1,3 Miliar Data SIM Bocor, Pakar Keamanan Siber Bereaksi Keras Begini

02 September 2022 13:40

GenPI.co - Pakar keamanan siber Pratama Persadha menanggapi perihal rentetan kebocoran data pada beberapa perusahaan baik negara maupun swasta seperti PLN, Indihome, maupun data Kampus, data sekolah, data penduduk, database 21 ribu perusahaan, dan lainnya.

Kali ini ada 1,3 Miliar data registrasi sim card masyarakat tanah air yang bocor.

Sebelumnya, kebocoran tersebut diunggah oleh anggota forum situs breached.to dengan nama identitas 'Bjorka' yang juga membocorkan data riwayat pelanggan Indihome, pada Selasa (31/8/2022).

BACA JUGA:  Pakar Hukum Sambut Positif Pancasila Jadi Mata Pelajaran Wajib

Pengunggah tersebut juga memberikan sample data sebanyak 1,5 juta data.

"Jika diperiksa, sample data yang diberikan tersebut memuat sebanyak 1.597.830 baris berisi data registrasi sim card milik masyarakat Indonesia. isinya berupa NIK (Nomor Induk Kependudukan), nomor ponsel, nama provider, dan tanggal registrasi," ujar chairman lembaga riset siber CISSReC (Communication & Information System Security Research Center) itu dalam keterangannya, Jumat (2/9/2022).

BACA JUGA:  Ada Dugaan 1,3 Miliar Data Kartu SIM Telepon Indonesia Bocor, Johnny G Plate Bereaksi

Penjual juga mencantumkan harga sebesar 50.000 dollar atau sekitar 700 juta rupiah dan transaksi hanya menggunakan mata uang kripto.

Pratama mengemukakan, data pastinya berjumlah 1.304.401.300 baris dengan total ukuran mencapai 87 GB.

BACA JUGA:  1,3 Miliar Data Kartu SIM Bocor, Kemenkominfo Lakukan Ini

Ketika sampel data dicek secara acak dengan melakukan panggilan beberapa nomor, maka nomor tersebut masih aktif semuanya.

Berarti dari 1,5 juta sampel data yang diberikan merupakan data yang valid.

Untuk mengecek apakah data kita termasuk kedalam 1,5 juta sampel data yang dibagikan atau tidak, bisa menggunakan situs www.periksadata.com dengan memasukkan nomor ponsel.

"Sampai saat ini sumber datanya masih belum jelas. Dari pihak Kominfo, Dukcapil, maupun Operator seluler juga telah membantah bahwa datanya dari server mereka. Masalahnya saat ini hanya mereka (Kominfo, Dukcapil, Operator seluler) yang memiliki dan menyimpan data ini," terang dia.

Pratama menambahkan kalau Operator Seluler sepertinya tidak mungkin, karena sample datanya lintas operator dengan jalan terbaik harus dilakukan audit dan investigasi digital forensic untuk memastikan kebocoran data ini dari mana.

"Jadi sangat mustahil jika data yang bocor ini tidak ada yang mempunyainya. Namun kalau kita melihat sample data yang datanya dari semua operator maka seharusnya cuma Kominfo yang bisa mempunya data ini, Tapi kita perlu pastikan dulu," jelasnya.

Pratama juga menerangkan jika data ini benar, artinya semua nomor ponsel di Indonesia sudah bocor baik itu sim card prabayar maupun pascabayar.

Bahkan, sangat rawan sekali data ini jika digabungkan dengan data-data kebocoran yang lain, bisa menjadi data profile lengkap yang bisa dijadikan data dasar dalam melakukan tindak kejahatan penipuan atau kriminal yang lain.

"Dengan kondisi di Indonesia yang belum ada UU Perlindungan Data Pribadi, sehingga tidak ada upaya memaksa dari negara kepada peneyelenggara sistem elekntronik (PSE) untuk bisa mengamankan data dan sistem yang mereka kelola dengan maksimal atau dengan standar tertentu," tegas dia.

Akibatnya banyak terjadi kebocoran data, namun tidak ada yang bertanggungjawab, semua merasa menjadi korban.

Padahal soal ancaman peretasan ini sudah diketahui luas, seharusnya PSE melakukan pengamanan maksimal, misalnya dengan menggunakan enkripsi/penyandian untuk data pribadi masyarakat, dan minimal melakukan pengamanan maksimal demi nama baik lembaga atau perusahaan.

Pratama menuturkan di Uni Eropa denda bisa mencapai 20 juta euro untuk setiap kasus penyalahgunaan dan kebocoran data pribadi masyarakat.

BSSN juga harus masuk lebih dalam pada berbagai kasus kebocoran data di tanah air, minimal menjelaskan ke publik bagaimana dan apa saja yang dilakukan berbagai lembaga publik yang mengalami kebocoran data akibat peretasan.

"Selama ini selain tidak ada sanksi yang berat, karena belum adanya UU PDP, pasca kebocoran data tidak jelas apakah lembaga bersangkutan sudah melakukan perbaikan atau belum. Jadi publik perlu tahu, jika ini terus terjadi maka dunia internasional akan meningkat ketidakpercayaan pada Indonesia," tandas pria asal Cepu, Jawa Tengah ini.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Luthfi Khairul Fikri

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co