GenPI.co - Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) Perempuan Yuniyanti Chuzaifah memaparkan sejumlah pandangan irasional yang kerap terjadi saat sejumlah pihak melihat isu kekerasan seksual.
Pertama, masih banyak pihak yang melihat isu kekerasan seksual hanya masalah nafsu, bukan sebagai problem relasi kuasa.
"Hal itu membuat adanya Perppu Kebiri menjadi suatu kegagalan, karena hukuman itu tak memperbaiki isi kepala pelaku yang bermasalah," jelas Yuniyanti dalam "Survei Opini Publik Nasional SMRC", Senin (10/1).
Kedua, masih banyak pihak yang asal mengambil kesimpulan, bahwa mendukung RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) berarti pro-zina.
"Mendukung RUU TPKS dianggap pro-zina dan menyoal batasan waktu aborsi korban kekerasan seksual dituduh liberal atau ideologi bebas," ungkapnya.
Ketiga, masih banyak pihak berasumsi tanpa data yang cukup.
Misalnya, masih banyak pihak yang berasumsi bahwa kekerasan seksual pasti terjadi pada malam hari atau kepada korban berpakaian minim.
"Kekerasan seksual tidak mengenal waktu dan korban kekerasan seksual juga menimpa korban yang sehari-hari berpakaian tertutup," jelasnya.
Keempat, masih banyak pihak yang menyalahkan korban kekerasan seksual.
"Analoginya, ketika korban lupa mengunci rumah, lalu apakah itu artinya maling boleh masuk?" paparnya.
Kelima, masih banyak pihak yang sibuk menyoroti kejahatan seksual yang dilakukan oleh kelompok LGBT.
Yuniyanti menilai bahwa poin kelima sangat menghalangi masyarakat dalam melihat isu keadilan gender secara keseluruhan.
"Kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang heteroseksual justru jauh lebih besar, banyak, dan sadis. Apakah kejahatan yang dilakukan oleh orang hetero tak dianggap juga sebagai penyimpangan?" pungkasnya.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News