GenPI.co - Pembubaran Front Pembela Islam (FPI) oleh pemerintah masih menjadi kontroversi di kalangan masyarakat dan praktisi. Segala bentuk kegiatan dan atribut FPI telah dilarang. Kini muncul istilah ormas terlarang.
Pengamat politik Ubedilah Badrun menanggapi pembubaran FPI merupakan sikap berlebihan pemerintah dalam menyikapi sebuah ormas.
BACA JUGA: FPI Bubar, Mungkinkah Anggotanya Gabung ke Partai Politik?
“Istilah FPI ormas terlarang itu istilah hanya diproduksi oleh rezim neo-otoritarianisme,” ucap Ubedilah kepada GenPI.co, Selasa (5/1).
Dosen Universitas Negeri Jakarta itu juga menyampaikan dalam pemerintahan yang demokratis, sebutan ormas terlarang tidaklah tepat.
“Namun, pemerintah terjebak dalam pola kekuasaan otoriter, karena bertubi-tubi melakukan langkah represif,” paparnya.
Ubedillah juga menilai pemerintah sulit keluar dari lingkaran otoriter tersebut.
Sementara itu, pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan Yusuf mengatakan pembubaran FPI mencerminkan pemerintah yang inkonsistensi.
“Alasan pembubaran itu karena FPI tidak punya SKT sejak Juni 2019. Padahal, sudah diajukan,” ujar Dosen Universitas Parahyangan itu kepada GenPI.co, Sabtu (2/1).
Asep mengatakan, jika ormas tersebut tidak terdaftar, maka tidak akan mendapatkan pelayanan pemerintahan.
“Cuma tidak mendapatkan pelayanan pemerintahan, seperti pembinaan dan peningkatan kualitas bagi anggotanya. Bukan pembubaran,” paparnya.
Tidak hanya itu, lanjut Asep, alasan lain yang dilontarkan pemerintah karena FPI melanggar hukum. Namun, menurutnya pemerintah juga tidak memiliki bukti yang jelas.
BACA JUGA: Siapkan Kejutan Besar, FPI Bikin Pemerintah Panas Dingin
Bahkan, pemerintah juga memaparkan bukti kasus lama yang diduga pernah dilakukan oleh jaringan FPI
“Melanggar hukum pun tidak jelas, dan menggunakan bukti-bukti lama,” imbuhnya.
Asep menyimpulkan, kekuatan hukum yang digunakan untuk membubarkan FPI dinilai tidak valid.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News