Cerita Horor : Perempuan Pucat di Kamar Mayat RS di Salemba

25 Juli 2019 02:57

GenPI.co - Sebagai seorang jurnalis baru dan pertama kali bekerja di media cetak nasional, hatiku sangat gembira. Lulus dari kuliah jurusan komunikasi, menjadi wartawan memang idamanku sejak lama.

Namanya anak baru, aku harus bersiap ditempatkan di bidang mana saja. Termasuk yang receh-receh. Tapi ini buatku tak receh sebab membutuhkan nyali besar. Laporan kecelakaan dan aku ditaruh (bahasa kerennya, nge-pos) di sebuah rumah sakit di Salemba, Jakarta Timur.

Baca juga :

Kapok, PRT Main Dukun Santet Dibongkar Majikannya Sendiri

Cerita Horor : Sosok Berwajah Terbalik di Foto Reuni SMA Istriku

Cerita Horor : Kisah Lahan Angker Mencari Tuan di Bekasi

Mungkin rumah sakit itu sekarang beda dengan zaman dulu. Kini sudah dibangun dan jadi luas banget. Fasilitas lebih lengkap luar biasa. Beda di tahun 1994. 

Di rumah sakit tersebut aku kebagian menulis korban-korban kecelakaan, lalu memuatnya di koran sebagai pemberitahuan bagi masyarakat. Barangkali ada yang belum mendapat kabar dari sanak saudaranya yang tengah dalam perjalanan, bisa jadi dia mengalami kecelakaan. Satu-satunya yang diandalkan untuk mencari tahu adalah koran dan bukan Whatsapp lantaran yang memiliki hape baru segelintir orang. Itu pun hape yang cuma bisa telepon, SMS, serta main game ular.

Masyarakat amat terbantu dengan laporan kecelakaan ini. Banyak pengunjung rumah sakit itu mengaku bisa tahu kabar sanak familinya sebab info kecelakaan lalu lintas di koran tempat aku bekerja. Bangga juga sih walau banyak banget pengalaman yang tak menyenangkan, termasuk berdialog dengan hantu.

 

Aku masih merinding mengingat peristiwa 25 tahun yang lalu. Malam itu sekitar pukul 22.00 WIB. Aku berada di gedung paling utara, tempat kamar mayat berada. Dari teras, langsung masuk ke dalam lorong agak lebar. Belok kiri, di situ ada pintu lebar dengan tulisan besar KAMAR MAYAT. Gedungnya terpisah sehingga tak banyak orang di sana. Creepy memang. Tapi aku tak sendiri, banyak rekan-rekan jurnalis lain yang ada di sana. Kami bersenda gurau sambil menikmati sebatang dua batang kretek plus kopi hitam. Dingin tak terlalu menusuk.

Acil, salah satu rekan wartawan bercerita soal hal lucu hingga tawa kami meledak memecah keheningan. Namun ada yang janggal. Salah satu wartawan lain justru diam dan hanya menatap kami lama. 

Eh, ngapain sih, udah ah serem banget, lu, kataku kepadanya.

Kita pergi, yuk, Gue ngerasa kalo kita lebih lama di sini bakal ada yang janggal, kata dia

Beberapa rekan terlihat merinding dan pori-porinya melebar. Sambil permisi-permisi numpang-numpang, kami meminta maaf pada yang tak kasat mata jika kehadiran dan canda tawa ini mengganggu. Namun rekanku itu masih saja mengajak cabut dari tempat tersebut tanpa memberi tahu maksudnya. Jelas saja kami jadi bertanya-tanya, memangnya ada apa sih?

Kalo gue tau, pasti sudah gue kasih tau, Bambang! katanya ketus sambil berdiri, isyarat mau pergi dari tempat itu. 

Tapi aku tak bergeming. Aku dan Acil bertahan. Sementara yang lain mengikuti langkah rekan tadi untuk menjauh. Lantaran masih harus bertugas hingga pukul 04.00 WIB, maka aku tetap tinggal. Acil menemaniku.

Bro, gue mau beli rokok, mau nitip, ga? tanya Acil.

Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Aku sekilas melihat Acil. Dia agak pucat. Aku memberinya uang Rp20 ribu, memesan kretek bintang sembilan kebanggaan pria macho ketika itu.

Jangan lupa beli makan, Cil. Mati lu nanti. Pucat banget, lu, ujarku sambil nyengir.

Acil hanya misuh-misuh saja. Lalu dia beranjak ke lorong menuju depan rumah sakit. Zaman dulu masih banyak sekali tukang dagangan. Gorengan, kopi, mie ayam, bakso, kami tak akan pernah kekurangan makan. Ada pula pedagang minuman 'hangat' versi orangtua yang biasanya terselubung. Memakai dua plastik, bening dan hitam. Kalian pasti paham yang kumaksud, hehehe.

Menunggu Acil, aku sambil rebahan sejenak di lantai rumah sakit. Bodo amat lah dengan kondisi lantai marmer yang agak-agak kusam ini. Toh, kami juga sering tidur-tiduran sepanjang siang di sini. 

Sambil memandangi langit malam, tiba-tiba aku mendengar langkah kaki dari sebuah sepatu hak tinggi. Aku menengok ke arah lorong, karena sudah gelap, nampak seperti perempuan memakai dress putih selutut dan sepatunya menimbulkan suara khas. Tak, tok, tak, tok. Berjalan ke arahku, aku melihat wajahnya. Wah, rupawan juga. Rambutnya sebahu, dia mengenakan baju terusan berbahan melayang warna putih. Kalau gak salah, istriku menyebutnya chifon. Ada bercak di dada sebelah kanan, mirip tumpahan saos, entah sambal atau tomat.  

Dia menghampiriku sambil tersenyum. Wajahnya putih pucat, seperti habis ketemu mayat. 

Mas, numpang nanya, apa jenazah (dia terdiam agak lama) .... saudara saya sudah dibawa ke sini? 

Waduh, kurang paham deh, mbak. Coba tanya suster penjaga di depan lorong, kataku.

Sudah tadi saya cari tidak ada orang di loket. Saya mau mencari tahu keluarga saya, kecelakaan di tol. Apakah mas bisa bantu saya?

Kapan kejadiannya?

Tadi mas, sekitar jam 9 malam. Mungkin sampai sini jam 10-an, dia memberikan rinciannya.

Sepanjang saya tadi di sini, belum ada yang lewat, mbak. Di tol mana kejadiannya?

Cikampek, mas, tapi masih di arah Cawang, setau saya dibawa ke sini, katanya sambil memperlihatkan wajah pucat namun tak terlalu khawatir. 

Aku memandangi wajah wanita itu. Dia menatap ke arah kamar mayat. Tatapannya terasa kosong, sambil terus memegang ke bagian dada kanannya yang tertumpah saos. 

Nama mbak siapa? Tanyaku

Erna, mas, jawabnya.

Lalu wanita bernama Erna itu memandang ke arah depan. Tatapannya lagi-lagi kosong. Entah kenapa kali ini aku agak merinding. Tapi mungkin gara-gara hawa dingin. Btw, kemana si Acil, ya? Kok, belum datang?

Merokok gak, Erna? Tanyaku lagi memecah kekakuan sambil menawari Erna rokok kretek yang sebenarnya tinggal sebatang.

Erna menolak dengan halus sambil menyunggingkan senyum tipis. Aku pernah melihat senyum seperti itu. Tapi dimana ya? Sambil kuingat-ingat, kubakar rokok terakhir sebelum Acil datang. 

Hisapan pertama aku bergidik sedikit ngeri. Ya, aku ingat. Senyum itu mirip senyum almarhum ratu film horor Suzana di lakon 'Beranak Dalam Kubur'. Bangs*t! Kenapa aku jadi ketakutan begini, ya? Jelas-jelas aku mendengar langkah kakinya berjalan. Aku buru-buru menyingkirkan pikiran seram dalam otakku. Sambil membaca doa dalam hati, sesekali aku memandangi Erna.

Erna, sama siapa kemari? tanyaku.

Sendiri, mas, ujarnya.

Oh, naik apa kemari?

Mobil, tapi ....., dia menghentikan ucapannya.

Tapi kenapa? tanyaku lagi.

Dia menunduk lumayan lama, mungkin sekitar setengah jam. Dia hanya menghembuskan nafas sambil terus menunduk. Rambutnya sedikit menutupi wajahnya. Terus dan terus. Aku diam saja. Tetap menghisap rokokku sambil memandangnya. Sesekali aku melemparkan mata ke arah lain, tapi tetap memandangnya kembali.

Mendadak setelah lama berdiam menunduk, Erna mengangkat wajah dan tiba-tiba memandangku. Kali ini tatapan Erna ada yang beda. Kusadari bola matanya nampak semakin membesar, agak menutupi bagian putih. Sial! Aku semakin merinding! Aku buang muka sambil terus kuhisap rokokku tak karuan.

Situasi ini bikin bulu kudukku berdiri tegak. Acil, cepatlah balik!

Erna pelan-pelan kembali memandang ke arah depan. Tetap diam. Tubuhku semakin lemas tapi jantungku tetap saja berdenyut kencang. Kami diam seribu bahasa. Aku sama sekali tak berani mencari bahan pembicaraan. Hanya diam. Aku kaku. Tiba-tiba,

Saya pamit dulu, mas. Nanti ke sini lagi. Mungkin sekitar jam 03.00 WIB, kata dia.

Aku buru-buru menjawab. Oh iya, mbak. Kalau mau nanya-nanya info, ke bagian depan saja. Tanya suster yang bertugas. Mungkin sekarang sudah ada, kataku menyarankan.

Dia hanya mengangguk. Lalu berdiri dan berlalu.

Langkah kaki dari sepatu hak tingginya masih terdengar hingga ujung lorong keluar. Kupandangi terus untuk meyakinkan dia memang sudah pergi agar aku tak semakin takut. 

Kutengok jam tangan, menunjukkan pukul 00.30 WIB. Buset, Acil sudah satu setengah jam pergi. Kemana ya dia? Hatiku yang tadinya takut berubah jadi kesal. 

Tak berapa lama aku mendengar langkah kaki, kutengok di ujung lorong, huft, aku lega. Itu Acil. 

Woi, bro, lama ya? Sori tadi kenalan dulu sama cewek. Cakep banget, bro, ujarnya sambil mengaduk isi kresek yang dibawanya lalu menyerahkan sebungkus kretek kepadaku.

Aku mengambilnya sedikit kasar lantaran aku sebal padanya. Bukannya memikirkan nasib kawan, malah enak-enakan kenalan sama cewek. Padahal di sini aku setengah mampus menahan takut habis ketemu Erna.

Lah, manyun, lu, kenapa? tanya Acil padaku.

Bodo amat. Gue tungguin juga. Ternyata kenalan ama cewek. Gue hampir mati berdiri di sini, kataku dengan kekesalan teramat sangat.

Yaelah, penakut lu. Kagak ada apa-apa juga. Gorengan, nih, kata Acil menawarkan.

Aku diam saja, malas menanggapi.

Ceweknya cakep, bro, Acil melanjutkan ceritanya. Dia nyari keluarganya yang kecelakaan dan katanya dibawa ke sini tapi belum datang, seloroh Acil dengan mulut kepenuhan menyantap gorengan.

Aku terhenyak, lalu kupandangi Acil.

Trus? tanyaku.

Cantik banget pokoknya, bro. Dia pake baju putih selutut gitu. Di bagian dada kanan kayak ketumpahan saos. Gue rasa saos tomat soalnya merah, gak oranye. Kalo saos sambel kan rada-rada oranye, ya, kata Acil lagi sambil terus mengunyah gorengan.

Aku terkejut. Jantungku tak karuan, sekali lagi aku merinding, lalu memandangi Acil. Dia sampai keheranan kupandangi dengan serius.

Kenapa lu, bro, merinding gitu, kayak habis ketemu setan, Acil tergelak.

Aku memegang lengannya. Buset, dingin amat tangan lu. Kenapa, sih? Tanyanya lagi, kali ini sambil menghentikan kunyahannya.

Cewek yang lu temuin, namanya Erna bukan? tanyaku.

Lah  iya, kok lu tau, bro?

Jam berapa lu tadi ketemu?

Lah, pas tadi gue kelar beli rokok sama gorengan. Sekitar jam 23.00 tadi, paling sepuluh menitan nunggu bakwan lagi digoreng. Nah, habis itu pas mau kesini, gue ketemu tuh cewek, baru keluar dari lorong, katanya.

Emang kenapa sih? Kok lu jadi serius gitu mukanya? Kayak habis lihat dedemit, lu, kata Acil sambil menepuk bahuku.

Nafasku tak karuan. Darahku mengalir cepat dan detak jantungku pun berantakan. 

Cil, demi Tuhan, gue tadi ketemu dia juga. Gak berapa lama lu pergi. Dia jalan ke arah gue pake sepatu hak tinggi. Sepatunya bunyi menandakan kakinya menapak. Gue gak curiga. Tapi emang mukanya pucat pasi. terakhir jam 00.30 WIB tadi dia pamit. Nanti mau balik lagi, ngecek saudaranya yang katanya meninggal kecelakaan. Ciri-cirinya sama persis dengan yang lu katakan. Gak berapa lama dia pergi, lu ada di ujung lorong. Gue sempet takut, ada siapa lagi. Gak taunya elu. Gue agak lega. Tapi denger lu cerita begini, gue merinding lagi! kataku dengan suara sedikit gemetar.

Acil menatapku bengong seolah tak percaya. 

Ah yang bener, lu? Jadi merinding gue, kata Acil.

Terserah lu mau percaya apa engga? Sekarang, dari mana gue tau nama dia Erna kalo gue gak kenalan? tanyaku balik.

Acil langsung duduk merapat ke arahku. Terlihat kecemasan di wajahnya.

Balik aja yuk, bro. Serius, perasaan gue gak enak, kata Acil.

Dia bilang mau balik lagi jam 03.00 WIB. Tadinya kalau elu gak datang-datang, gue mau cabut aja. Sekarang lu udah datang, gue agak berani, hehehe, aku tergelak pelan.

Sudah, gue ingin tahu, apa bener itu perempuan balik lagi jam 03.00 WIB. Kita tungguin aja, yuk, kataku lagi.

Dengan muka masam, Acil nampak terpaksa menuruti keinginanku. Dia kembali meneruskan makan gorengan sambil kuceritakan kejadian lucu-lucu supaya suasana tegang berkurang. Lumayan, lah. Kami sudah bisa rileks.

Tak terasa ngobrol ngalor-ngidul sama Acil, kami berdua sudah menguap. Aku melihat jam. Sedikit lagi pukul 03.00 WIB dan tidak ada tanda-tanda korban kecelakaan untuk ditulis. Acil sudah mulai merebah di lantai sambil menghisap rokoknya. Aku pun meluruskan punggung sejenak.

Balik aja yuk, sudah jam 03.00 WIB. Kayaknya gak ada korban malam ini, kataku.

Ayuk, lah, jawab Acil.

Kami pun bergegas memakai jaket dan memasukkan rokok ke dalam tas. Sambil sedikit menggeliat dan menguap. Aku dan Acil lunglai berjalan ke arah luar. 

Sampai di ujung lorong keluar, mendadak ada tempat tidur roda yang masuk dan di atasnya sesosok mayat ditutupi kain putih. Dua orang perawat berjalan agak cepat mendorong tempat tidur beroda tersebut. 

Wah, siapa tuh sus? Baru? tanyaku mengkonfirmasikan jika mayat tersebut baru meninggal.

Kecelakaan di mana, sus? tanya Acil kepada suster tersebut.

Lihat sendiri saja, sahut suster tersebut sambil terus berjalan. 

Aku dan Acil berhenti sejenak mengambil buku catatan dan bolpoin. Zaman dulu kami masih menggunakan itu untuk menuliskan informasi yang penting bagi pembaca koran. Setelah dapat, barulah kami mengejar suster tersebut. Ternyata mereka sudah berada di kamar mayat. Pintu kamar mayat yang dingin sedikit terbuka. Ruangan mayat seperti bagian freezer lemari es demi mencegah mayat tak cepat membusuk. Setelah suster menaruh mayat di atas meja bedah, mereka segera pergi tanpa melayani pertanyaan kami.

Yang jelas sekitar pukul 00.30 meninggalnya, kecelakaan kayaknya sekitar jam 21.00 WIB, tertusuk besi reng di dada. Kondisinya lihat sendiri, kata suster sambil berlalu.

Di dada? tanyaku dalam hati. Aku dan Acil pandang-pandangan seolah memiliki pikiran yang sama.

Cil, lihat bareng yuk. Lu sebelah kanan, gue sebelah kiri. Kita singkap kain putihnya sama-sama. Mau gak lu? tanyaku sambil merinding, antara ngeri dan kedinginan.

Acil mengangguk. Dia berjalan ke arah kanan mayat.

1, 2, 3, kain pun tersingkap.

ASTAGFIRULLAH ALADZIMMMMM, aku dan Acil sama-sama berteriak sambil berlari sekencang-kencangnya menjauh dari kamar mayat rumah sakit di Salemba itu. Tak peduli pintu ruangan pendingin sudah tertutup atau belum, yang jelas kami tak mau lagi meneliti bagaimana kondisi mayat tersebut. Cukup sudah. Kami sudah tahu.

Itu mayat Erna.

 

(Seperti diceritakan AM kepada GenPI.co)

 

Tonton lagi :

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ardini Maharani Dwi Setyarini

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co