Oh...Rinai, Beserta Kepergian Tanpa Lambaian Tangan

30 April 2020 11:40

GenPI.co - Hujan belum reda juga sedari Asar tadi, sedangkan Ibu sedang sibuk menyiapkan kebutuhanku selama perjalanan menuju Jakarta. Sekotak makanan penuh berisi nasi dan ayam panggang buatan ibu, yang sudah dimasaknya dari siang tadi. juga satu kardus berisi oleh-oleh untuk saudara yang sudah menunggu di Ibu kota.

Aku belum memasukkan satu pun baju ke dalam tas, pandanganku masih tersita oleh foto di dinding kamarku, ada aku dan seorang perempuan dalam bingkai itu, Rinai namanya. Dia terlihat sangat cantik dengan setelan bajunya saat itu. Terlihat ayu, dan selalu menyenangkan untuk dipandang. 

"Ndu, cepetan, nanti ketingggalan kereta," Kata ibu menyuruhku lekas mengemasi baju-bajuku. 

"Siap bidadari," Sahutku. 

Tujuanku ke Jakarta adalah, untuk meneruskan pendidikanku setelah lulus SMA. Tidak ada tujuan lain selain Jakarta, karena ada keluarga yang pastinya akan menjamin kehidupanku selama di sana. 

Sebenarnya jika disuruh memilih kota lain, mungkin Bandung yang akan menjadi tujuanku, ya tapi Ibu memintaku untuk kuliah di Jakarta saja. Aku pasti akan mengiyakan semua kemauan Ibu. 

Sudah jam lima sore, semua persiapan, dan barang bawaan sudah siap untuk dibawa. Tapi entah kenapa foto Rinai seperti memperhatikanku, sepertinya Ia ingin berbicara. 
Ah sudah gila aku ini, kan itu hanya foto, ya, benda mati, mana mungkin bisa bicara. 

"Foto Rinai ndak kamu bawa Ndu?" tanya Ibu.

"Ah ibu, biarkan di sini saja, Ia akan baik-baik saja," Jawabku.

"Nanti kalau kamu tiba-tiba rindu gimana? Kan jauh, kasihan Rinai," Ujarnya. 

"Berarti Ibu juga harus kasihan sama Randu," Jawabku lagi.

"Memangnya kamu kenapa?"

"Kan aku rindu sama Ibu setiap hari, Kasihan dong, kan jauh," Jawabku diiringi senyum. 

"Ya nanti kamu Video call setiap hari sama Ibu," Ibu ketawa, aku juga. 

Keberangkatanku dijadwalkan jam 17.50 WIB, empat puluh menit lagi sebelum semua yang ada di sini harus sementara aku tinggalkan, Rumah, Cepu, dan Rinai. 

Senja sudah mulai memperlihatkan keindahannya, di antara rintik hujan yang belum juga selesai. 

Ada perasaan yang sedikit menggangu sebelum aku meninggalkan rumah. Tentang Rinai, Dia mungkin tidak tahu hari ini adalah hari dimana aku akan pergi, karena memang aku tak pernah memberitahunya. Maaf Nai, aku tidak pergi, aku hanya bersembunyi. 

Bapak mengantarku dengan motor Honda Supra Fit kesayangannya yang Ia beli saat aku duduk di bangku TK, bahkan yang memilih warna motor itu adalah aku. "Biar Randu tidak capek saat berangkat dan pulang sekolah." kata Bapak dulu, sebelum membeli motor tersebut.

Sedangkan Ibu menunggu di rumah, dicium, dan erat dipeluknya aku saat berpamitan dengannya. Untung saja air mataku tidak jatuh saat berada dipelukan Ibu, meskipun sebenarnya saat itu sangat mudah air mata jatuh.

Biar aku tahan, biar kesedihan tak menjadi terlalu dalam. Aku akan sangat merindukanmu, Bu. 

Honda Supra Fit Bapak membawaku menjauhi rumah perlahan, menuju Stasiun yang jaraknya tak terlalu jauh. Rintik masih saja setia, ia belum juga ingin pergi. Keberangakatanku kali ini ditemani dengan rintik hujan, dan senja. 

"Baik-baik di Jakarta, Bapak doakan yang terbaik, jangan menyusahkan Mas-masmu di sana," Kata Bapak membuka obrolan di bawah gerimis. 

"Iya pak, minta doanya yang terbaik," jawabku pada Bapak. 

"Bapak selalu doakan, le," Ujar Bapak.

"Terima kasih, Pak." Jawabku sambil senyum. 

Lalu-lalang manusia memasuki stasiun, dengan tujuannya masing-masing, meninggalkan orang yang dikasihi di kampung halaman. 

Ada aku di antara orang-orang itu, saat orang lain sibuk mencetak tiket di mesin, aku sedang mempersiapkan hari-hari ke depan penuh rindu. 

Bapak kembali lagi, setelah tadi pamit ingin membeli sebungkus rokok. Bapak memang perokok aktif, padahal Ibu sudah melarangnya untuk berhenti berkali-kali. 

Pernah suatu hari, Ibu menangis meminta Bapak agar benar-benar meninggalkan rokok, Bapak kali itu mengamini, mungkin karena tak tega melihat orang yang paling disayangi menangis di depannya. 

Tapi itu hanya bertahan beberapa bulan, Bapak kembali lagi merokok, bedanya, dulu Ia terang-terangan, sekarang Ia hanya berani merokok saat sedang tidak bersama Ibu. 

"Keretamu sudah datang Ndu." Kata Bapak memecah lamunanku pada langit yg sedang tidak baik. 

"Iya pak." Jawabku. 

"Ya sudah, kamu masuk sana." Ujar Bapak memintaku segera masuk ke dalam Stasiun. 

"Iya pak, Randu pamit, Randu tau, Bapak dan Ibu pasti selalu mendoakan Randu, Randu juga akan selalu mendoakan Bapak dan Ibu, jaga kesehatan ya, jaga Ibu juga" kataku sebelum memasuki peron stasiun. 

"Iya le, tenang wae, kamu juga jaga kesehatan di sana." Jawab Bapak sebelum mematikan rokoknya. 

"Kalau bisa berhenti merokok, ndak baik buat kesehatan." Kataku mengingatkan. 

BACA JUGA : Bukan Setangkai Bunga, Tapi Ini 5 Cara Aneh Menyatakan Cinta

"Ini sudah berhenti rokok." Kata Bapak sambil ketawa, aku juga. 

Aku peluk Bapak, namun kali ini air mataku kalah, Ia tiba-tiba mengalir, tak banyak, namun sangat dalam. Cepat-cepat kuseka, biar Bapak tidak melihatnya. Aku mulai masuk ke dalam stasiun meninggalkan Bapak yang masih saja tersenyum. Doakan Randu pak. 

Kakiku mulai memasuki rangkaian gerbong kereta, perlahan berjalan, menunggu orang-orang lain yang sibuk menata barang bawaan. Setelah beberapa menit menunggu antrean, aku duduk di kursi yang sesuai dengan nomor di tiketku. 

Jauh dari kampung halaman memang berat, apalagi dengan jarak tempuh yang jauh, dan berpotensi besar rindu akan terus menggerutuimu. 

Sebelum kereta mulai berangkat, aku ambil ponsel di saku celanaku, tak ada pesan masuk. Aku lalu membuka pesan, aku cari nama Rinai, mulai aku ketik perlahanan kata hingga menjadi kalimat untuknya. 

BACA JUGA : Aromanya Begitu Menggoda, Si Dia Pasti Jatuh Cinta

"Nai, Aku berangkat, ke Jakarta, untuk kuliah di sana. Maaf baru memberitahu, semoga kamu selalu dalam keadaan baik dan diterima di Universitas favoritmu. Maaf sekali lagi, dan perihal kita, aku mencintaimu."

Lekas ku kirim pesan itu ke Rinai, lalu aku masukkan lagi ponsel di saku celana, mungkin akan dijawab nanti setelah jam sembilan malam, Ya jam-jam sekarang ini memang Rinai sedang sibuk mengikuti bimbingan belajar untuk mempersiapkan ujian masuk universitas favoritnya. 

Pluit sudah dibunyikan, Masinis mulai menjalankan kereta ini perlahan. Hari ini, kepergianku, sepi. Tanpa Rinai, tanpa lambaian tangannya, tanpa peluknya, dan juga tanpa senyumannya. 

Maafkan aku Nai, aku benar-benar mencintaimu. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Landy Primasiwi Reporter: Andi Ristanto

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co