GenPI.co - Aku dan Hayati sudah berpacaran sejak kelas 2 Sekolah Menengah Atas. Setelah lulus, aku diterima bekerja di sebuah perusahaan ikan di Jepang.
Aku pun terpaksa harus meninggalkan kota Jakarta dan tentunya orang yang aku cinta, Hayati.
BACA JUGA: Ternyata Kamu Lebih Memilih Tante Ganjen, Brian
Dahulu, sebelum keberangkatanku menuju Negari Sakura, aku dan Hayati berjanji, akan tetap setia meski jarak memisahkan kami.
"Jarak tak pernah ada, bila kita selalu merasa dekat, " ujar Hayati sembari menatap mataku.
Hari demi hari pun aku lewati. Jauh dari Hayati ternyata sungguh menyiksaku.
Rindu seenaknya saja menjajahku tiap hari. Namun, suara Hayati melalui telepon tiap malam, membuatku terus semangat menjalani hari berikutnya.
Benar kata Hayati, jarak tak pernah ada bila kami selalu merasa dekat. Kini, aku tak pernah merasa sendiri lagi, karena ada Hayati yang selalu menemani di Hati.
Tahun pertama pun berhasil aku lewati dengan cukup mudah. Kini tinggal menunggu satu tahun lagi.
Sama seperti di tahun pertama, di tahun kedua rindu juga masih sering menjadi hal yang menyebalkan. Namun, suara Hayati dari jauh mampu membuatku merasa tenang.
Akhirnya masa kerjaku di Jepang habis juga. Aku pun memutuskan untuk langsung pulang ke Jakarta.
BACA JUGA: Ternyata Kamu Lebih Cinta Sama Ikan Cupangmu....
Mendengar kabar ini, Hayati pun terdengar sangat senang. Rindu yang tertahan selama dua tahun, sebentar lagi akan terbayarkan.
Hayati akan menjemputku di Bandara. Padahal, aku sudah melarangnya, karena jarak rumahnya ke bandara sangat jauh.
Namun, ia tetap memaksa. Aku pun tak bisa melarang keputusan Hayati.
Pesawat pun mendarat dengan selamat, aku melangkah keluar dengan penuh kebahagiaan. Perlahan, mataku mencari keberadaan Hayati di antara banyaknya orang.
"Masss Joniiiiiiiiii, " teriak suara perempuan yang tak asing bagiku.
Ya, itu adalah suara Hayati. Ia terlihat berlari, dan setelah sampai di depanku, ia langsung memeluk erat tubuhku.
"Aku kangennnn bangettt, " ujarnya.
Mendengar suara dan melihat wajah Hayati, membuatku sangat bahagia. Ia benar-benar bisa membuatku jatuh cinta berkali-kali.
Ternyata, Hayati tak sendiri, ia bersama seorang pria. Ia menjelaskan bahwa ia meminta bantuan tetangganya untuk membawa mobil dan menjemputku.
"Selamat datang, saya Roy tetangga Hayati " ujar lelaki tersebut.
Setelah berkenalan kami memutuskan untuk langsung pulang. Setelah sampai di rumah, Hayati dan Roy pun langsung pamit pulang.
"Nanti malam aku ke rumahmu," ujarku pada Hayati.
Hayati mengangguk, dan perlahan pergi menjauh dari rumahku. Perjalanan jauh membuat tubuhku terasa sangat lelah.
Aku pun mengistirahatkan diri untuk memulihkan kembali tenagaku. Malam harinya, aku bersiap untuk pergi ke rumah Hayati.
Berbagai macam buah tangan dari Jepang, sudah aku siapkan untuk Hayati dan kedua orang tuanya.
Sesampainya di rumahnya, Hayati menyambutku dengan hangat, orang tuanya pun begitu.
Namun, saat memasuki ruang tamu, ada Roy yang sudah duduk terlebih dahulu. Aku pun menjabat tangannya.
Setelah cukup lama berbincang, Hayati dipanggil orang tuanya masuk ke dalam kamar. Saat ia keluar, ada yang berbeda di raut wajah Hayati.
"Mas, aku mau ngomong, tapi mas jangan marah," kata Hayati.
Aku pun berjanji tak akan marah padanya. Selama berpacaran, aku juga tak pernah memarahi Hayati.
"Maafkan aku mas. Aku telah membohongimu. Mas Roy bukan tetanggaku, ia adalah tunanganku," jelasnya.
Mendengar hal itu, aku pun tertawa. Hayati memang sangat pandai membuat lelucon, mungkin ini salah satu leluconnya.
Namun, ternyata aku salah. Apa yang dikatakan Hayati adalah sebuah kebenaran pahit yang harus aku terima.
Hayati perlahan menunjukkan cincin tunangannya kepadaku. Cincin tersebut sama persis seperti yang dipakai Roy.
Tawa yang sebelumnya tercipta, kini berubah menjadi gerimis di mataku. Perlahan, air mata turun, mengalir melewati pipi.
"Mas Roy melamarku sebulan sebelum kedatanganmu. Maafkan aku tak bisa menunggumu, ini sudah menjadi keputusanku dan orang tuaku," jelasnya.
Meski sudah jelas Hayati telah mengkhianati cintaku, aku tak sedikit pun marah dengannya. Bahkan, aku justru menyalahkan diriku sendiri.
Andai saja aku datang lebih awal, andai saja aku melamarnya lebih dahulu, hal ini tak akan terjadi.
"Kalau ini sudah menjadi keputusanmu, aku tak bisa menolaknya. Meski berat, kebahagiaanmu, juga akan menjadi kebahagiaanku, meski sakit, aku akan menerima keputusanmu," kataku pada Hayati.
Hayati pun memintaku untuk menghadiri pernikahannya Minggu depan. Dengan penuh kesedihan, aku pun mengiyakan permintaan itu.
Entah apa yang harus aku lakukan. Namun, yang aku tahu, aku sangat mencintai Hayati, aku sangat menginginkan Hayati.
Hingga akhirnya, aku memutuskan, aku tidak akan pernah mencintai wanita lain selain Hayati. Aku juga tidak akan menikah dengan perempuan, selain Hayati.
Dengan penuh cinta dan harapan, aku akan menunggu Hayati menjadi Janda. Entah sampai kapan, aku akan menanti saat itu hingga menua, dengan penuh rasa cinta di dada. (*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News