Pasar Kebon Watu Gede Bandongan, Pasar Digital di Magelang

03 April 2018 09:04

Minggu Legi, 1 April 2018, saat tepat "bermain" di pasar yang lagi ngehits di media sosial generasi jaman now Megelang.  Pasar Kebon Watu Gede namanya. Inilah model pasar digital atau  destinasidigital yang kini digalakkan oleh Kementerian Pariwisata. 

Pasar Kebon Watu Gede berada di dusun Jetak desa Sidorejo Kecamatan Bandongan Kabupaten Magelang. Sekitar 7 kilometer dari bekas Kantor Karesidenan Kedu yang sekarang menjadi Museum BPK. 

Kendati pasar ini diluncurkan sejak 11 Februari 2018 (hampir dua bulan lalu), hari Minggu kemarin  baru "hari keempat" pasar wisata kuliner tersebut buka. 

Ya, pasar ini buka hanya di Hari Minggu Legi dan Pahing. Legi dan Pahing merupakan penanggalan Jawa yang berlangsung setiap 35 hari sekali alias "selapan". 

Setelah buka pertama di Minggu Pahing (11/2), kemudian buka lagi pada Minggu Legi (25/2) lalu Minggu Pahing (18/3) dan Minggu Legi (1/4). "Hari ini jualan di hari keempat buka di sini," ujar seorang pedagang sayur-sayuran di tempat itu.

Dengan ketentuan kalender pasaran tersebut, pasar ini buka lagi pada Minggu Pahing (22/4), lalu Minggu Legi (6/5) dan seterusnya. Jadwal yang pasti ini memudahkan calon pengunjung untuk mengatur jadwal.  Apalagi, ada pasar sejenis yang juga buka menggunakan jadwal pasaran dalam kalender Jawa. Yakni Pasar Papringan, Temanggung. Pasar ini buka setiap Minggu Wage.

Pasar Kebon Watu Gede, Bandongan dibuka secara resmi oleh Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Magelang, Iwan Sutiarso, S.Sos., M.Si. mewakili Bupati Magelang. Pasar di bawah pepohonan bambu ini mengadopsi pasar wisata di daerah lain seperti Pasar Karetan Kendal, Pasar Kakilangit Mangunan Jogja maupun Pasar Papringan Temanggung.

Pasar Kebon Watu Gede digagas oleh pemuda Karang Taruna Ta’dhiin Jetak Sidorejo, Kecamatan Bandongan. Pengunjung diajak menikmati aneka makanan tradisional dalam suasana sejuk di bawah rindangnya pohon-pohon bambu dengan luas kurang lebih 5.000 m2.  

Pasar wisata kuliner tradisional ini terletak di tengah-tengah hamparan sawah pedesaan dengan pemandangan gunung Sumbing di sebelah barat dan Gunung Merapi serta Merbabu di sebelah Timurnya.

Pengunjung diajak menikmati keindahan alam karunia Ilahi tersebut sejak dari tempat parkir. Jarak tempat parkir dengan pasar ini sejauh 900 meter. Pengunjung harus berjalan kaki di jalan selebar 1,5 meter yang membelah hamparan sawah.

Gerbang dari bambu bertuliskan Pasar Kebon Watu Gede menyambut di dekat parkir sepeda motor yang terletak di penggal jalan Bandongan-Windusari. Pengunjung kemudian berjalan ke arah Barat. Di sepanjang jalan, dibuat berbagai hiasan dan aksesoris yang bisa dijadikan tempat selfie.

Misalnya, anyaman bambu yang digantung di tengah jalan dengan bambu di kiri kanan jalan. Kemudian ada juga beberapa "gazebo" kecil atau gubuk-gubuk bambu di pinggir jalan. Bisa untuk sekedar istirahat melepas lelah. Atau untuk berfoto-ria dengan background sawah maupun Gunung Sumbing.

Ada pula spot selfie berbentuk Love dari bambu yang dibangun di atas sawah yang konturnya curam. Berbagai titik menarik sepanjang jalan ini membuat perjalanan menuju pasar tidak membosankan. Apalagi berjalan bersama banyak orang. 

Menjelang lokasi pasar yang penuh pohon bambu, suara gemericik air dari kali di sekitar lokasi menyambut pengunjung. Syahdu sekali. Setelah berjalan di ruang terbuka yang panas, masuk ke kebonan atau kebun bambu, suasana sejuk segera terasa.

Apalagi aneka makanan dan jajanan ala pedesaan tersedia di depan mata. Semuanya siap diserbu hehehe

Eits, tapi tunggu dulu. Uang rupiah tidak laku di depan pedagang pasar yang mengenakan pakaian tradisional ini. Pengunjung harus membeli dengan uang khusus yang berlaku sebagai alat transaksi di sini. 

Ya, semua yang dijual di Pasar ini hanya dapat dibeli dengan koin (benggol) khusus. Nilai per benggol Rp 2.000,00. Pengunjung harus menukarkan rupiahnya dengan benggol-benggol ini di dekat pintu masuk. Para petugas berpakaian tradisional siap melayani. 

Benggol yang sudah dibeli tidak bisa ditukar uang kembali. Jika benggol tidak habis pada hari itu, bisa dibelanjakan pada bukaan pasar berikutnya. 

Dengan uang Rp 100.000 rupiah, pengunjung mendapat 50 benggol yang diletakkan dalam besek khusus. Besek (anyaman bambu) ini menjadi "bonus" yang bisa dipakai sebagai tempat menaruh barang belanjaan. 

Benggol tersebut tinggal dibelanjakan. Harga kuliner sangat terjangkau yaitu kisaran 1 s/d 5 benggol. Mau makan di tempat atau dibawa pulang. Semuanya murah. Ada buntil, nasi bakar, brongkos, sop padang, bakso bakar, pecel, lotek, gado-gado dan sebagainya.

Ada pula aneka jajanan tempo dulu semacam kue cucur, brondong jagung, getuk, lopis, dawet, kolak, lanting, rondho kemul, dan sebagainya. Aneka gorengan, dadar telur, pepes, sate hingga jamu tradisional juga tersedia. Bahkan tukang cukur pun ada. Penjual sayur segar pun ada.

Konsep ramah lingkungan diusung dalam mengembangkan pasar ini. Di antaranya pengunjung pasar wisata kuliner ini dilarang merokok, piring atau alas makan dari daun, batok kelapa atau gerabah. Di sejumlah titik juga disediakan tempat sampah dari bambu. 

Dari pengeras suara, sesekali diingatkan agar pengunjung​ mengelola sampahnya dengan benar. Lingkungan pasar pun terlihat bersih. Jalan tanah di jalur pasar juga bersih. Membuat pengunjung kerasan.

Sesuai dengan konsep pasar digital, para pengunjung di tempat ini banyak yang menenteng kamera digital. Tidak hanya memanfaatkan kamera handphone, banyak yang datang dengan kamera DSLR yang canggih. Pasar seluas setengah hektare ini pun menjadi ladang berburu obyek yang instagramable dan instagenic.

Datang ke tempat ini, perut kenyang, hati puas, jiwa gembira dan memori card pun penuh.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co