Kamar Saksi Bisu Perbuatan Melvin, Hatiku Hancur

16 Januari 2020 18:11

GenPI.co - Hubunganku dengan Melvin sedang tidak baik. Komunikasi kami tidak seintens biasanya. Biasanya aku bisa mengambil sisi positif dari kerikil tajam seperti ini.

Aku menilai hal seperti ini wajar. Friksi merupakan hal yang lumrah dalam sebuah hubungan. Namun, hari ini berbeda dengan biasanya.

BACA JUGA: Ssttt,  Memuaskan Hasrat Secara Swalayan Banyak Manfaatnya Loh!

Hari ini benar-benar terasa aneh. Tidak biasanya dia benar- benar sulit untuk memberi aku kabar melalui WhatsApp.

Rasa penasaran menyerangku. Keingintahuanku sangat besar. Aku pun berulang kali melihat chatroom kami.

Dia online. Namun, dia tidak membalas pesanku. Aku masih bisa mengambil sisi positif.

Mungkin Melvin sedang sibuk dengan klien. Hal itu wajar karena Melvin bekerja sebagai sales produk elektronik dari Jepang.

"Huh, biasanya kalau sore gini dia bisa datang untuk menemaniku hangout di mall," aku hanya merutuk.

Saat itu aku sedang berada di salah satu mal di Jakarta Barat. Jarum jam menunjukkan pukul 17:00 WIB.

Nyaris seharian aku tidak berkomunikasi dengannya. Tentu yang aku lakukan tidak diam saja. Beberapa kali aku berusaha mengirimkan pesan padanya.

Isi pesanku sangat sederhana. Aku hanya mengingatkan dia tentang berbagai hal di tengah kesibukannya.

Aku percaya Melvin setia. Dia tipe pria yang baik. Melvin pun laki-laki yang sangat pekerja keras.

Kegigihannya membuatku sudah menanam mimpi di kepala. Hidupku akan baik-baik saja dengannya.

Aku terkenang ketika kali pertama diajak Melvin bertemu dengan keluarga besarnya.

Saat itu perayaan Imlek. Kami makan bersama. Jantungku berdetak sangat kencang. Tidak teratur.

Namun, aku merasa sangat bahagia. Sebab, keluarganya bisa menerima keberadaanku dengan sangat hangat.

"Kok kamu lakuin semua ini, sih?" tanyaku sambil menyantap agar lumut buatan maminya.

"Percaya, deh. Orang pertama yang aku bawa ke rumah bahkan dalam acara besar, itu artinya aku benar-benar serius sama kamu," jawab Melvin.

Dia tersenyum manis. Aduhai. Manis sekali senyumnya. Irama jantungku makin tak beraturan. Duhai engkau jiwa ragaku. Tetaplah bersamaku.

Menualah denganku. Kita berbagi kisah dan kasih bersama. Kita merajut mimpi yang indah berdua. Anganku makin tak terkendali.

Sebuah pesan masuk ke HP-ku. Kubuka lalu kubaca pesan itu. Dari mamanya. Aku bingung. Kenapa mamanya mengirim pesan kepadaku?

"Cia, hari ini ketemu Melvin nggak? Kok sampai jam segini belum pulang juga,"

"Hari ini nggak ketemu, Ie (tante dalam bahasa Mandarin). Aku juga nggak terlalu banyak chat sama dia hari ini,"

"Loh, kok gitu? Kenapa kalian? Lagi berantem emangnya, Ci? Ya, udah tolong dihubungi Melvin-nya, ya. Tadi soalnya dia chat mamih cuma nanya masak di rumah apa enggak,"

"Nggak kok, Ie. Enggak lagi berantem. mungkin Melvin memang lagi sibuk aja. Aku coba bantu hubungin, ya, Ie,"

Komunikasiku dengan mamanya berakhir. Tiba-tiba aku merasakan keanehan. Tidak biasanya Melvin bertingkah seperti ini.

Rasa penasaranku menggunung. Aku seperti digulung. Kuhubungi Melvin berkali-kali. Gagal. Kucoba lagi. Gagal lagi.

Aku menyerah. Kubiarkan saja, meski rasa penasaran masih mengendap dengan hebat di dadaku.

Satu jam kemudian Melvin membalas pesanku. Pesannya sangat mesra. Seperti biasanya.

"Kenapa, sayang? Maaf baru balas, ya. Aku udah di rumah. Handphone aku tinggal. Ini lagi main sama Mochi (nama sugar glider peliharaanya),"

Aku cukup lega. Namun, sepertinya masih ada yang mengganjal di dadaku. Aku segera meng-capture pesan darinya. Entah dari mana ide itu muncul.

Aku segera menghubungi mamanya. Kukabarkan kepadanya bahwa Melvin sudah di rumah. Akan tetapi, balasan dari mamanya mengejutkanku.

"Cia, Melvin belum di rumah. Dari tadi mami di rumah sendirian,”

Tiba-tiba darahku mendidih. Emosiku meluap. Aku menelepon Melvin. Tidak diangkat.

Kucoba lagi. Tidak diangkat lagi. Aku tidak menyerah. Kuhubungi kembali. Gagal lagi. Setengah jam kemudian dia mengangkat panggilan dariku.

"Apa, sih? Bawel banget," kata Melvin. Nadanya kesal.

"Kamu di mana, sih? Kenapa dari tadi kamu nggak angkat telepon aku? Katanya udah di rumah tapi kok mami kamu bilang kamu nggak ada di rumah,” aku tidak kalah galak.

"Aku di rumah. Nih lihat, nih, nih. Kenapa, sih, rese banget," dia menjawab dengan ketus.

"Cai, ini Melvin baru pulang, nih. Dia baru aja sampa rumah," teriak mamanya.

Setelah itu Melvin mematikan teleponnya. Rasa kesalku memuncak. Saat itu aku masih berada di mal. Aku memutuskan pulang.

Sesampainya di rumah, aku berusaha kembali menelepon Melvin. Aku ingin meminta maaf.

"Halo, sayang," ucapku lembut.

"Ya? kenapa?" Melvin menjawab dengan ketus. Nadanya terdengar tidak enak.

"Maaf, ya, aku tadi ngoceh- ngoceh,".

"Iya enggak apa-apa, kok. Aku juga minta maaf baru ngabarin seharian. Aku lagi pusing banget," suaranya melunak.

"Pusing kenapa? Kamu tadi habis dari mana kok seharian nggak ada kabar terus sampai rumah juga nggak sore kayak biasanya?".

"Ketemuan sama Ko Hendri,"

Jawaban Melvin yang terdengar seadanya membuat rasa penasaranku kembali muncul. Tidak biasanya dia bertemu dengan temannya tanpa memberi kabar kepadaku.

Aku langsung mencecarnya dengan serentetan pertanyaan. Tak kuhiraukan lagi ucapan maafku tadi. Aku harus mengetahui semuanya.

"Kamu kenapa, sih? Lagi rewel banget?" Tanya Melvin .

"Iya, aku pengin tahu aja. Biasanya juga gitu. Kok kamu risih? Nggak tahu rasanya dari tadi sore aku nggak enak hati? Nggak biasanya mami cariin kamu sampai harus hubungin aku."

"Kamu benar-benar pengin tahu aku ke mana?"

"Iya. Aku mau tahu kamu ke mana. Kok kamu aneh, ya,”.

"Aku habis dari Mangga Besar" jawabnya dengan mantap.

"Oh, ngapain di sana? Ketemu temenmu di sana?" tanyaku dengan polos.

BACA JUGA: Timteng Makin Begolak, Kini Turki Mulai Panas dengan Mesir

"Bukan. Aku abis pijat," jawabnya dengan nada datar.

"Oh, gitu. Nama tempatnya apa? Kenapa harus jauh- jauh ke sana?" tanyaku lagi

"Ya adalah nama tempatnya pokoknya," tutur Melvin.

Kami berdebat panjang. Dia terus melontarkan pernyataan yang tak kuketahui. Aku memang polos. Aku pun terus bertanya. Melvin akhirnya menceritakan semuanya dengan detail.

"Aku ke sana pijet plus-plus. Aku pusing banget. Aku nggak tahu kenapa merasa hidupku tertekan. Kerjaan, keluarga, kamu juga. Mau pecah rasanya kepalaku," keluhnya.

Aku terkejut. Tak kusangka dia seperti itu. Aku tadi cemas memikirkannya. Aku kelimpungan mencarinya. Dia ternyata sedang enak-enakan di kamar dengan terapis.

Hatiku hancur. Berkeping-keping. Tidak berbentuk. Cobaan apa lagi ini? Aku terdiam. Membisu. Laki-laki yang biasanya sangat baik ternyata berbuat seperti itu.

"Hei, makasih buat semuanya, ya. Aku nggak mau dengar apa pun lagi. Lebih baik kita urus hidup kita masing-masing mulai sekarang. Bye,” aku langsung megakhiri percakapan kami. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ragil Ugeng Reporter: Asahi Asry Larasati

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co