Menikmati Arsitektur dan Nilai Bantayo Poboide

26 Maret 2018 23:07

Limboto saat pagi, mentari bersinar cerah. Kota ini penuh kenangan dan menyajikan keramahan masyarakatnya.

Di tengah kota, bangunan kayu bergaya tua berdiri kokoh tepat di depan kantor bupati. Rumah besar ini adalah Bantayo Poboide atau rumah adat Limboto.

Di bagian depan, terdapat tulisan Payu Lipu atau dasar negeri yang diukir sebagai prasasti, warisan para leluhur kerajaan Limboto (Limutu).

Bantayo Poboide adalah rumah adat kerajaan Limboto yang berfungsi sebagai tempat musyawarah. Para baate atau pemangku adat dan tokoh agama merundingkan berbagai masalah masyarakat dan kerajaan.

Bantayo Poboide memiliki luas 515,16 meter persegi, terletak di desa Kayu Bulan Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo.

Di bagian depan terdapat delapan tiang. Sebanyak dua buah terletak di sisi  depan terluar. Tiang yang ukurannya lebih besar dari enam tiang lainnya ini disebut wolihi. Tiang-tiang ini menancap ke tanah dan menyangga langsung rangka atap.

Wolihi melambangkan kerajaan Limutu dan Gorontalo yang bertekad menjunjung persatuan dan kesatuan yang abadi. Ini sesuai dengan yan  tertuang dalam naskah perjanjian Lou duluwo mohutato Hulontalo Limutu pada tahun 1664.

Enam tiang lainnya disebut Potu, melambangkan enam ciri khas masyarakat lou duluwo limo lo pahalaa.  Ciri khas tersbut yakni Tinepo yang berarti makna sifat tenggang rasa, tombulao memiliki rasa hormat, Tombulu berarti berbakti kepada penguasa atau pemerintah, Wu’udu bearti sesuai kewajaran, Adati artinya  patuh kepada peraturan, dan Buto’o berarti taat kepada keputusan hakim.

Dua tangga menghiasi bagian depan Bantayo Poboide. Tangga di sisi kiri adalah tempat untuk memasuki ruangan. Sementara tangga sisi kanan digunakan untuk meninggalkan bangunan.

Setiap tangga terdapat delapan anak tangga yang melambangkan delapan linula yang menguatkan kerajaan Limutu, yakni  Pantungo, Panggulo, Huangobotu Oyilihi, Dulalowo, Tilote, Dumati, Lawuwonu, dan Linula Ilotidea.

Rumah adat ini berbentuk panggung yang ditopang oleh 32 tiang dasar (potu) sebagai pondasi  bangunan. Angka 32 melambangkan  penjuru mata angin, yang berarti penguasa negeri harus memperhatikan seluruh kepentingan masyarakat tanpa mengenal pilih kasih.

Semua bangunan ini berasal dari kayu terpilih dari hutan tua. Ukiran bunga Sukun (Amu) menghias dua tangga dan bagian dasar sulambe dan Palepelo (serambi).

Lampu kuno tergantung di langit-langit yang berhias bunga teratai besar, menyatu indah dalam temaram cahaya. Teratai menawan di keheningan danau Limboto yang luas, seakan berpindah dalam kebesaran budaya kerajaan Limutu.

Selain serambi, bangunan ini juga terbagi dalam Dulodehu yang meliputi ruang menerima tamu, tempat bersidang para baate dan tokoh agama serta ruang serba guna yang bisa dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan kerajaan. Sementara ruang privasi bagi raja dan keluarganya adalah kamar-kamar yang disebut Huwali.

Di teras bagian depan yang terhubung langsung dengan dua tangga adalah Palepelo, yang dulunya ditempati para pengawal kerajaan saat bertugas. Dalam persidangan yang bersifat umum, bagian teras ini bisa berfungsi sebagai tempat sidang.

Sisi bagian kanan, kiri dan belakang bangunan disebut sulambe yang merupakan area pengawasan penjaga kerajaan sepanjang siang dan malam. Keamanan yang terjamin merupakan kunci keberhasilan pembangunan kerajaan Limutu.

Memasuki bagian dalam Bantayo Poboide, terdapat ruang-ruang dibagian tengah yang saling terhubung dalam garis lurus hingga ke pintu belakang. Ruangan ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu, ruang santai keluarga raja, ruang rapat rahasia, ruang makan dan ruang serba guna. Khusus ruang untuk pertemuan tertutup dan rahasia disebut Duladehu. Sementara ruang serba guna dinamakan Tibongo.

Di bagian kanan dan kiri terdapat bilik sebanyak 10 buah. Pada masanya, ruang ini adalah Huwali lo Adati, tempat diletakkan semua hal yang menyangkut persidangan adat. Berhadapan dengan ruang ini adalah Huwalo lo Humbiyo, tempat pengantin yang akan melaksanakan pernikahan.

Bersebelahan dengan Tibongo, terdapat Huwali lo Tulai Bala, tempat pengawal keluarga kerajaan. Di sampingnya adalah Huwali lo Isi Kaini. Seluruh busana raja dan permaisuri ditempatkan di ruang ini. Busana kebesaran harus dirawat baik sebagai lambang kerajaan Limutu.

Di Huwali lo Isi Kaini juga ditempatkan upeti dan tanda kebesaran lainnya.

Di belakang Tibongo terdapat Hulipo Olongia, kamar raja dan permaisuri. Mereka tidur di kamar ini.

Berhadapan dengan kamar raja terdapat Huwali lo Banta Pulu, tempat para putera raja.

Di belakang Huwali 10 Banta Pulu terdapat Huwali lo Wadaka, tempat para gadis cantik puteri raja tidur. Dalam aturan kerajaan di Gorontalo, putra dan putri raja tidak dalam satu kamar, melainkan dipisahkan.

Ruang makan kerajaan dinamakan Huwali lo Polamelalo, raja dan permaisuri menikmati sajian makanan di ruang ini. Huwali lo Polamelalo harus aman dari berbagai kemungkinan dari perbuatan jahat yang dimasukkan lewat makanan dan minuman.

Dan di bagian belakang terdapat dua ruang untuk para pembantu pria dan wanita secara terpisah. Para abdi laki-laki menempati Huwalo lo Bubaya Lai dan yang merempuan menempati Huwali lo Bubaya Bua.

Segala keperluan kerajaan harus disediakan secara cepat dan tepat, untuk itu peran para pembantu ini dilakukan secara khusus sesuai jenis kelamin. Pendekatan ini menunjukkan kecermatan yang tinggi di masa kerajaan.

Pada masa kerajaan, kamar mandi berada di setiap kamar, Ini memudahkan dalam pemenuhan kebutuhan pribadi. Bentuknya tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini.

Saat ini, ruang di Bantayo Poboide tidak sepenuhnya difungsikan sebagai mana istana kerajaan Limutu masa lalu. Kamar-kamar dimanfaatkan untuk keperluan sidang adat dan keperluan pengelolaan kepariwisataan.

Menurut Rukmini Otaya, pengelola Bantayo Poboide, konon lokasi berdirinya bangunan ini tepat keberadaan istana raja wanita Limutu yang terkenal bijak, Putri Bungale (Mbui Bungale). Wanita perkasa yang terkenal kemolekannya ini pernah memerintah di daerah ini dengan baik, bahkan tersohor ke luar daerah.

Keharuman nama Mbui Bungale hingga kini masih tercatat, dan menjadi salah satu ratu ternama dalam sejarah Gorontalo masa silam.

Bila di Bantayo Poboide akan melaksanakan kegiatan adat, demikian juga pada masa kerajaan, maka di bagian gerbang berdiri Alikusu atau Baruadi.

Alikusu ini tersusun dari enam batang pinang yang sudah dikuliti, tiga batang di setiap sisinya. Di atasnya ada rangkaian anyaman bambu kuning (Jalamba) yang melintang, dibuat tiga susun, semakin pendek di bagian atasnya.

Jalamba yang melintang berhias lale (janur).  Demikian juga lengkungan yang menghubungkan batang pinang di kanan dan kirinya.

Polohungo atau daun mayana yang menjadi bagian dari banyak ritual kuno Gorontalo juga disertakan dalam hiasan alikusu ini. Hiasan tersebut ditempatkan pada batang pinang kanan dan kiri, yang bermakna Tonulahu lo Hilawo.

Demikian juga dua batang pisang dan buahnya yang bermakna Hungo lo Hilawo, enam batang tebu berarti Buuwata lo Hilawo. Sedangkan lale memiliki arti Tuwoto to Daadata.

Bantayo Poboide yang agung saat ini selain berfungsi untuk tempat sidang adat, juga diharapkan menjadi tempat penyimpanan benda-benda masa kerajaan. Koleksi berbagai macam senjata tajam, tombak dan peralatan menangkap ikan, bajak sawah, alat musik dan lainnya terdapat di tempat ini.

Menariknya, replika aneka ragam senjata bisa disaksikan di sini. Tombak panjang dengan bentuk tangkai dan mata tombak yang menarik bisa dilihat di sini, demikian juga senjata lainnya. Aneka ragam senjata ini menunjukkan masa lalu Gorontalo memiliki kemajuan pertahanan dan kemanan yang tinggi, terutama dalam menangkal bajak laut dari Mindanau, Filipina Selatan dan Tobelo. Gangguan bajak laut ini sering terdengar dalam cerita masa lalu.

Bantayo Poboide digunakan pertama kali pada 22 Januari 1985 untuk sidang pengukuhan gelar adat kepada Nani Wartabone, seorang patriot Gorontalo yang menjadi pahlawan nasional.

Rukmin Otaya juga menambahkan, kegiatan pengembangan kebudayaan, kerajinan tradisional dan kepariwisataan juga dilaksanakan di Bantayo Poboide ini.

Dua pasang busana kebesaran kerajaan bisa disaksikan di ruang Duledehu, busana ratu yang disebut Biliu dan pakaian raja yang biasa disebut Paluwala/Makuta, warna hijau dan merah, dari 4 warna kebesaran adat (tila bataila), merah, kuning, hijau dan ungu.

Di sisi lain di Duladehu terdapat sepasang busana wolimomo, baju adat yang dikenakan sepasang pengantin saat diakad (akaji).

 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co