Kulawan Ketakutan, Aku Yakin Bisa Meraih Impianku

02 April 2020 20:31

GenPI.co - Meninggalkan kota kelahiran dan mencari peruntungan baru di ibu kota awalnya membuat aku sangat ragu karena takut.

Namun, bagaimanapun caranya aku harus mencoba melawan rasa tersebut dan memiliki kehidupan yang baru.

BACA JUGA: Giant Gelar Promo Besar-Besaran, Diskon Sampai 35 Persen

Banyak orang mengatakan ibu kota kejam. Sepertinya ungkapan tersebut salah.

Sebab, yang membuat kota tersebut menjadi seperti yang dikatakan adalah orang yang tinggal di situ, bukanlah kotanya.

"Pemberhentian terakhir adalah Stasiun Gambir. Perhatikan barang bawaan Anda dan hati-hati melangkah, terima kasih," bunyi pengumuman di gerbong kereta stasiun tujuanku. 

"Ah, selamat datang di tempat tujuanmu, Luna" aku mengucap dalam hati sambil menghela napas panjang saat melangkah turun dari gerbong kereta yang kunaiki.

"Woi, lelet amat lo jalan. Di belakang antre panjang. Emang ini jalan punya bapak lo?" ucap nada tinggi seorang bapak sambil mendorongku.

"I.. iya, Pak. Maaf, Pak" ucapku untuk meredam emosi bapak tersebut.

Jakarta bukanlah kota yang keras. Orang-orangnya yang membuat tempat ini memiliki image tersebut. Nggak apa-apa, Luna. Mungkin ini awal yang baik.

BACA JUGA: Promo Superindo Terbaru, Minyak Goreng Murah Buruan Serbu! 

Semua orang yang kamu temui di sini akan membuat mentalmu lebih kuat dan nggak akan pernah mudah meneteskan air mata lagi.

Aku memutuskan untuk pindah ke ibu kota tentu dengan harapan memiliki hidup lebih baik.

Semua itu kulakukan demi mewujudkan mimpiku menjadi seorang penulis.

Aku hanya bermimpi suatu saat aku dapat dibutuhkan orang banyak lewat karyaku.

"Luna, lu bisa nulis nggak sih kayak gini aja masih sering ngulang,"

"Lun, gimana tulisan yang kemarin gua minta. Udah selesai belum? lelet banget sih lu,”

"Luna, lu nggak bisa kerja, ya? Salahnya diulang melulu. Nggak usah lagi aja lu kerja di sini. Cuma bikin susah,”

"Tulisan Luna? Duh, kalau dia yang nulis gue nggak mau edit, deh.  Capek,"

Begitulah ucapan yang sering sekali menancap dalam hatiku. Rasanya sakit. Namun, tidak sedikit pun air mata menetes untuk perkataan menyakitkan mereka.

Aku berpikir bila aku menangis di hadapan mereka, aku akan makin diinjak-injak.

BACA JUGA: Mbah Mijan Beber 3 Jurus Ampuh agar Selamat dari Virus Corona

Tidak heran banyak orang yang bekerja di bidang media cepat berpindah-pindah karena tidak cocok dengan budayanya.

Sekalipun mereka bertahan, nyatanya sifat mereka tidak jauh beda kerasnya untuk memberi goresan sakit hati lewat perkataan.

Bekerja menjadi seorang penulis skenario rupanya tidak seindah mimpiku. Bahkan sangat jauh dari apa yang menjadi harapan.

Mungkin itu sebabnya mama selalu memintaku untuk menjadi PNS daripada bekerja seperti ini tidak mengenal waktu tidur apa lagi libur.

"Halo. Iya kenapa, Ma? aku baru selesai mandi sebentar lagi mau berangkat ke kantor," ucapku di telepon

"Ini lagi musim hujan, sayang. Walau di Jakarta pasti udara akan terasa dingin, jangan lupa makan dan pake jaket, ya,"

"Iya, Ma. Udah, kok," jawabku

"Kamu, kan, baru tidur subuh. Udah bangun pagi lagi untuk berangkat. Nggak capek, nak?" Tanya mamaku. Dia khawatir

"Nggak, Ma. Luna baik- baik aja," jawabku berusaha menenangkan

"Kalau di sana kamu merasa terlalu dingin, pulanglah dulu. Izin sama kantor. Setidaknya di sini selalu ada sup hangat yang bisa kamu makan,"

"Iya, Ma. Aku berangkat dulu, ya. Nanti telepon lagi," ucapku untuk mengakhiri telepon.

Mendengar perkataan mama, rasanya dadaku merasa sesak. Aku tidak pernah bercerita apa pun yang aku rasakan di sini.

Mengapa bisa saja mama mengatakan hal tersebut? Seperti rasanya mama bisa merasakan dinginnya di sini.

"Mbak udah mau berangkat lagi?" ucap salah seorang tetangga kosku.

"Iya, Bu"

"Mbak kerjanya penulis, kan? Jauh-jauh dari luar kota. Itu kan nggak ada uangnya. Saya lihat juga kerjanya nggak kenal waktu. Resign aja daripada nggak punya waktu untuk yang lain,"

BACA JUGA: Diskon Gede! Harga Android Ada yang Dipangkas Rp 7 Juta

"He he ini cita-cita saya, Bu. Permisi, Bu. Saya berangkat dulu,” kataku sambil meninggalkannya.

Banyak sekali rasanya hal yang memintaku untuk berhenti dari pilihan ini. Memang apa salahnya dengan orang daerah?

Ini bukan berarti aku tidak bisa apa-apa. Memang apa salahnya menjadi seorang penulis?

Semua rasa takut tersebut aku percaya dapat kulewati. Aku percaya aku dapat menjadi seseorang yang sangat dibutuhkan orang banyak. 

"Hai, Luna," Dika menepuk pundakku

"Hai, Dika," ucapku tersadar dari lamunan

"Malah melamun. Awas diculik," Dika menggodaku.

"Rese. Makasih, ya, udah mau jemput," aku melempar senyum pada Dika

"Kaku banget. Apa, sih, yang nggak untuk calon penulis ternama," ucap Dika.

Ya, aku percaya melawan rasa takut itu nggak mudah. Setidaknya aku berani untuk mencoba mencapai mimpiku dengan keluar dari zona nyaman. Entah apa pun yang terjadi nantinya. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Ragil Ugeng Reporter: Asahi Asry Larasati
Takut   Impian   Cita-Cita   Dear Diary   Jakarta  

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co