GenPI.co - Jepang pada hari Selasa (21/12) dilaporkan mengeksekusi tiga tahanan dengan hukuman mati. Ini adalah eksekusi mati pertama sejak Desember 2019.
Media lokal melaporkan kabar itu dengan mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya termasuk dari kementerian kehakiman.
Eksekusi tersebut adalah juga yang pertama di bawah Perdana Menteri Fumio Kishida, yang menjabat pada Oktober dan memenangkan pemilihan umum pada bulan yang sama.
Jepang, di mana lebih dari 100 narapidana menunggu eksekusi, adalah salah satu dari sedikit negara maju yang masih menerapkan hukuman mati.
Dukungan publik untuk hukuman mati tetap tinggi meskipun ada kritik internasional, termasuk dari kelompok hak asasi manusia.
Negara itu mengeksekusi tiga narapidana pada 2019 dan 15 pada 2018 — termasuk 13 dari sekte Aum Shinrikyo yang melakukan serangan gas sarin fatal 1995 di kereta bawah tanah Tokyo.
Eksekusi biasanya dilaksanakan lama setelah hukuman, selalu dengan cara digantung.
Wakil kepala sekretaris kabinet Seiji Kihara menolak mengomentari eksekusi yang dilaporkan pada briefing reguler pada hari Selasa.
“Apakah akan mempertahankan sistem hukuman mati atau tidak merupakan isu penting yang menyangkut fondasi sistem peradilan pidana Jepang,” katanya.
Selama beberapa dekade, pihak berwenang telah memberi tahu terpidana mati hanya beberapa jam sebelum eksekusi dilakukan.
Proses yang menurut dua narapidana adalah ilegal dan menyebabkan tekanan psikologis.
Narapidana itu ini menuntut pemerintah atas sistem tersebut, dan juga mencari kompensasi sebesar 22 juta yen ($194.000) untuk penderitaan yang disebabkan oleh hidup dengan ketidakpastian tentang tanggal eksekusi mereka.
Dokumen dan arsip berita menunjukkan bahwa Jepang biasa memberi lebih banyak pemberitahuan kepada terpidana mati, tetapi berhenti sekitar tahun 1975.
Pada Desember 2020, pengadilan tinggi Jepang membatalkan putusan yang memblokir persidangan ulang seorang pria yang digambarkan sebagai terpidana mati terlama di dunia.
Iwao Hakamada, 85 tahun, telah hidup di bawah vonis hukuman mati selama lebih dari setengah abad setelah dihukum karena merampok dan membunuh bosnya dan selurh keluarganya.
Dia dan para pendukungnya mengatakan dia mengakui kejahatan itu hanya setelah interogasi polisi yang diduga brutal termasuk pemukulan, dan bahwa bukti dalam kasus itu penuh rekayasa.
Juga Desember lalu, seorang pria yang dijuluki "pembunuh Twitter" dijatuhi hukuman mati karena membunuh dan mencabik-cabik sembilan orang yang dia temui di platform media sosial.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News