinya di jalan Dr. Rehatta. Di tahun 1930-an, rumah batu besar itu pastilah mencolok di antara rumah-rumah kayu dan hutan di sekitarnya.  Saya membayangkan kala itu anak-anak setempat memandang dengan rasa ingin tahu ke rumah ini, terutama penghuninya yang bukan orang Londo melainkan orang berkulit sawo matang.

Saat dibuang ke Banda Naira, Bung Hatta sebagai kutu buku membawa serta 16 peti buku bersama dirinya. Itu adalah peti harta karun yang selalu dibawanya kemana-mana, mulai dari Boven Digul di Papua sampai ke Banda Naira. Hal itu tentu saja membuat heran rekan sesama orang buangan, salah satunya adalah Muhammad Bondan. Begitu herannya,  dia bertanya langsung ke Bung Hatta “Anda ke sini dibuang atau mau membuka toko buku?”

Setelah sowan dari  kediaman bung Hatta selama diasingkan, kami melanjutkan jalan-jalan sore ke Istana Mini. Leaknya di tepi Taman Wisata Perairan Laut Banda. Saat itu, Istana Mini sedang ramai karena ada pembukaan Pesta rakyat Banda. Ada sambutan dari Kementerian Pariwisata dan Gubernur Maluku. Ada pula persembahan tari-tarian setempat. Sementara di Taman Wisata Perairan Laut Banda warga sedang bercengkrama dengan anak mereka di taman di bibir pantai.  sementara anak-anak lain tampak bermain di dalam air. Keriangan mereka membuat yang melihat ikut senang. Saya salah satunya, yang akhirnya memutuskan duduk sebentar di dermaga sambil memotret mereka. 

Hari kedua di Banda Naira dimulai dengan menjelajahi Benteng Belgica. Ini adalah bangunan cagar budaya yang telah direnovasi pada tahun 1980-an dan kondisinya kini dalam keadaan baik. Benteng Belgica berada di atas puncak bukit, tingginya 30 meter di atas permukaan laut. Bangunannya berbentuk persegi lima dengan sisi yang mendatar menghadap ke Laut Banda di selatan. Pemandangannya? Super sekali saudara-saudara! Bila kita berdiri di bagian depan banteng maka akan tampak bagian dangkal Laut Banda, dengan Pulau Banda Besar di belakangnya. Lalu ada gunung api di sisi kanan kita yang berdiri kokoh setinggi 600 meter. Tidak banyak tempat di Indonesia di mana kita bisa melihat sekaligus  di satu tempat pemandangan gunung api berwarna hitam, pulau yang hijau dengan pepohonan, dan laut yang biru. Hanya di Banda.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Berita Sebelumnya
Berita Selanjutnya