Oh..., Aku adalah Toxic Dalam Hidup Irfan

10 Desember 2020 09:05

GenPI.co - Aku memiliki seorang teman yang sangat menyenangkan namanya, Irfan. 

Kami berkenalan saat pertama kali duduk di bangku kuliah. Tidak banyak berbincang dengannya, tapi aku yakin kami memiliki misi dan visi yang sama. Kami sama-sama mahasiswa ambisius untuk mendapatkan indeks prestasi kumulatif (IPK) yang memuaskan.

BACA JUGASuami Tega Telantarkan Anak Istri, Alhamdulillah Berakhir Bahagia

Karena hanya memikirkan belajar, dan nilai, kami tidak mempunyai teman lain. 

Selama kuliah, aku tidak banyak berkomunikasi juga dengan banyak orang. Hanyalah Irfan, teman sekaligus musuh untuk bersaing mendapatkan peringkat terbaik.

Aku dan Irfan menjadi mahasiswa kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. 

Waktu istirahat yang bisa digunakan berbincang dengan teman sekelas di kantin, kami gunaan untuk membaca buku di perpustakaan bersama. 

Tidak jarang aku melakukan diskusi dengan Irfan, mencari tahu ilmu yang ia punya. Pasalnya, memang aku sudah menyadari dari awal bahwa Irfan akan lebih unggul dari padaku, namun aku tetap ingin berusaha.

Enam semester berakhir dengan nilai yang memuaskan, Irfan mendapat julukan si pintar dari anak-anak kelas. Karena ita tak pelit ilmu.

Aku sering kali menjelaskan kepadanya, bahwa yang ia lakukan hanya membuat dirinya dimanfaatkan oleh orang lain. 

Sayangnya, Irfan tidak sama sekali mendengarkan ucapanku.

'Gue nggak apa-apa kok dimanfaatin secara ilmu, ini nggak akan buat gue rugi yang ada akan punya teman,' kata Irfan padaku. 

Mendengarkan ucapan Irfan begitu, adalah hal paling bodoh yang pernah masuk ke telingaku selama berteman dengannya. 

BACA JUGAPedih! Pernikahanku yang Hanya Seumur Jagung

Apa yang ia pikirkan saat ini sehingga memutuskan ingin berteman? Apa berteman dan bersaing secara sehat denganku saja tidak cukup?.

Aku dan Irfan selalu duduk di bangku terdepan, hal tersebut tentu dapat membantu kami lebih fokus untuk memahami pelajaran yang diberikan dosen. 

Sekarang, setiap jam istirahat Irfan tidak lagi menghabiskan waktu berdua denganku di perpustakaan. 

Ia memilih untuk membawa bukunya dan menjelaskan materi yang sudah di sampaikan dosen tadi di kelas agar lebih di pahami mahasiswa lainnya.

Aku sama sekali tidak mengerti apa yang Irfan lakukan, bukanya hal tersebut hanya membuat dirinya terhambat alias buang waktu untuk belajar hal lain dan mengerakan tugas? Mengapa dia mengorbankan dirinya untuk berteman?

Irfan tidak lagi menjadi teman yang menyenangkan. Aku memutuskan diri untuk menjadi agar tidak terbawa pengaruh buruk.

Setelah dua minggu lamanya aku berusaha diam tidak mengajak Irfan berbicara, mungkin ia baru menyadari bahwa aku menjauhi dirinya. 

Sampai suatu hari ia mendekat dan bertanya kepadaku apa yang terjadi. Aku mengungkapkan semua apa yang aku rasakan tenang dirinya yang sudah berubah. 

Semuanya meluap bersama dengan emosiku tanpa adanya filter, aku tidak tahu apakah hal tersebut menyakiti Irfan atau tidak.

"Gue nggak pernah merasa temenan sama lu menyenangkan, obrolan kita hanya sebatas tugas dan pencapaian nilai yang tinggi, ujar Irfan.

Ucapannya begitu mengejutkan, apalagi saat ia megatakan merasa keberadaanku menghalanginya berkembang

“Elu pikir toxic relationship hanya dari sepasang kekasih? Berteman sama lu itu juga toxic, menghalangi temannya untuk maju,” jelas Irfan kepadaku.

Perkataan Irfan membuat aku sakit hati, namun tidak semuanya salah. Apakah benar kata Irfan bahwa sebenarnya aku yang salah? 

Aku hanya tidak ingin kehilangan temanku satu-satunya. Mungkin ia bisa berbicara dengan yang lain walau terkesan dimanfaatkan, tetapi memang itu yang aku inginkan. Aku tidak ingin ia berkembang lebih baik dariku, termasuk pertemanan. (*)

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

eman   pacar   kekasih   kampus   dear diary  

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co