GenPI.co - Pengamat Komunikasi Politik, M. Jamiluddin Ritonga meminta komunikasi publik pemerintah kepada masyarakat harus diubah, terutama soal pelaksanaan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Sebab, menurutnya, komunikasi pemerintah lebih dominan berisi pesan-pesan yang memuat kepentingannya daripada kepentingan masyarakat.
“Akibatnya, komunikasi yang dikembangkan lebih banyak berisi paksaan, baik berupa sanksi, ancaman, kekhawatiran, atau ketakutan. Penyampaian pesan-pesan semacam ini disebut komunikasi koersif,” katanya kepada GenPI.co, Senin (19/7/2021).
Dosen Universitas Esa Unggul tersebut mengemukakan, komunikasi koersif semakin banyak mengemuka sejak pemerintah memberlakukan PPKM Darurat Jawa-Bali.
“Pesan-pesan yang memuat sanksi dan ancaman begitu dominan, sehingga masyarakat merasa tidak nyaman dan dirundung ketakutan,” ucapnya.
Dia mengatakan berbagai riset menunjukan, pesan-pesan menakutkan (koersif) tidak efektif digunakan kepada khalayak yang mengalami situasi krisis.
“Jadi, kepada khalayak seperti itu diberikan pesan-pesan koersif justru akan menjadi bumerang. Publik akan melakukan perlawanan demi mempertahankan hidup dan kehidupannya,” tuturnya.
Jamiluddin mengatakan pesan-pesan seperti itu semakin tidak efektif, karena disampaikan oleh orang yang tidak kredibel.
Akibatnya, pesan-pesan koersif yang disampaikan pemerintah mendapat penolakan dari masyarakat.
Sebagian masyarakat akhirnya lebih mempercayai pesan-pesan terkait covid-19 dari teman, keluarga, atau media sosial.
“Karena itu, komunikasi publik pemerintah harus diubah dari koersif ke persuasif dengan mengedepankan pendekatan komunikasi bottom up,” tutupnya. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News