GenPI.co - Pemerintah kini sedang gencar-gencarnya menggalakkan gerakan Bangga Buatan Indonesia, karena memang #IndonesiaBikinBangga.
Lebih jauh lagi, asosiasi pemerintah kabupaten untuk pembangunan lestari, yaitu Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL), mempromosikan produk kabupaten yang bukan hanya diproduksi secara lokal, melainkan produk lokal yang lestari.
Artinya, produk tersebut bersifat ramah lingkungan dan ramah sosial.
Saat awal mengkurasi produk untuk dimasukkan ke toko online Gerai Kabupaten Lestari, LTKL melihat dari sisi cerita, sustainability, dan kemasan. Tapi, karena perizinan merupakan faktor yang penting, maka kemudian mereka memasukkannya sebagai salah satu kriteria.
Anda penasaran ada produk apa saja di Gerai Kabupaten Lestari? Ini 5 produk yang bisa Anda beli dan banggakan:
Madu Hutan Milanka dan Nahla
Madu telah menjadi bagian dari keseharian Elly Husin, jurnalis dan penggemar aktivitas olahraga outdoor. Demi menjaga kesehatan, ia sudah lama mengganti gula dengan madu.
Penggemar produk lokal yang senang minum es teh dan es kelapa, pasti mencampurkan madu ke dalam minuman tersebut.
Paling tidak ia juga minum madu dua sendok makan setiap hari. Elly, yang suka hunting produk madu, jatuh hati pada Madu Milanka dan jadi pelanggan tetap. Madunya cair dan ada aroma buah-buahan yang segar. Menurut Elly, rasa madunya sangat enak.
Selain Madu Milanka berasal dari Bangka dan Riau, ada pula Madu Nahla yang berasal dari Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Wahyudi Hidayat, Wakil Bupati Kapuas Hulu, menjelaskan, madu hutan merupakan salah satu produk yang masuk kategori Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan menjadi produk unggulan Kabupaten Kapuas Hulu, yang merupakan salah satu anggota LTKL.
Melihat potensi ekonomi di baliknya, Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu bersama pegiat pelaku usaha madu hutan kemudian membentuk sentra wirausaha produksi dan pemanfaatan HHBK komoditas madu hutan.
Gula Semut Aren PalmGo
Di daerah Gorontalo terdapat 164.000 pohon aren produktif. Namun, kebanyakan petani mengolahnya menjadi gula merah yang harganya relatif rendah atau menjadi minuman keras. Akibatnya, mereka harus menghadapi kasus hukum karena produk yang mereka hasilkan dinilai ilegal.
Melihat kejadian tersebut, juga melihat banyak orang yang mengalami PHK akibat pandemi, Roni Nopo, Direktur Gula Semut PalmGo, mencari cara untuk membantu mereka, sekaligus mengolah potensi aren secara lestari.
Timbullah ide memproduksi gula semut. Melalui berbagai pendekatan dan sosialisasi kepada para petani aren, ia memberi pilihan kepada mereka: mengubah produksi atau berhadapan dengan hukum.
“Mau tidak mau mereka mengubah produksi dan kami beri fasilitas berupa alat produksi. Kami juga yang akan menjadi pasar pertama para petani, menjamin produk mereka, serta mendampingi dalam hal cara produksi,” kata Roni, yang sudah merangkul 55 petani dan mempekerjakan 12 pegawai.
Bunga Telang Picnic Village
Bunga telang (Clitoria ternatea) sedang sangat happening. Makin banyak kafe yang meracik minuman dari jenis bunga tersebut.
Tumbuh liar di negeri ini, bunga telang bisa dimanfaatkan sebagai bahan baku usaha teh telang kering, seperti yang dikerjakan oleh UMKM Istana Datin Anom, Kampung Siak Merambai, Kecamatan Bungaraya, Riau.
Agar bahan baku untuk produksi tidak cepat habis, pelaku usaha yang melabeli produknya dengan nama Picnic Village ini membudidayakan bunga telang secara organik di pekarangan rumah.
Bunga tersebut dikeringkan tanpa kehilangan warna aslinya, dikemas cantik, dan siap diseduh.
Elly menyebutkan, produk ini sangat praktis. Ia terkadang memetik bunga telang dari tanaman yang tumbuh merambat di pagar rumahnya sendiri. Tapi, karena sudah ada produk bunga telang yang dikeringkan, ia tak lagi harus menunggu bunga di rumahnya mekar.
Kain Gambo Muba
Motif jumputan ternyata bukan milik Solo dan Yogyakarta semata. Sumatra Selatan pun punya Jumputan Gambo Muba dari Kabupaten Musi Banyuasin.
Kain ikat celup jumput ini menggunakan pewarna alami dari sisa ekstraksi gambir, sejenis tanaman perdu yang hidup tumpang sari antara perkebunan karet.
Petani di Desa Toman biasanya memetik daun gambir pada pagi hari, lalu memulai proses ekstraksi daun gambir untuk dijadikan pewarna alami.
Proses pewarnaan kain gambo muba diawali dari proses mordan, yaitu merebus kain dengan 20 liter air, 300 gram air tawas, dan 100 gram soda abu. Setelah itu, kain dikeringkan secara alami, lalu dijumput oleh para perajin. Inovasi motif jumputan gambo muba terus berkembang.
Namun, satu motif yang khas adalah motif titik tujuh, yaitu motif jumputan khas Sumatra Selatan yang menurut budayawan melambangkan tujuh aliran sungai yang mengaliri provinsi ini, atau juga terkait filosofi tujuh tingkatan surga.
Karakteristik pewarna gambir ini sangat lekat dengan bahan kain yang mengandung serat alam, seperti katun, rayon, dan sutra, atau serat organik yang berasal dari serat eukaliptus.
Karena menggunakan pewarna alami, tentu kain gambo menjadi produk yang ramah lingkungan. Pewarna dari ekstraksi daun gambir ini menghasilkan warna yang unik dan berbeda di setiap kain, sehingga tidak ada kain yang warna dan motifnya sama persis.
Anyaman Bambu Rotan
Hutan Kalimantan terkenal masih liar, menyimpan potensi yang besar untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Inilah mengapa masyarakat Dayak terus dihimbau untuk menjaga hutan.
Selain mengambil hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari, seperti bahan makanan, mereka bisa mengambil bambu rotan untuk dijadikan produk yang dipasarkan dengan nilai yang tinggi.
Para perempuan Dayak yang tergabung dalam Koperasi Jasa Menenun Mandiri menggunakan rotan bambu berkualitas tinggi dan dengan teliti menganyamnya menjadi berbagai jenis produk, termasuk tas.
Bahan pewarnanya pun mereka ambil dari hutan. Misalnya, untuk warna hitam mereka menggunakan daun pararau, sementara untuk warna merah mereka memakai daun jati muda.
Menariknya, setiap anyaman memiliki makna motif tersendiri yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Dayak.(*)
Silakan baca konten menarik lainnya dari GenPI.co di Google News