Pulau Banda: Paduan Sejarah, Keindahan Alam dan Adab yang Tinggi

26 Februari 2019 19:42

Sebagai penikmat sejarah, saya sangat senang saat diajak berangkat ke Banda untuk meliput Pesta Rakyat Banda, tanggal 11-15 November 2018 silam. Ini adalah waktu di mana warga Banda dari berbagai pulau berkumpul bersama, gotong royong menyiapkan, melaksanakan, meramaikan, dan merayakan acara adat. Istimewanya, tahun 2018 masyarakat setempat menggelar acara adat yang digelar hanya 10 tahun sekali, yaitu Cuci Parigi. Dan, waktunya bertepatan dengan saya ke Banda.  Saya sangat bersemangat!

Tim yang akan meliput Pesta Rakyat Banda ini terdiri dari mbak Evi, kang Diaz, Mas Giri, dan saya sendiri Kami  berangkat dari Jakarta.  Tiba di Makassar untuk transit, Bang Larakuti bergabung bersama kami untuk melanjutkan perjalanan ke Bandara Pattimura di kota Ambon, Maluku. Tiba di Ambon di pagi hari, kami segera diantarkan ke pelabuhan Yos Sudarso. Di situ, sebuah  kapal telah menanti untuk mengarungi perjalanan laut menuju kepulauan Banda. 

Sebenarnya, Pelabuhan Yos Sudarso letaknya  berseberangan dengan Bandara Pattimura di teluk Ambon.   Namun perjalanan ini mesti ditempuh melalui jalan darat sehingga harus memutar cukup jauh melalui Jembatan Merah Putih. Ingin rasanya berhenti sebentar di jembatan keren. Namun apa daya, lantar sedang tergesa-gesa mengejar kapal. Namun dalam hati saya berjanji, nanti sewaktu pulang harus mampir di sini. 

Satu jam setelah melalui Jembatan Merah Putih, kami telah berada dalam Kapal Motor VIP Siwalima yang berlayar keluar dari Teluk Ambon. Jam berikutnya, kami telah keluar dari Teluk Ambon dan memasuki perairan laut Banda yang luas dan dalam. Perjalanan sesungguhnya telah dimulai, 6 jam menyeberangi Laut Banda akan membawa saya ke tempat dimana para bapak bangsa dibuang oleh Belanda, sebuah pulau bernama Banda Neira.

Sepanjang perjalanan kami hanya melihat lautan biru yang membentang luas.  Tidak ada pulau, bahkan burung. Warna biru muda di langit dan biru tua laut Banda, keduanya bertemu pada satu garis tipis di kejauhan. Sementara di langit, ada selaput tipis awan yang mengambang. Seluruh pemandangan ini, begitu menyegarkan. Begitu pula dengan suasananya, merupakan jenis yang sangat dibutuhkan oleh orang yang setiap harinya melihat gedung-gedung berwarna kelabu dan langit biru kusam di ibukota. Berada di sini adalah sebuah terapi bagi jiwa.

Saya menikmati perjalanannya. Berbicara dengan teman satu tim, berkenalan dengan sesama penumpang kapal, terperangah oleh pemandangan yang terhampar di depan mata sambil sesekali memotret. Beberapa kali sempat pula terlelap. Sebagian karena kelelahan sebagian lagi karena hembusan angin laut. Tapi memang lebih baik beristirahat selagi ada waktunya sebelum nanti menjelajahi Banda.

Setelah hampir 5 jam perjalanan, saya lalu melihat beberapa burung beterbangan di sekitar kapal.  “Ah, ada daratan di sekitar sini,” pikir saya.  Lalu seketika saya ingat sesuatu. Untuk sampai ke Banda dari Ambon maka kapal pasti melalui pulau Run.  Segera saja saya naik ke geladak atas dan menatap ke arah selatan kapal, di kejauhan nampak sebuah pulau dengan bayangan pulau lain yang lebih kecil di belakangnya. Pulau yang berada di depan belakang adalah Pulau Ai sementara pulau yang berada di depannya adalah Run yang legendaris.

Sedikit kisah mengenai Pulau Run ini.  Ini adalah pulau penghasil pala yang dikuasai Inggris.   Pada tahun 1667 pulau ini menjadi bagian dari perjanjian damai antara Inggris dan Belanda yang salah satunya ditandai dengan pertukaran wilayah. Nah, di sinilah uniknya.  Belanda yang menguasai bagian selatan Manhattan, harus menyerahkannya kepada Inggris dan sebagai gantinya Inggris menyerahkan Run kepada Belanda. Kini Manhattan tumbuh menjadi pusat ekonomi dunia, tempat sebuah kota berjuluk Big Apple. Apa lagi kalau bukan New York.  Bayangkan apa yang dapat terjadi pada Run bila Inggris tetap mengelolanya.

Sembari saya mengingat kisah sejarah istimewa itu, di  kejauhan mulai nampak bayangan sebuah gunung menjulang tinggi dari dalam laut menggapai ke angkasa. Gunung Api pulau Banda sudah ada di depan mata!

Saya dan tim liputan bergerak ke bagian depan kapal yang hanya dapat dijangkau melalui ruang kemudi. Kami beruntung,  kru kemudinya berbaik hati memberi kami jalan agar bisa mendapatkan posisi memotret yang terbaik.

Kami pun segera beraksi, mengambil foto dari berbagai posisi. Tidak lupa pula selfie. Yah, kapan lagi tukang foto bisa memotret diri sendiri, mumpung ada pemandangan sekeren ini.

KM Siwalima mulai mengurangi kecepatan, bergerak pelan dari arah barat lalu memutari Pulau Gunung Api Banda di sisi utaranya agar dapat berlabuh di dermaga Pulau Banda Neira yang berada di balik gunung itu. 

Bagian utama dari kepulauan Banda terdiri dari tiga pulau, yaitu Pulau Gunung Api yang baru saja kami lalui, Pulau Banda Neira tempat kami akan berlabuh yang berada di timur pulau Gunung Api, dan Pulau Banda yang berada di sisi sebelah selatan kedua pulau yang pertama. Berbagai negeri atau kampung bertebaran di sepanjang pantai di Pulau Banda Neira dan Pulau Banda. Namun, di pulau pertama lah pusat pemerintahan berada.

Dermaga di Banda Neira

Menjelang tengah hari kami akhirnya tiba di Pulau Banda Neira. Teman-teman dari GenPI Maluku menyambut kami. Ada bang Erzal dan bang Rahmat.   Kejutannya adalah, kami akan bergabung dengan seorang anggota tim lain dari GenPI Maluku yang sedang membawa dua traveler yang juga ingin melihat prosesi Cuci Parigi. Olive, anggota tim itu, menjadi pemandu bagi Monic dari bandung dan Franz dari Makassar. Anggota tim semakin bertambah, semakin seru tentunya. 

Selama di Banda Neira kami akan menginap di kediaman Bang Rahmat.  Rumahnya berada di sisi sebelah timur pulau.  Sehingga dari pelabuhan yang berada di sisi barat, kami harus mencari tumpangan, karena di Banda Neira tidak ada angkutan umum. Untungnya warga yang membawa motor bersedia mengantarkan kami. Sebenarnya jaraknya hanya  sekitar 1 kilometer dan  bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun kala itu cuaca panas. Apalagi bawaan yang banyak, niat berjalan-jalannya kami undur pada sore hari.

Hal pertama yang saya perhatikan saat sampai di rumah Bang Rahmat adalah sebatang pohon Pala.  Ya, pohon pala di halaman rumah warga di Banda Neira. Tidak heran bila ratusan tahun lalu, Belanda ngotot mengambil alih seluruh pulau karena mereka melihat pohon yang berharga itu tumbuh di mana-mana sampai ke halaman rumah. Saya duduk di teras rumah sambil menatap pohon pala yang berada 2 meter di depan saya, pohon dari sebuah spesies tumbuhan yang mengubah sejarah dunia, selamanya.

Setelah makan siang dan beristirahat sejenak, kami mulai bergerak menjelajahi Banda Neira. Kali ini tentu saja berjalan kaki. Banda Neira bukanlah pulau yang luas, lebarnya 1300 meter dengan panjang dari utara ke selatan 3100 meter, pulau ini terbagi dua oleh Bandar udara Banda Neira. Sekitar dua per tiga bagian utara adalah hutan dengan satu kampung bernama Tanah Rata. Sementara sepertiga di selatan Bandar udara telah dipenuhi perumahan dan berbagai kampung. Jalanan disini telah di aspal dengan kondisi yang masih baik, cukup rata dan lebar. Sudah memadai bagi pulau yang hanya memiliki tiga kendaraan roda empat seperti Banda Naira.

Di pulau ini, populasi motor cukup banyak. Mungkin lebih banyak dari sepeda. Setidaknya itulah yang kami lihat selama berjalan berkeliling.  Meski banyak, namun tak sampai memadati jalan seperti di kampung-kampung di Jawa. Kami masih bisa melangkah sambil bercanda di tengah jalan dan sesekali menepi saat ada kendaraan roda dua yang lewat. Rumah-rumah disini memiliki halaman yang cukup luas. Jika tidak ada tanaman yang menghalangi, kita bisa bermain voli dengan aman di halaman rumah warga. 

Matahari masih bersinar terang pada pukul empat sore, saat kami mulai menjelajahi pulau itu. Namun angin laut membawa udara yang sejuk sehingga kami tidak banyak berkeringat selama berjalan. 

Tempat yang pertama kami datangi sore itu adalah rumah pengasingan Bung Hatta, Sang Proklamator. Lokasinya di jalan Dr. Rehatta. Di tahun 1930-an, rumah batu besar itu pastilah mencolok di antara rumah-rumah kayu dan hutan di sekitarnya.  Saya membayangkan kala itu anak-anak setempat memandang dengan rasa ingin tahu ke rumah ini, terutama penghuninya yang bukan orang Londo melainkan orang berkulit sawo matang.

Saat dibuang ke Banda Naira, Bung Hatta sebagai kutu buku membawa serta 16 peti buku bersama dirinya. Itu adalah peti harta karun yang selalu dibawanya kemana-mana, mulai dari Boven Digul di Papua sampai ke Banda Naira. Hal itu tentu saja membuat heran rekan sesama orang buangan, salah satunya adalah Muhammad Bondan. Begitu herannya,  dia bertanya langsung ke Bung Hatta “Anda ke sini dibuang atau mau membuka toko buku?”

Setelah sowan dari  kediaman bung Hatta selama diasingkan, kami melanjutkan jalan-jalan sore ke Istana Mini. Leaknya di tepi Taman Wisata Perairan Laut Banda. Saat itu, Istana Mini sedang ramai karena ada pembukaan Pesta rakyat Banda. Ada sambutan dari Kementerian Pariwisata dan Gubernur Maluku. Ada pula persembahan tari-tarian setempat. Sementara di Taman Wisata Perairan Laut Banda warga sedang bercengkrama dengan anak mereka di taman di bibir pantai.  sementara anak-anak lain tampak bermain di dalam air. Keriangan mereka membuat yang melihat ikut senang. Saya salah satunya, yang akhirnya memutuskan duduk sebentar di dermaga sambil memotret mereka. 

Hari kedua di Banda Naira dimulai dengan menjelajahi Benteng Belgica. Ini adalah bangunan cagar budaya yang telah direnovasi pada tahun 1980-an dan kondisinya kini dalam keadaan baik. Benteng Belgica berada di atas puncak bukit, tingginya 30 meter di atas permukaan laut. Bangunannya berbentuk persegi lima dengan sisi yang mendatar menghadap ke Laut Banda di selatan. Pemandangannya? Super sekali saudara-saudara! Bila kita berdiri di bagian depan banteng maka akan tampak bagian dangkal Laut Banda, dengan Pulau Banda Besar di belakangnya. Lalu ada gunung api di sisi kanan kita yang berdiri kokoh setinggi 600 meter. Tidak banyak tempat di Indonesia di mana kita bisa melihat sekaligus  di satu tempat pemandangan gunung api berwarna hitam, pulau yang hijau dengan pepohonan, dan laut yang biru. Hanya di Banda.

Pemadangan dari Benteng Belgica.

Puas di Belgica, kami bergerak ke rumah pengasingan Bung Sjahrir. Letaknya di dekat pelabuhan Banda Naira, di bagian kota lama Banda. Di sini kami juga mengunjungi rumah budaya Banda Naira yang didirikan di kediaman mendiang Des Alwi, anak angkat bung Hatta yang juga sejarawan terkemuka. Masuk ke museum ini sebaiknya ditemani oleh pemandu yang akan membantu kita memberi penjelasan tentang barang-barang yang dipamerkan.  Di antaranya adalah  beberapa meriam, lukisan-lukisan, guci dan tempayan tanah liat, serta ratusan koin kuno.

Selepas menambah wawasan di Rumah Budaya Banda Naira, kami melanjutkan perjalanan ke pelabuhan nelayan di sisi timur pulau dan berfoto di landasan bandara Banda Naira. Kapan lagi bisa berfoto di landasan? Setelah itu kami bergegas menghadiri acara adat yang merupakan bagian dari permulaan acara Cuci Parigi. Dalam acara adat ini, kampung Lonthoir sebagai tempat Cuci parigi akan digelar hendak mengundang kampung di Pulau Banda Naira untuk hadir dan menyemarakkan ritual adat itu.

Hari yang padat itu akhirnya kami tutup dengan menanti senja di sebuah dermaga rahasia di selatan Banda Naira. Disebut dermaga rahasia karena ini sebenarnya adalah dermaga nelayan di salah satu kampung dan tidak banyak turis yang datang kesini. Momen matahari tenggelam terbaik yang pernah saya lihat adalah dari tempat ini,  di mana matahari seolah tenggalam ditelan laut Banda tepat di antara dua pulau. Ini sekaligus jadi momen terakhir kami di Banda Naira. Sebab esok kami akan berpindah ke Pulau Banda yang lebih besar tempat di mana acara utama Pesta Rakyat Banda 2018 akan digelar. Kami menyebrang dari Banda Naira ke Banda selepas magrib dengan menaiki perahu kayu yang cukup besar selama 10 menit.  Ini adalah perjalanan menyeberang malam hari yang syahdu.

Menuju benteng Holandia adalah kegiatan yang mengawali hari ketiga kami. Benteng ini berada di puncak bukit setinggi sekitar 80 meter dan menghadap ke Pulau Gunung Api. Nampaknya benteng ini dan benteng Belgica digunakan Belanda untuk mengawasi jalur keluar masuk kapal dagang di Banda. Kondisi Benteng Holandia sudah tidak terlalu baik, namun di depannya ada sebuah tempat berfoto yang ikonik sekali. Di sini turis bisa berfoto di bawah pohon besar yang rindang dengan latar belakang laut Banda dan Pulau Gunung Api. Hasil fotonya seperti lukisan atau seperti hasil olah digital, luar biasa!

Puas bergaya layaknya selebgram, kami pun berjalan kaki menuju lokasi persiapan Cuci Parigi di desa Lonthoir. Warga berkumpul di rumah adat Kampung Andan Orsia atau Lonthoir. Para pria nampak sibuk menyiapkan acara sementara kaum wanita menyiapkan makanan untuk acara sore nanti dan esok hari. Pada sore hari itu,  warga Andam Orsia akan menyambut saudara mereka dari kampung Andan Orlima yang akan turut memeriahkan Cuci Parigi.

Prosesi penyambutan ini mengagumkan, saya takjub melihat bagaimana orang Banda saling memuliakan saudara mereka. Warga kampung saudara Andan Orlima diperlakukan bak raja, terutama para tetuanya. Penyambutan berlangsung di pelabuhan Kampung Lonthoir. 

Seturut  adat yang berlaku, perahu kayu yang membawa saudara dari Andan orlima harus menepi di pantai. Namun itu akan membuat para tetua dan tokoh sulit turun dari kapal yang tinggi dan juga akan membuat bagian bawah pakaian mereka basah. Di situlah sebuah  pemandangan luar biasa terjadi. Warga Andan Orsia membawa kursi dari pantai menghampiri kapal, kaki mereka masuk ke air laut sampai ke dengkul, mereka mengajukan kursi yang mereka bawa untuk diduduki oleh tetua Andan Orlima. kemudian, mereka memikul kursi yang telah diduduki si tetua itu sampai ke tempat kering di tepi pantai! Bukan hanya sekali, warga Andan Orsia melakukannya berkali-kali sampai semua tetua dan tokoh Andan Orlima turun dari perahu.  Luar baisa adab Banda kepada tamu mereka!

Pagi-pagi sekali di hari keempat kami telah bersiap di lokasi acara adat 10 tahun sekali Cuci Parigi. Letaknya berada di pesisir utara daerah bagian barat Pulau Banda. Dari jalan di tepi, terus berjalan ke naik melalui sekitar 200 anak tangga menuju ke tempat dua sumur suci berada. Sumur ini menurut hikayat adalah sumur pertama yang digunakan oleh para penyebar agama Islam di Banda untuk berwudhu. Airnya dipercaya memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh dan kulit. Prosesi Cuci Parigi adalah kegiatan membersihkan sumur suci dari lumut dan tanah agar airnya kembali jernih.

Setelah acara pembukaan oleh Gubernur Maluku yang dihadiri oleh belasan turis eropa dan asia timur, acara pun digelar. Puluhan pemuda Andan Orsia dan Andan Orlima  bahu membahu menguras isi sumur suci, berbekal ember mereka mulai menimba keluar air. Ketika air mulai berkurang, tangga diturunkan ke dalam sumur dan para pemuda ini pun turun ke dalam sumur sambil menimba air. Puluhan ember air keluar masuk sumur suci, Air yang dikeluarkan seharusnya dibuang ke selokan di pinggir sumur. Namun karena para pemuda ini saling kenal maka ada saja yang usil membuang airnya ke rekan-rekan mereka sendiri. Bukannya marah, mereka akhirnya saling siram dan air sumur ini pun menciprat kemana-mana. 

Suara tambur yang mengiringi prosesi ini sejak awal. Ini membantu dalam menjaga semangat para pemuda untuk terus menguras sumur. Ditambah dengan cipratan  air sana sini membuat suasananya sangat meriah. Cuci parigi benar-benar menjadi pesta bagi rakyat Banda, pesta yang memelihara adat dan menyatukan semua orang.

Ritual cuci Parigi. 

Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News

BERITA TERPOPULER

BERITA TERKAIT

Copyright © 2024 by GenPI.co