Kisah Mistis KKN: Makhluk Tak Terlihat itu Mengambil Barang Kami

05 Desember 2019 20:00

GenPI.co - Pengalaman Kuliah Kerja Nyata atau KKN memang seringkali bersinggungan dengan kisah-kisah mistis. 

Seperti yang pernah aku rasakan bersama teman-teman satu jurusan saat mengikuti KKN di sebuah desa terpencil di Bogor, Jawa Barat.

KKN tersebut berlangsung selama 10 hari. 

Dalam satu jurusan yang terdiri dari 80 orang, kami dibagi menjadi 4 kelompok. 

BACA JUGA: Menggapai Puncak Mahameru, Siapa Kakek di Luar Tenda Kami?

Yang artinya, satu kelompok terdiri dari 20 orang.

Setiap kelompok ditempatkan di desa yang berbeda-beda, tetapi masih dalam satu kecamatan. 

Sebut saja desa A, B, C, dan D. 

Desa A, B, dan C jaraknya hampir berdekatan. 

Namun, desa D jaraknya cukup jauh, hampir dekat dengan kaki gunung.

Di Desa D, kami menginap di sebuah rumah kosong yang kami sewa dari Kepala Desa setempat. 

Menurut si Kepala Desa, rumah tersebut merupakan rumah warga yang bekerja merantau ke Kalimantan. 

Rumah tersebut kemudian dititipkan ke Kepala Desa.

BACA JUGA: 3 Penyanyi Banderol Manggung Selangit, Nomor 1 Bikin Melongo

Rumah tersebut cukup besar, luasnya hampir 1 hektare dan hanya 1 lantai. Cukup luas untuk kami (20 orang) plus 2 orang dosen pendamping.

Desa D sendiri merupakan desa yang paling sedikit penduduknya di antara 3 desa lainnya. 

Di desa itu juga tampaknya tidak terlalu banyak anak-anak.

Benar saja dugaanku. 

Di hari pertama, aku dan Laya, berkunjung ke rumah kepala desa untuk meminta data penduduk. 

Laya sendiri merupakan ketua kelompok, sedangkan aku hanya menemani.

BACA JUGA: Kisah Prabowo Subianto Dulu Mengenaskan, Tapi Kini Jadi Superstar

Desa tersebut rupanya hanya dihuni oleh sekitar 250 penduduk, dan hampir setengahnya penduduk usia tua.

Dalam penelitian yang dilakukan, kami hanya menyebarkan kuesioner untuk remaja berusia 14-18 tahun. 

Dan di desa tersebut, hanya terdapat sekitar 30 remaja yang berada dalam rentang usia tersebut.

Anehnya, si kepala desa tersebut tidak punya daftar nama penduduk, khususnya yang remaja. 

Kami pun akhirnya memutuskan untuk menggunakan teknik snowball, yakni meminta informasi dari responden yang kami wawancara untuk mendapatkan responden lainnya.

BACA JUGA: Dihina Rocky Gerung di ILC? Ini Respons Pak Jokowi...

Hari kedua KKN, kami mulai mencari data dan menyebarkan kuesioner kepada para remaja di Desa D. 

Untuk kategori desa dengan penduduk berjumlah sekitar 250 orang, Desa D terbilang cukup luas.

Jarak antara rumah penduduk yang satu dengan lainnya, bisa mencapai 1,5 kilometer. Belum lagi, desa tersebut lebih banyak dipenuhi hutan belantara.

Kami pun memutuskan untuk menyebarkan kuesioner hingga sore hari saja. 

Maklum, menjelang Magrib desa tersebut sudah sangat gelap, karena lampu hanya berasal dari rumah penduduk dan sebagian besar kawasan di desa tersebut adalah hutan.

BACA JUGA: Libur Natal Tahun Baru, Jembatan Terpanjang di Dunia Siap Operasi

Aku pun berpikir, matilah kalau sampai terjebak di tengah hutan malam-malam.

Dari hari ketiga, temanku, Galdy, mulai mengalami hal aneh. 

Sebelumnya, di hari kedua, Galdi mewawancara seorang remaja laki-laki. 

Setelah wawancara, Galdy pun menanyakan apakah remaja tersebut punya teman seusianya di dekat rumahnya.

Remaja berusia 15 tahun tersebut pun mengarahkan Galdy untuk menuju arah utara. 

Kata remaja tersebut, di sana ada seorang remaja berusia 17 tahun bernama Yayan. 

Galdy pun mengikuti perkataan remaja itu, dan mencarinya di hari ketiga.

Akhirnya Galdy pun berjalan menuju rumah remaja pertama yang diwawancarainya. Setelah sampai, Galdy meneruskan perjalanannya ke arah utara. Cukup jauh jaraknya.

Desa ini benar-benar sepi dari aktivitas masyarakatnya. 

BACA JUGA: 3 Sebab Timbulnya Kantong Mata, Nomor 1 Tak Pernah Terpikirkan

Letak sekolah dan pasar juga cukup jauh.

Setelah sekitar satu jam berjalan ke arah utara, Galdy belum juga menemukan sebuah rumah. 

Aneh sekali. Namun, Galdy penasaran dan harus segera mendapatkan satu responden untuk diwawancara. 

Galdy pun meneruskan perjalanan itu.

Semakin ke arah utara, pepohonan semakin banyak. 

Bahkan, pohon-pohon tersebut menutupi langit dan sinar matahari, sehingga desa tersebut tampak seperti menjelang senja.

"Baru pukul 13.00 WIB," gumam Galdy dalam hati.

Sudah hampir 2 jam berjalan kaki, Galdy tak juga menemukan rumah. 

Namun, dari kejauhan, Galdy melihat ada sebuah gerbang tinggi. 

Walaupun tak tampak bangunan rumah, Galdy menghampiri gerbang tersebut dengan harapan agar segera bertemu seorang penduduk desa.

Setibanya di gerbang tinggi tersebut, Galdy kaget bukan kepalang. 

Gerbang itu ternyata merupakan pintu masuk menuju permakaman.

Melihat permakaman yang tampak sudah tua dan tak terurus tersebut, Galdy langsung berbalik arah pulang. 

Bulu kuduknya langsung berdiri. 

Padahal masih siang, dan tidak ada apa-apa di situ selain kuburan. 

Galdy pun memutuskan untuk kembali ke penginapan.

Malamnya, Galdy pun menceritakan kejadian yang dialaminya kepada kami semua. 

Bukannya dihibur, Galdy malah ditertawai dan dikatai banci. 

Ya, pembawaan Galdy memang agak kemayu. 

Jadi, tak heran jika dia menjadi bahan bully-an bagi teman-teman.

Hari kedelapan, semuanya masih berjalan normal. 

Hingga pada malam hari kesembilan, kami pun mengalami hal yang sangat mengerikan.

Sudah dua malam kami begadang semalaman untuk meng-input data penelitian yang kami kumpulkan. 

Di malam kesembilan itu, kami semua sudah sangat kelelahan. 
Termasuk dua dosen kami yang juga tampak kurang tidur.

Pukul 11 malam, aku lihat sebagian besar temanku sudah terlelap. 
Aku pun sama capeknya. 

Namun, aku masih punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. 
Karena sudah tak kuat menahan kantuk, aku pun tertidur di ruang tamu.

Saat terbangun di atas sofa tua yang kutiduri. Kulihat jam, ternyata sudah pukul 1 siang. Padahal, aku merasa baru tidur sebentar.

Saat terbangun, aku melihat beberapa temanku tampak mondar-mandir dan panik. 

Sebagian lainnya tampak sedang membongkar tasnya dan mencari-cari sesuatu. 

Begitu juga kedua dosen pendampingku yang tampak panik dan berusaha menghubungi seseorang.

Aku pun bertanya kepada Laya, "Ada apa sih?"

"Cek barang-barang lo, apa aja yang ilang!"

Aku pun langsung teringat, aku tertidur dengan keadaan laptop yang menyala. 

Laptop tersebut aku biarkan terbuka di meja yang ada di samping sofa tempat aku tertidur. 

Tapi, kok sekarang sudah tidak ada ya?

Aku pun memeriksa tas, dompetku tidak ada. 

Tas make up tempat aku menyimpan sejumlah uang juga tampak terbuka, dan uangnya sudah tidak ada. 

Ya ampun, ponselku juga tidak ada!

Hari itu, kami menyadari bahwa kami kemalingan. 

Anehnya, tidak ada satupun yang menyadari. 

Semua barang berharga kami, laptop, ponsel, dompet semuanya hilang. 
Termasuk data-data penelitian yang sudah kami kerjakan.

Setelah menenangkan diri, kami pun langsung bergegas ke rumah Kepala Desa untuk melapor. 

Anehnya, si Kepala Desa itu tampak biasa-biasa saja. 

Dia justru menyalahkan kami karena sudah teledor dengan barang-barang kami.

Sang Kepala Desa juga tidak percaya jika di antara sekian banyak anggota kami, tidak ada yang menyadari ada maling yang masuk. 

Dia pun menolak untuk membantu menggeledah rumah masyararakat desa untuk mengetahui pelaku pencurian.

Kami semua memang kelelahan. 

BACA JUGA: Di Hotel Mewah Pantai Anyer, Sosok Misterius Membangunkan Tidurku

Tapi memang tidak masuk akal, jika tidak ada satu pun dari kami yang terbangun bila ada orang masuk dan mengambil semua barang-barang kami.

Saat menceritakan kepada beberapa teman lainnya, mereka pun meyakini bahwa kami dihipnotis, dan pencurian itu bukanlah pencurian biasa. 

Sebagian lainnya meyakini bahwa ada penduduk desa yang menggunakan ilmu hitam untuk mencuri barang-barang kami.

Ya sudahlah, kejadian itu sudah terjadi. 

Sampai sekarang, kejadian tersebut belum terungkap penyebabnya. 

Semoga menjadi pembelajaran bagi teman-teman semua yang mengikuti KKN.(*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Tommy Ardyan Reporter: Yasserina Rawie

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co