Apa Kalian Mau Bertukar Tempat Denganku Memelihara Makhluk Ini?

15 September 2019 04:05

GenPI.co - Nama gue, sebut saja Vira. Sebenarnya gue gak mau menceritakan hal ini, takutnya yang baca terpengaruh. Tapi gue ingin kalian merasakan, apa yang gue rasakan sampai saat ini. 

Gue sempat mengalami gangguan jiwa saat peristiwa ini menimpa gue. Tapi gue sadari bahwa gue harus bertanggungjawab atas apa yang gue lakukan. Sampai akhirnya gue menerima semua apa adanya. Meski sekarang hidup gue gak membaik, tapi juga gak seburuk di awal.

Gue mulai cerita, ya.

Semua bermula ketika gue SMA di Bandung. Tahun 1995, ayah dan ibu gue pindah ke Bandung. Tepatnya di belakang Pasar Cicadas. Lantaran gue cukup mahir bersosialisasi, temen gue jadi lumayan banyak, lah. Di sekitaran rumah gue yang deket sebuah klinik, mungkin banyak orang sudah kenal gue. Gak nyombong.

Baca juga :

Cerita Horor : Kaki Ke-15 Itu Bukan Manusia!

Cerita Horor : Kisah Lahan Angker Mencari Tuan di Bekasi

Cerita Horor : Sosok Berwajah Terbalik di Foto Reuni SMA Istriku

Gue masuk di kelas 2 atau kelas 11 sebuah SMA negeri bergengsi di Bandung. Sebab nilai-nilai gue sebagai anak yang gede di Jakarta termasuk tinggi, kepala sekolahnya gak banyak tingkah juga langsung nerima gue. Berhasil lah gue masuk ke sekolah ini. Kalau gue kasih tau gue sekolah di mana, lu pasti bisa langsung nebak. Gue kasih clue, ya. Gedungnya peninggalan Belanda, udah gitu aja.

Singkat cerita, gue banyak punya temen cowok di SMA ini. Teman sebangku gue, si Dudung, dan beberapa lainnya, tapi ada satu yang orangnya aneh. Sebut saja Raden. Raden ini anaknya rada-rada creepy. Bukan karena nakal, melainkan kemampuannya yang bisa melihat mahluk halus! 

Lagi belajar, mendadak Raden teriak gak jelas. Brengsek, sana! Ganggu aja! Dan dia bicara dengan sebelahnya padahal bangkunya kosong! Itu cuma satu contoh di antara ribuan contoh yang lain. Masih banyak banget dan gue males ceritainnya satu-satu. 

Tapi yang ini paling menyeramkan, sampai-sampai .... ah, simak aja deh cerita gue.

Suatu hari, Kamis, gak sengaja Raden belom pulang. Dia masih mencatat beberapa teori yang ditulis oleh guru fisika di papan tulis. Sama, gue juga. Masalah di hidup gue cuma satu, teori. Benci banget. Gue lebih suka praktik. Karenanya kalau ada catatan di papan tulis, gue lama geraknya.

Di kelas sisa gue sama dia. Tapi gue berhasil selesai duluan. Gue segera membereskan tas. Gak tau ada angin apa gue, gue samperin dia DAN ITU SALAH, SEBAB DARI SITU LAH MALAPETAKA DALAM HIDUP GUE DIMULAI.

Gue samperin dia dan sok akrab.

Masih lama? 

Raden ngeliatin gue acuh tak acuh. Gue Vira, anak baru, gue nyodorin tangan.

Raden membalas tangan gue. Raden, kata dia dengan suara yang agak serak. 

Gue liatin lu suka ngobrol sendiri. Gue diceritain sama anak-anak, katanya lu bisa ngeliat yang gaib gitu ya, Den. Gak takut lu? tanyaku bloon banget sumpah. Ngapain juga gue to the point begini. 

Raden pun menatap gue agak tajam, lalu kembali menulis. Dia gak jawab, mungkin karena konsentrasi dengan tulisan. Beberapa saat kemudian dia menutup bukunya. Lalu memasukkan seluruh alat tulisnya ke dalam tas. 

Kenapa lu tanya itu? Lu mau tau? tanyanya ke gue.

Gue mengangguk. 

Iya gue bisa lihat mahluk halus dan sejenisnya. Jadi gak usah kaget kalau tiba-tiba gue ngomong sendiri. Jelas, kan? katanya sambil berdiri tanda mau pulang.

Gimana caranya bisa lihat itu? Keturunan? Lagi-lagi gue menanyakan hal yang terlalu pribadi. Dan ini pertanyaan yang paling membuat gue menyesal seumur hidup.

Kalo lu mau tau, ikut gue, kata Raden.

Nah, lho, gue mau diajak kemana nih? Awalnya gue mau menolak tapi rasa ingin tahu gue kok besar banget, melebihi kata hati gue yang menyarankan untuk jangan mengikuti Raden. Akhirnya gue putuskan untuk mengikuti langkahnya. 

Ayo naik, Raden mengajak gue naik ke motornya. Motor bebek keluaran Satu Hati yang melegenda. Wah, gue makin penasaran. Gak ada takut-takutnya sumpah. Akhirnya gue naik ke motornya Raden.

Di perjalanan Raden lebih banyak membisu sampai akhirnya gue memecah keheningan kala naik motor. Gue mau dibawa kemana, Den? tanya gue.

Ke rumah gue, katanya.

Buset, apa kata emak-bapaknya? Jangan-jangan gue mau dikenalin sebagai calon mantu. Waelah, halusinasi banget. Ya sudah, gue ikutin dulu deh kisah ini bakal seperti apa. Yang jelas hati gue masih melarang dengan keras keputusan mengikuti Raden.

FYI, rumah Raden ada di jalan B. Lingkungan sini asli bikin merinding kala itu. Gak tau kalau sekarang. Gue udah lama gak ke Bandung.

Gue dan Raden sampai di rumah dia. Assalammualaikum, kata Raden kala memasuki rumahnya. 

Salamnya dijawab dari dalam oleh suara perempuan. Tak berapa lama pintu rumah terbuka. Terlihat wanita paruh baya dengan wajah pucat menyambut Raden. 

Darimana saja kamu? Ibu sangat khawatir. Dia dari tadi bikin keributan dalam kamarmu. Ibu tak bisa apa-apa. Ibu hanya duduk di ruang tamu saja sehingga kalau ada apa-apa, ibu bisa langsung keluar dari rumah, ujar wanita itu yang tak lain adalah ibunya Raden.

Raden hanya menghela nafas. Setelah cium tangan pada ibunya, dia mengenalkan gue. Bu, ini Vira. Murid baru di sekolahku. Baru dua bulan. Vir, duduk dulu. Gue ambilin air. Lu pasti haus, kata Raden.

Gue menggeleng, Gak usah repot-repot, Den. 

Ngobrolnya di teras aja ya, Vir. kata dia lagi. Aku mengiyakan.

Pastikan jangan kemana-mana, apapun yang terjadi. Tetap di teras ini, kata Raden lagi. Bicara tanpa memandang gue.

Iya, kata gue sebelum benar-benar mencerna kata-kata Raden. Eh, gimana? Telat, nj*r, dia sudah keburu masuk rumah. Ibunya ngikut masuk.   

Rumah Raden cukup asri dengan beberapa pohon yang ditanam di pekarangan kediamannya. Hari menjelang petang tapi bukan sore. Sekitaran waktu Salat Asar gitu. Btw, lama banget ngambil air doang. 

Gue menebar pandangan ke arah luar pagar rumah Raden. Yang bikin gue janggal adalah DIA GAK PUNYA TETANGGA! Di jalan ini memang banyak rumah kosongnya. Tapi gue gak menyangka, sisi kanan-kiri Raden cuma rumah tua yang kayaknya udah lama banget ditinggalkan penghuninya. Kusam meski bangunan masih berdiri kokoh. 

Sayup-sayup gue mendengar suara mic sedang dipersiapkan. Azan Ashar pun berkumandang dari masjid yang tak terlihat oleh jarak pandang gue. Allahu Akbar, Allahu Akbar. 

MENDADAK GUE MENDENGAR RAUNGAN DARI DALAM RUMAH RADEN. Suaranya serak namun menggelegar. Persis di konser-konser musik metal. Tapi yang pasti gue tahu ini bukan suara Raden. Lebih ke suara perempuan. Ibunya? Astaga, kenapa ibunya Raden?

Gue mematung, jantung gue berdebar kencang banget tapi bukan di situasi katakan cinta. Apa yang terjadi di dalam rumah? Gue semakin penasaran. Tapi gue tahu, gue harus bisa menahan rasa itu ketimbang sesuatu terjadi sama diri gue. Orang di dalam itu berteriak sepanjang azan dikumandangkan. Saat azan selesai, selesai pula teriakannya. SUMPAH ANEH.

Rumah itu mendadak hening. Sekitarnya juga hening, bercampur udara Bandung yang semakin dingin. Meski matahari masih ada, gue merasakan kegelapan mulai menyergap. Mata gue awas berjaga-jaga. Sekiranya ada yang aneh, gue bakal lari tunggang langgang.

Sudah setengah jam, gak ada apa-apa. Bahkan tak terdengar aktivitas di dalam rumahnya Raden. Jangan-jangan dia gak inget kalau ada gue di teras. Atau jangan-jangan, sesuatu terjadi pada Raden dan ibunya. Anj*r, lah.

Otak gue dipenuhi pertanyaan dan ketakutan sekaligus, gue cuma ingin tahu, apa yang terjadi di dalam rumah. Mendadak gue inget kata-kata Raden. Jangan kemana-mana. Tetap di teras. Gue yang tadinya penasaran, segera mengubur rasa itu. Gue tenangkan hati gue sejenak.

Sejam berlalu, sore makin keliatan. Raden belum muncul-muncul, gue makin gak tenang. Kemana nih, anak? Waktu, perkiraan gue, menunjukkan pukul 16.30 WIB. Perkiraan aja karena zaman dulu belum ada hape dan gue gak pake jam tangan. Sore di jalan itu lebih sepi lagi. Sumpah, ini jalan gak ada kehidupannya sama sekali. Hari itu untuk pertama kalinya gue merinding.

Iya, gue termasuk anak pemberani. Film horor kayak apa pun gue lahap. Jalan ke tempat sepi mana pun, gue gak ada takut-takutnya. Puji Tuhan gue gak pernah ditampakkan hantu-hantu macam pocong, kuntilanak, dan sebagainya. Gue gak bilang mereka hoaks. Mereka ada, tapi beda alam.

Namun, sekarang ini, gue ngerasain merinding itu kayak apa. Sumpah, gue sudah ada di tingkat ketakutan sekarang. Ah, gue ketuk-ketuk pintu aja coba.

Den, Raden, Raden, pintu gue ketuk dan cuma memanggil nama dia. Gak ada sahutan. Gue ketuk lagi agak keras dan masih manggil namanya. Agak keras juga. Tetap gak ada yang menyahut atau keluar. Akhirnya gue gak tahan. 

Raden, gue mau pulang. Terserah, lu, mau marah apa enggak sama gue. Yang jelas ini udah sore, nyokap gue pasti nyariin gue, kata gue agak kenceng biar kedengeran. Masih gak ada jawaban juga. Ah, bodo amat, lah. Gue pulang dulu ya, Den. Gue melangkah ke arah pagar rumah Raden yang hanya setinggi dada. 

Gue buka pagar itu perlahan. Bunyinya, duh. Kayak pagar yang diminyaki berabad-abad. Kreeekkk, sumpah serem banget. 

Gue tutup lagi pagar itu. Gue clingak-clinguk memandang kiri-kanan, gak ada aktivitas manusia. Gue berusaha mengingat-ingat, jalur motor yang tadi diambil Raden. Cuma itu cara gue keluar dari lingkungan sini. 

Gue beranjak ke arah kanan dan di sudut mata kanan pula gue menangkap sebuah gerakan. Gue nengok ke arah rumah Raden. Dari kaca depan yang ditutupi gorden tebal, ADA TANGAN BERWARNA PUTIH PUCAT YANG MENEMPEL PADA KACA DAN MELAMBAI KE ARAH GUE! Seketika bulu kuduk gue makin parah berdiri. Gue langsung lari sekencang-kencangnya! Gue gak mau nengok ke belakang, bodo amat!

 

Duh, udah jauh gue lari, sampai tersegal-segal nafas gue. Akhirnya gue menemukan keramaian. Ada pangkalan ojek, angkot, dan kendaraan lalu lalang. Gue langsung mendekati tukang ojek. Bang, ke Cicadas, kata gue dengan nafas masih turun naik.

Atuh, jauh, neng. Eh, kenapa? Kok, kayak orang ketakutan, neng? tanya abangnya. 

Gue gak ngejawab pertanyaan dia. Berapa ke Cicadas? Dia menyebutkan Rp 20 ribu. Zaman 90-an, uang segitu kayak Rp 200 ribu sekarang. Mahal banget! Tapi di sini kalian bisa mengira-ngira, sebenarnya gue di jalan apa.

Gak pake nawar, gue langsung bergegas naik di jok belakang. Buruan, bang, kata gue. Abangnya langsung ngebut.

Sampai di rumah, nyokap udah gaak enak banget mukanya. Dari mana saja, kamu, Vir? Gue gak nyaut. Yang ingin gue lakukan hanya mandi dan langsung tidur. Gue malas mengingat-ingat peristiwa barusan yang gue alami. Tangan pucat yang melambai. Anj*r, lah.

Di malam setelah kejadian, tidak ada peristiwa apa pun menimpa gue. Hanya saja gue ngerasa kaki gue kram. Seperti dicengkram oleh tangan dan itu terjadi sepanjang malam. Gue yakinkan kepada diri gue, jika itu adalah efek dari gue lari.

Pagi hari, gue bangun telat! Jumat pagi, bergegas gue ngebut mandi dan langsung minta antar Mang Ocid, tetangga sebelah rumah yang berprofesi ojek pangkalan untuk mengantar gue. Harusnya sih gue naik angkot, tapi gue gak mau makin telat. 

Sampai di sekolahan, gue menghambur ke kelas. Namun kala ingin melewati lorong menuju kelas, dari ujung lorong, gue berasa aneh. Gue hentikan lari gue dan memandang dari kejauhan. ada sosok aneh di ujung lorong. Meski matahari bersinar cerah, tapi sosok itu samar. Yang bisa gue rekam, dia mengenakan gaun khas Noni Belanda yang roknya mengembang. Bagian rambutnya tersanggul tinggi. Kepalanya jatuh ke arah kiri dan tangannya ke arah depan. Badannya agak membungkuk. 

 

Gue gak bisa lihat wajahnya, seperti siluet. Namun mendadak, tangannya bergerak pelan ke arah atas, menekuk pelan dan MELAMBAI KE GUE! Jujur walau merinding, gue dekati dia perlahan. Lagian lorong itu satu-satunya jalan masuk ke kelas gue dan kelas-kelas lainnya. Dekat, dekat, semakin dekat, beberapa langkah lagi semoga gue bisa melihat wajahnya. Tuhan, kuatkan gue, plis! DAN ....

Kamu ngapain? Udah telat jalan pelan-pelan? Takut dihukum? Sana masuk kelas, ujar guru BP, Pak Agus yang sumpah mengejutkan gue. Auto pandangan gue ke dia. Setelah itu, gue balik menghadap arah lorong, dan .... yes, wanita Noni Belanda itu gak ada!

Gue pandangin lagi Pak Agus. Kayaknya ketakutan gue terbaca sama dia. Muka kamu beda, kalau kamu melihat sesuatu, abaikan saja. Tetap doa minta perlindungan Tuhan, kata Pak Agus. 

Dia segera berlalu. Dari kata-katanya, berarti dia memang sudah paham dengan situasi di sekolah ini. Gue pun beringsut ke arah kelas sambil ngerasa aneh. Apakah gue baru aja lihat makhluk gaib? Kok bisa?

Gue ketuk perlahan pintu kelas. Fiuh, untung pas pelajaran Biologi Pak Hanif. Orangnya ramah dan lucu. Apalagi kalau sudah berbicara soal organ reproduksi. Sekelas jadi semangat. Oia, dikarenakan gue dulu sistem Cawu dan bukan semester, pembagian jurusan baru ada di kelas 3 alias kelas 12. Gue dulu dapat jurusan IPA. Nyombong.

Pak Hanif tersenyum ngeliat gue yang keringetan. Dia mempersilakan gue duduk. Anak-anak pada ribet memandangi gue. Dua orang, Irene dan teman sebangkunya, Hani, bisik-bisik sambil ngeliatin gue dengan tatapan aneh. Gue kasih mereka pandangan sengak. Btw, dua anak itu biang kerok di sekolahan. Hobinya adu domba dan bacotnya gak nahan. Dari gue pertama datang ke sekolah ini, cuma mereka yang gak baik sama gue.

Gue melihat ke arah bangku Raden. Kosong. Kemana ya, tuh, anak? Hati gue bertanya-tanya. 

Selama pelajaran Pak Hanif gue gak konsen. Dilanjutkan pelajaran Bu Subrika, Matematika maha killer. Elah, makin ribet hidup gue. Asli hati gue gak tenang. Gue bolak balik nengok ke bangku Raden.

Si Dudung, teman sebangku gue sampai merasa terganggu. Kenapa lu, Vir? Dari tadi gue liat gelisah, kata Dudung.

Si Raden kemana?

Gak paham, deh. Emang kenapa? Jie, naksir, Dudung menggoda gue.

Segala naksir. Enggak, Dung, perasaan gue gak enak aja. 

Emang kenapa, sih? Ada apaan? Kali ini Dudung ikutan serius.

Tiba-tiba, Itu ngapain Dudung sama Vira ngobrol? Kalau mau ngobrol keluar sana. Di sini teman-temannya pada mau belajar, kata Bu Subrika, tenang tapi tegas. 

Gue dan Dudung terdiam menunduk. Langkah kaki Bu Subrika mendekati kami. Gue sama Dudung makin dalam nunduknya. Bu Subrika meletakkan tangannya di atas meja. Gue auto memandangi tangan Bu Sub. DAN, GUE SYOK! ITU TANGAN YANG SAMA! TANGAN YANG MELAMBAI KE ARAH GUE LEWAT JENDELA RUMAH RADEN! Gue langsung dongak kepala menatap wajah pemilik tangan itu. TUHAN! WAJAHNYA BU SUBRIKA TAPI MATANYA PUTIH, KULIT MUKANYA ABU-ABU! TUHAN YESUS TOLONG GUE LAH! SIAPA INI YANG DI HADAPAN GUE! 

Gue nunduk kenceng lagi. Gue pejamkan mata sambil baca doa dalam hati berharap siapa pun yang merasuki Bu Subrika segera pergi. Tak berapa lama, Vira, hey, ibu lagi bicara sama kamu. Kenapa malah merem komat-kamit. Emang ibu setan? Gemuruh tawa seisi kelas terdengar.

Gue dongak kepala lagi dan buka mata. Puji Tuhan, itu beneran Bu Subrika. 

Maaf, bu, kata gue.

Dudung udah sikut-sikutan sama gue.

Kalian berdua ibu hukum. Isi soal latihan di halaman 26 sampai 29 dan halaman 47 sampai 54! kata Bu Sub agak kesal. Kerjakan setelah bel sekolah usai dan langsung taruh buku di ruang guru, di meja saya. Sampai tuntas. Jangan pulang sebelum kelar! 

Buset! Dudung tepok jidat.

Sampai sini gue skip, langsung sekolah usai.

Teman-teman sudah pada bubar, tinggal gue sama Dudung yang bertahan. 

Vir, susah nih, gue gak bisa, kata Dudung.

Sebenarnya, matematika salah satu pelajaran favorit gue. Gue bisa dibilang ahlinya di kelas ini. Tapi entah kenapa, soal-soal itu cuma gue pandangin. Pikiran gue gak ke situ.

Dung, lu tau gak Raden kemana?

Elah, masih aja nanyain Raden. Mana gue tau, Vir.

Emang gak ad keterangan?

Engga.

Dung, kabur, yuk, Kita ke rumah Raden.

Hah? Lu tau rumah Raden?

Tau.

Dudung cuma ngasih muka bingung.

E buset, ini gimana? Harus dikumpulin, kan?

Alah, gertak doang. Sekarang gue gak konsen. Kalau gue konsen, gue selesaikan ini 10 menit. Lagian besok gak ada Matematika. 

Ya, tapi kan, tetep aja dia masuk absen, combrooooo.

Pagi kita nyelinap ke ruangannya, Dung, kalo engga malam ini. 

Btw, sekolah zaman 90-an hari Sabtu tetap masuk dengan pelajaran-pelajaran yang dirasa kurang penting seperti Kesenian atau olahraga. Karenanya hari Sabtu selalu dinanti setiap murid. Katakanlah kelas bebas. Olahraga paling hanya praktik sebentar, lalu jajan es.

Gak, ah. Gue gak mau ambil risiko. Bu Subrika kalau udah killer abis kita.

Elah, takut amat. 

Gini aja, lu konsen, kata lu bisa 10 menit. Lu kerjain secepatnya, trus kita ke rumah Raden. Gue temenin.

Beneran, ya. Awas lu bohong.

Iya.

Dan, gue pun segera berkonsentrasi. Meski bukan 10 menit, tapi semua soal itu bisa gue kerjakan 30 menit. Gue dan Dudung segera menaruh buku pelajaran kami ke meja Bu Subrika dan cabut dari sekolah.

Untung Dudung bawa motor. Gue juga pesan sama Dudung agar nganterin gue sampe rumah kalau urusan ke Raden sudah selesai. Dudung sepakat. Selama perjalanan kami ngobrol di atas motor.

Gue selama sekolah di sini, selama kenal Raden, belum pernah ke rumahnya. Lu malah duluan, buset. 

Jujur aja, Dung. Awalnya gue penasaran, kenapa dia suka teriak-teriak sendiri. Gue dengar dari Ismi, katanya Raden bisa liat setan. Ya gue tanya.

Lu ngapain nanya begituan, Saodahhhhhh. Pamali kalo kata urang Sunda, teh. Itu hal yang gak bisa dibicarakan kecuali sama yang ngerti gituan juga.

Elah, namanya penasaran.

Kata kokolot aing (orang tua gue), ada peribahasa, gak ngerti lebih baik, gak tahu lebih baik, Dudung mendadak serius.

Gue diam. 

Belok kanan, Dung, kata gue saat sudah hampir tiba.

Lah, ini kan Jalan B! Anj*r, kok gak ngasih tau dari awal?

Emang kenapa, Dung?

Lah, lu belum tahu? 

Gue menggeleng. Kenapa emang, Dung.

Ini jalan paling angker. Warga sini pada tahun 80-an berbondong-bondong pergi dari wilayah ini karena kuntilanak abu-abu.

Nah, lho, apaan tuh?

Gue gak mau nyeritainnya. Males. Lagian ada beberapa part yang gue gak hapal.

Apaan sih? Makin bikin penasaran lu, elah.

Lu beneran mau tau?

Gue ngangguk.

Dudung memutarkan arah motornya, menjauh dari jalan B, mencari warung kopi terdekat. Lalu kami duduk berdua udah kayak sepasang kekasih.

Dudung memesan kopi, gue pesan es jeruk. Dudung mengambil sebatang rokok. Dia bercakap-cakap dengan bahasa Sunda pada pemilik warung, yang intinya menanyakan apakah Jalan B masih angker.

Pemilik warung memandang gue lalu bicara pakai bahasa Sunda. Dudung menerjemahkan yang bikin gue merinding. 

Katanya, udah gak ada lagi orang-orang di sana. Lu lihat setan kali. Setau dia (pemilik warung) perumahan di jalan B itu sudah lama kosong. Dijual pemiliknya belum pada laku-laku. Tapi gak tahu juga kalau sekarang ada yang menempati. Terakhir kali dia jalan-jalan ke area sana, udah kosong banget. Murah-murah, rumahnya. Tapi ya itu, banyak hantunya. Kuntilanak abu-abu, kata Dudung menerjemahkan.

Gue menatap si teteh pemilik warung dengan pandangan bingung. 

Kuntilanak abu-abu itu apa, teh?

Seketika si teteh menggeleng, ulah, ulah, katanya agak kenceng.

Jangan, jangan, maksudnya jangan minta diceritain. Gue rasa si teteh tau ceritanya tapi dia gak mau cerita, kata Dudung lagi.

Emang kenapa sih, elah, makin penasaran gue.

Vir, yang namanya cerita kan kudu detil. Nah, detil daripada si kunti ini gak bisa dikasih tau. Konon, kalau sampai lu dengar, dia seperti apa wujudnya, trus lu ngebayangin, dia akan mendiami rumah lu. Gitu. 

Hah! Serius, lu?!

Lah, emang begitu, Vir. Ini urban legend yang hampir semua orang Bandung paham. Emang lu gak tau?

Gue menggeleng. Kan gue pindahan, ya, elah.

Wah, iya, lupa, Dudung tepok jidat.

Emang seserem apa sih kuntilanak abu-abu itu?

ELAH VIRA! KAN UDAH GUE BILANG! JANGAN DICERITAIN DETILNYA GIMANA! LU GAK MAU KAN DI RUMAH LU ADA MAHLUK ITU DAN GANGGU KEHIDUPAN LU? Dudung ngegas.

 

Gue cuma diam. Iya udah, lanjut gak, nih? tanya gue.

Gue saranin engga. 

Tapi, lu udah janji, kan mau nemenin gue.

Iya, kan itu cuma saran. Kalau lu mau lanjut, ayo. Gue temenin sampe kelar.

Dudung segera menghabiskan kopinya, mumpung hari masih sekitar Asar. Kami pun segera ke Jalan B.

Kami sudah masuk ke area jalan B. Meski belum arah ke rumah Raden. Dudung menambahkan, sebenarnya dulu jalanan ini ramai. Jalan tembus menghindari kemacetan di beberapa titik di Kota Bandung. Namun seiring dengan perluasan area jalan di Kota Kembang ini, jadilah Jalan B mulai ditinggalkan dan akhirnya muncul urban lejen soal kuntilanak abu-abu itu.

Meski urban lejen, namun ada kesaksian beberapa orang yang pernah menjadi korban Kuntilanak itu. Dia tinggal di rumah yang sama dengan kita. Dia meminta makan yang dia inginkan, jika tidak, satu keluarga akan tersiksa. Jika tidak dituruti keinginannya, maka nyawa keluarga tersebut terancam. Namun kuntilanak tersebut tidak akan melenyapkan seluruh nyawa. Disisakan satu untuk menjadi kaki tangannya, agar dia bisa berpindah-pindah kepemilikan lewat cerita sosoknya.

Nah, orang yang disisakan nyawanya ini. Kalau dia mau, dia bisa cerita ke orang lain, detil wujudnya seperti apa. Lalu, bussss, pindahlah si kunti ke rumah orang yang mendengar dan membayangkan tadi. Tapi cuma bisa dilihat oleh orang yang mendengar detil wujudnya dia. 

Gimana, gimana? Gue gak paham.

Nih, misalnya gue ceritain sama lu wujudnya si kunti secara detil. Dia pindah ke rumah lu. Dia cuma bisa dilihat sama lu. Kalau lu cerita sama nyokap lu, ya nyokap lu bisa ngeliat. Gitu.

Serius, lu? Semudah itu?

Bener. Gue pernah diceritain, sih. Tapi saat itu keadaan gue agak-agak ngantuk. Untung aja gue gak inget wujudnya kayak gimana. 

Gue bengong. Ini bener-bener hal ganjil yang pernah gue temukan. Tapi serius, gue makin penasaran. Hingga akhirnya, mendadak Dudung putar balik dengan tergesa. Gue hampir jatuh. 

Anj*r Dung, kenapa lu? Pelan-pelan. Kenapa si kayak orang ngeliat setan! kata gue.

Dudung gak menjawab. Dia larikan motornya secepat kilat meninggalkan area Jalan B. Hingga dirasa sudah aman, Dudung berhenti. Nafasnya tersegal-segal. 

Kenapa, woy? Cerita, kata gue.

Vir, vir, liatin di tengkuk belakang gue, di balik kerah jaket! Sekarang!

Gue segera melongok. Gue tarik kerah jaket Dudung. Ada sebuah gelungan rambut kecil, hanya beberapa helai. Persis gumpalan untuk promosi cat rambut.

Namun, setelah diurai, gue dan Dudung langsung merinding! PANJANG BANGET! KAYAK BUKAN RAMBUT MANUSIA!

Duh, Vir, gimana nih? Kata orang-orang kalau kejadiannya kayak gini, berarti kita udah diikutin. Udah diincer! 

Gak usah nakutin, lu, Dung!

Serius, Vira. Elu sama gue. Kita udah diincer!

Ah, bodo amat, gue gak ngapa-ngapain, kata gue membela diri.

Iya, lu gak ngapa-ngapain, tapi keingintahuan lu gede. 'Dia' gak suka. Lu kenapa, sih, pengen banget cari tahu? 

Awalnya gue gak mau cerita. Sampai pada akhirnya Dudung maksa. Akhirnya gue ceritain pengalaman gue main ke rumah Raden selengkapnya.

Si G*blok! Kan, dari pas berangkat feeling gue udah gak enak!

Lagian elah, sensi banget tuh kunti.

Lah, emang bangsa gituan sensi. Udah gini, Vir, gue anter lu sampe rumah. Keburu malem. Mending kita cari selamat, aja.

Kali ini gue nurut sama Dudung. Dudung pun anterin gue sampai rumah.

Sebelum pulang, Dudung sempat bilang hal yang bikin gue malah gak bisa tidur.

Kalau prediksi gue gak salah, Vir, Raden pasti besok datang. Tapi, plis, lu jangan ngikutin rasa penasaran lu. Biasa aja. Lu harus janji sama gue. Kalau dia cerita apa pun, tutup kuping lu. Gue ngerasa dia pelihara kuntilanak abu-abu. Pokoknya jangan sampai lu tau detil wujudnya lewat cerita! Udah gitu aja.

Gue gak ngangguk dan gak menggeleng. Gue cuma menatap Dudung penuh kebingungan. Sebelum Dudung pulang, dia sempat bilang sama gue agar baca doa sebelum tidur.

Lagi-lagi gue diam dan cuma masuk ke rumah.

Sepanjang malam, mulai dari mandi, makan, belajar, dan hendak tidur, gue inget terus kata-kata Dudung. Kecemasan mulai membayangi gue. Gimana kalau kata-kata Dudung benar? Gue mengulang-ulang perkataan Dudung sampai ketiduran.

Pagi hari, kali ini gue gak kesiangan. Buka mata, nyokap gue udah menyibak gorden di kamar gue yang persis banget menghadap timur. Nyokap melihat gue dengan tersenyum.

Syukurlah anak mama sudah bangun. Kamu baik-baik saja, kan?

Lah, kenapa nyokap gue nanya begitu, ya?

Lah, emang kenapa, ma?

Nyokap duduk di samping tempat tidur gue. Membelai rambut gue. Lalu mengajak gue berdoa sebelum memulai hari. Nyokap gue seorang Kristen taat. Bokap gue Katolik, taat juga. Gue dibesarkan dalam lingkungan yang taat pada aturan Tuhan. Tapi, namanya anak muda, kadang gue jenuh ibadah. Kadang gue males ke gereja padahal cuma seminggu sekali. Entah lah. Tapi tetep aja, kalau ada apa-apa, gue manggil Tuhan, bukan yang lain.

Semalam kamu berteriak-teriak. Seperti ketakutan. Mama, Papa sama Elias sampai terbangun.

Btw, Elias adek gue. Masih kecil. Masih SD kelas 3. 

Kamu tidak bisa dibangunkan. Padahal mama sudah guncang-guncang tubuh kamu. Papa segera ambil Rosario. Papa kasih ke leher kamu, baru kamu tenang. Kamu mimpi apa? 

Gue memandangi wajah nyokap. Wajah yang teduh. Gue mau cerita tapi pasti gue telat karena gue anaknya detil. Gue cuma tersenyum mandangin nyokap. Gak apa-apa, ma. Gak inget juga mimpi apaan, kata gue sambil posisi duduk. Tapi emang gue gak inget.

Mama tersenyum lalu berdiri keluar kamarku. Ya, sudah, cepat mandi, mama siapkan sarapan.

Bla, bla, bla, kelar ini-itu, dan waktunya gue berangkat. Gue cium tangan mama. Entah kenapa gue gak mau ngelepas tangan nyokap gue. Mama memandang gue penuh keanehan. Kenapa kamu, Vira?

Gak apa-apa, ma.

Tunggu sebentar.

Mama kembali ke dalam rumah. Dia mengambil air suci milik papa gue yang ada di dalam botol keramik putih. Mama mengambil sedikit air itu di telapak tangannya lalu memercikkan air itu ke wajah gue dan di dahi gue diukir salib.

Tuhan Yesus menjagamu, kata mama gue.

Ya, udah Vira berangkat ya, ma.

Hati-hati. Gue melihat wajah nyokap. Ada kecemasan di sana yang gak bisa gue gambarkan seperti apa.

Tiba di sekolah. Murid masih pada ramai menunggu bel masuk. Dudung nongkrong dengan cowok-cowok kelas gue di dekat pagar samping sekolah. Gue segera Nyamperin Dudung.

Udah ngeliat si Raden? tanya gue ke Dudung pelan.

Belom, Vir. 

Ya udah, gue ke kelas duluan.

Kelas gue sepi banget, tapi tas anak-anak sudah ada di bangkunya masing-masing. Semua sudah pada di luar kelas karena pelajaran pertama memang olahraga dan dilanjutkan dengan kesenian. 

Gue naruh tas, lalu duduk sejenak mengeluarkan baju olahraga. Harusnya gue pakai aja dari rumah, ya. Bloon emang.

Mendadak gue mendengar nafas seseorang dari arah belakang. Jantung gue langsung gak karuan detaknya. Bulu kuduk gue naik. Gue segera membalikkan badan. ADA RADEN! DIA MASUK LEWAT MANA! TADI SEPI SUMPAH! 

Gue sontak langsung berdiri dan hendak lari, tapi setelah berada dekat bangku guru, gue menoleh lagi. Raden memandangi gue kayak ingin nangis.

Lu datang dari mana tadi? Lu orang, kan? Lu siapa? Mana Raden? Gaya gue udah kayak di film-film horor.

Ini gue Raden, Vir. Tadi pala gue berat, makanya gue tiduran. Gue bangun karena ada orang datang. Gue pikir Pak Asep (guru olahraga). Gak taunya elu.

Mendengar keterangan Raden, hati gue bisa menerima. Ada kejujuran di matanya. Gue mendekat tapi tetap ambil jarak.

Kemana lu kemarin? tanya gue penuh selidik.

Gue sakit, Vir. Nyokap gue juga sakit. Gak ada yang bisa ke sekolahan untuk ngasih tau guru-guru. Gue sakit karena ...., Raden gak melanjutkan ucapannya.

Karena apa? serius dalam hati gue mengutuk, kenapa gue harus bertanya ini. Bodoh sekali, Vira! Ini sumber petaka gue.

Karena makhluk itu gak terima apa pun yang gue sajikan, kata Raden lirih.

Raden membuka bajunya. 

Lah, mau ngapain lu, Den? Gue teriak, nih! ancam gue.

Gue cuma mau kasih tau lu sesuatu. 

Gue terbelalak. Di dada Raden ada 5 garis panjang seolah habis dicakar! Ini gila!

Lu kenapa?

Raden terdiam. Gue makin penasaran.

Mahluk itu melukai gue dan ibu gue, Vir, ucap Raden pelan.

Mahluk apaan maksud lu? Macan? Serigala? Apa?

Sambil menunduk, Raden berbicara sesuatu yang lebih pelan lagi dan gue gak mendengar tapi sayup-sayup ada 'af'-nya.

Raden kembali menatap gue. Gue menunggu jawaban dia.

Dia minta pindah. Mahluk wanita itu, Vira. Tingginya sekitar 180 meter, rambutnya panjang hitam pekat lebat menyentuh tanah, wajahnya abu-abu dengan tangan putih pucat dan kuku-kuku yang panjang. Dia bertelinga runcing di sebelah kiri dan daun telinga di sebelah kanan tidak ada sebab dipenggal. Hidungnya bangir dan selalu meneteskan darah, di ubun-ubunnya ada lubang paku sedalam 10 sentimeter, tangan kirinya ada jari yang terpotong, matanya putih dengan sudut ke atas memanjang dan INI YANG TERAKHIR, BIBIRNYA.... @%#^$&@(!)$^#!!!!!

 

TEEETTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!!!! Bunyi lonceng sekolah gue yang lama dan memekakkan telinga membuat suara Raden tenggelam. Gue yang tadinya rada terhipnotis mendadak sadar. Gue langsung lari ke luar kelas sambil memandangi Raden yang langsung duduk dan menggebrak meja lantaran misinya belum terlaksana.

Tuhan Yesus menyelamatkan gue. 

Di lapangan sudah ada Dudung dan anak-anak lainnya, membuat barisan acak. Gue langsung ambil posisi di sebelah Dudung dan memandanginya dengan wajah ketakutan. Awalnya Dudung gak ngeh, sampai ketika dia melihat Raden keluar kelas sedikit terhuyung-huyung, dia membelalakkan mata.

Setengah berbisik gue menceritakan kejadian yang baru gue alami.

Bener kata lu, Dung. Dia menceritakan ciri-ciri kunti itu.

Somplak. Serius lu? Dudung jadi ikutan berbisik.

Bener. Gue selamat karena bel bunyi. Gue gak dengar ciri-ciri terakhir. Sumpah, jantung gue mau copot.

Raden berbaris di tempat paling belakang. Gue dan Dudung sama-sama menoleh melihat dia. Tatapan Raden kosong melihat ke arah kami berdua. Lalu mulutnya seperti hendak menyampaikan sesuatu tapi tanpa suara. Gue dan Dudung dipaksa membaca gerak bibirnya. Kami spontan buang muka!

Lu liat gerak bibirnya dia? Untung gue gak paham.

Gue paham sih, Dung.

Maksud lu, Vir?

Gue gak menjawab sepatah kata pun. Gue cuma diam bahkan sampai sekolah bubar. Tawaran Dudung untuk pulang bareng gue tolak.

--------------------------------------------------

Gue sampai di rumah. Shalom, gue mengucapkan salam sambil lemas.

Nyokap gue membukakan pintu dan melihat gue tersenyum.

Gue mencium tangan nyokap gue. Lalu segera beranjak ke kamar. Hari itu gue lelah banget.

Nyokap mengikuti langkah gue ke kamar sambil membawakan gue segelas air.

Gue duduk di pinggir tempat tidur. Ma, Vira izin tidur siang, ya. Vira ngantuk banget, nyokap gue cuma mengangguk.

Beliau jalan ke arah pintu, lalu menutupnya perlahan.

Di balik pintu itu sudah ada seseorang menunggu gue.

 

iya.

Dia si kuntilanak abu-abu.

(Seperti diceritakan Vira kepada GenPI.co)

Lihat video seru ini:

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ardini Maharani Dwi Setyarini

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co