GenPI.co - Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Jojo Rohi menyoroti polemik pelaksanaan Pemilu 2024 yang masih belum jelas.
Jojo mengatakan, polemik yang tidak diakomodasi dengan baik akan memunculkan ongkos politik yang tinggi.
"Misalnya, soal rentang durasi yang terlalu jauh dari terpilihnya Presiden 2024 dengan masa berakhirnya presiden saat ini pada 2024," kata Jojo dalam webinar PARA Syndicate, Rabu (20/10).
Jika jarak dua hal itu terlalu panjang, akibatnya ialah tidak efektifnya lagi pemerintahan yang masih eksis.
Dia menyoroti berbagai simulasi jadwal pemilu yang ada. Hasilnya, masa tunggu pergantian presiden bisa enam sampai delapan bulan sebelum dilantik.
Di rentang masa tunggu itu, presiden yang masih aktif tentu masih memiliki tanggung jawab bekerja, termasuk seluruh kabinetnya.
Namun, di saat yang sama, presiden terpilih mulai sibuk menyiapkan komposisi kabinet.
"Politik akan gaduh dengan hal itu. Elite bisa sibuk untuk tetap berada di pemerintahan," katanya.
Jojo mengatakan, contoh kasus ini merupakan ongkos politik yang tidak murah.
Peneliti KIPP ini menyarankan agar jarak antara pemilu dan dilantik tidak terlalu jauh untuk menghindari hal-hal tersebut.
"Harapannya penantiannya hanya 2-3 bulan saja," katanya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News