Raih Predikat HKSR, Keluarga Sederhana ini Terapkan Kesehatan Reproduksi dalam Keluarga

05 Maret 2019 08:46

Senin malam (4/3). Jam menunjukkan pukul 19.00 Wib.  Hujan masih turun di Jorong Tanjung Modang, Kenagarian Tanjung Bonai, Kecamatan Lintau Buo Utara, Kabupaten Tanah Datar. Meski tidak lebat, namum berhasil membuat sejuk udara di kawasan itu. Suasana pun sepi karena di Jorong masih belum banyak rumah yang berdiri. Tempat itu didominasi hamparan kebun pertanian warga di kiri kana jalan.

Keluarga Wilda Feron dan Dasril tinggal di sebuah rumah sederhana di Jorong itu. Rumahnya masih setengah jadi dengan plester dinding masih separoh. Tak ada plafon, sebagaimana rumah kebanyakan. Untuk menghindari dingin masuk melalui celah antara atap dan plafon, digunakanlah plastik terpal. Lantai rumah pun masih kasar, ditutup dengan tikar plastik

Meski begitu, suasana rumah begitu nyaman. Pemilik rumah nampaknya tahu bagaimana menyiasati agar rumah selalu ‘enak’ untuk ditinggali. Perabotan diletakan dengan rapi. Satu-satunya hiburan adalah sebuah televisi. Itupun hanya hidup hingga pukul 21.00 WIB.

Baik Wilda Feron maupun sang suami sehari-hari bekerja sebagai petani. Memiliki tiga anak, mereka membangun rumah secara berangsur-angsur. Suami istri yang sama-sama hanya tamat SMP itu hanya mampu mencari hidup sebagai petani.

Pendidikan boleh rendah. Namun pengetahuan mereka akan kesehatan cukup mumpuni. Selain itu, untuk menjaga moral buah hati mereka, sikap gotong royong dan pendidikan aga selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi pasangan ini, semua permasalahan harus dibicarakan, termasuk soal reproduksi. Sejak awal menikah, pasangan ini sudah sepakat untuk saling mengerti, saling memahami, dan saling membantu dalam hal  apapun. Hal itu terus berlanjut hingga mendidik anak-anak mereka, dan semua itu terus diturunkan kepada ketiga anaknya.

Awal menikah, keduanya sepakat untuk memberi jarak anak.  Tiap kelahiran, tiga hingga empat tahun. Dasril sebagai kepala keluarga, selalu mengedapankan saling pengertian di antara seisi keluarga.

“Kami sebelumnya tidak begitu saling kenal, kami sama-sama di tempat yang berbeda. Awalnya saya bekerja sebagai tukang di daerah Pekanbaru, dan kemudian merantau ke Batam. Selama ini kami tidak saling mengenal satu sama lain, padahal rumah kami berdekatan. Istri saya sejak kecil  di Jambi,” ujar Dasril saat disambangi di rumahnya.

Dasril menuturkan, jika dirinya diperkenalkan dengan sang istri oleh bibi istrinya saat dirinya berada di Batam. Perkenalan itu berlangsung hingga ke pelaminan 17 tahun silam.

“Sejak awal itulah, kami sudah sepakat untuk saling memahami dan membicarakan apapun permasalahan. Termasuk dalam reproduksi, kami dari awal sudah merencanakan untuk memberi jarak pada anak. Karena dengan adanya jarak anak, tentu tidak akan memberatkan dalam memberikan pendidikan dimasa mendatang,” sebut Dasril.

Setelah anak pertama lahir, Dasril sepakat jika sang istri memasang KB. Mula-mula, sang istri meminum pil KB, kemudian dengan suntikan. Namun, kondisi tubuh sang istri tidak menerima jika memakai KB. Akhirnya, Dasril memilih untuk memasang alat kontrasepsi jika berhubungan dengan sang istri.

“Karena saya melihat kondisi istri yang tidak memungkinkan memakai KB, makanya saya mengambil inisiatif untuk menggunakan alat KB,” sebut Dasril.

Sementara itu, Wilda Feron atau yang lebih akrab disapa dengan panggilan Wil itu juga berusaha menerima kondisi sang suami dalam keadaan apapun. Beruntungnya, sang suami tidak banyak melakukan kegiatan diluar selain mencari nafkah dan ke masjid atau surau. Sang suami juga sejak bujang tidak merokok.

Pengetahuan akan kesehatan reproduksi Didapatkan Wil dapatkan dari siaran televisi. Bila dirinya mendapatkan informasi, lalu akan disampaikannya kepada sang suami.

Wil mengaku jika mereka tidak pernah belajar khusus tentang kesehatan reproduksi, mereka hanya memulai hidup sehat dari pribadi masing-masing yang kemudian diterapkan dalam bahtera rumah tangga mereka. Pendidikan yang tergolong rendah serta kesibukan mencari nafkah dan mengurus keluarga tidak menyisakan waktu mereka untuk mencari tahu tentang hal itu. Semua hanya dimulai dari niat masing-masing untuk memberlakukan hidup sehat.

“Bagi kami sesuatu yang tabu itu untuk dibicarakan bersama pasangan tidak masalah. Makanya kami memulai komitmen sejak awal dengan tujuan agar jarak anak nantinya dapat membantu pendidikan anak. Selain berefek terhadap perekonomian keluarga, pendidikan terhadap anak juga tidak terganggu,” terang Wil.

Secara berangsur-angsur, kebiasaan yang mereka terapkan dalam menjaga kesehatan akhirnya terasa efeknya. Dengan jarak anak pertama dan kedua sekitar lima tahun dapat lebih memudahkan mereka dalam menyekolahkan anak-anaknya.

Kepada anak-anak mereka juga membiasakan agar untuk selalu menerapkan sistem keterbukaan. Selain mengontrol tingkah laku anak, mereka juga terus melakukan pengawasan. Sejak usia anak memasuki remaja, mereka mengajarkan kepada anak nya untuk membicarakan segala sesuatunya bersama keluarga, termasuk curhat sekalipun.

“Kita tentu saja tahu masa anak puber, saat itulah mereka digandeng dan diberikan pemahaman agar tidak boleh melakukan hal-hal diluar ketentuan agama. Artinya, intinya tetap yang paling utama adalah penerapan ilmu agama untuk membentengi diri mereka, kemudian juga diberikan pemahaman akibat salah bergaul dan berhubungan dengan lawan jenis,” ujar Wil.

Kebiasaan untuk menerapkan keterbukaan itu, akhirnya juga melekat kepada diri anak-anaknya. Bahkan, putra pertama yang sudah duduk di bangku SMK sering kali curhat kepada sang ibu tentang segala macamnya. Dengan begitu sebut Wil, anak juga merasa diperhatikan, dan merasa dihargai keberadaannya.

“Kami tidak mengekang segala kegiatan anak, hanya saja mengontrol mereka. Bagi kami jika mereka berkegiatan di dalam rumah akan lebih baik daripada hura-hura di luar rumah,” jelasnya.

Kepada anak-anak, pasangan ini terus mengingatkan agar tidak salah bergaul, baik sesama teman maupun dengan lawan jenis.

Apa yang dilakukan oleh keluarga ini akhirnya menjadi dicontoh  oleh warga lainnya. Bahkan, keluarga ini meraih predikat terbaik Pemilihan Keluarga Peduli Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) dan gizi tingkat Provinsi Sumatera Barat pada 27 September 2018 lalu yang digelar oleh Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LP2M).

Kebiasaan menjaga kesehatan yang mereka terapkan itu mampu lolos menembus semua kriteria yang dilombakan. Keluarga mereka menjadi perwakilan kabupaten menuju provinsi dan keluar sebagai terbaik.

Kini, Wil mulai berkegiatan di tengah masyarakat. Selain menjadi pengasuh anak PAUD, ia  juga menjadi kader posyandu di kawasan tempat tinggalnya. Melalui kegiatan itu, Wil banyak mengajarkan hal-hal kesehatan reproduksi kepada ibu rumah tangga lainnya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

Redaktur: Paskalis Yuri Alfred

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co